Saturday, July 18, 2015

Jejak Budaya Peninggalan Sunan Gunung Jati Cirebon, Jawa Barat

Proses penyebaran Islam di Jawa Barat lebih banyak dikisahkan  melalui daerah Cirebon yang dikuasai oleh seorang raja juga seorang ulama yaitu Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati. Karena dua  kekuasaan yang diperankannya yaitu kekuasaan politik dan agama, maka dia mendapatkan gelar Ratu Pandita. Sunan Gunung Jati  yang tampil sebagai pemimpin agama dan politik, telah mengubah  system dan struktur kenegaraan pada faham kekuasaan religius. Menurut Suseno (1994) inti faham  kekuasaan religius adalah bahwa hakekat kekuasaan politik berasal  dari alam ghaib atau  termasuk yang ilahi. Dengan demikian, manusia yang berkuasa bukan manusia biasa lagi melainkan ikut termasuk dalam alam adiduniawi. Raja merupakan medium yang menghubungkan mikrokosmos manusia dan makrokosmos Tuhan.
Dalam system pemerintahan kesultanan Cirebon, sultan memiliki kekuasaan tertinggi  dalam wilayah yuridiksinya. Dalam tradisi Jawa, biasanya ia mendapat gelar Senapati  ing Alogo  yang memberi kesan bahwa angkatan perang  ( militer tradisional )  diterapkan dalam penyelenggaraan Negara.  Selain itu, sultan juga mendapat julukan sebagai wakil Tuhan di dunia dengan gelar Sayidin Panatagama (Lasmiyati, 1995 : 33 - 34). Sebagai Senapati ing Alogo  dan  Sayidin Panatagama  yang bergelar susuhunan atau sunan , maka Sunan Gunung jati merupakan Qutb Negara sehingga mendapat  gelar Ingkang Sinuhun  Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kurtubi Jaman Khalifah Rasulullah.
Sunan Gunung Jati tampil sebagai kepala pemerintahan di Cirebon antara  1479 - 1568 M atau selama 89 tahun, untuk mendukung pemerintahannya, ia terus membangun sarana - sarana pendukung baik itu sarana ekonomi, politik maupun agama. Untuk sarana di bidang agama, Sunan Gunung Jati membangun mesjid agung. Berdasarkan sumber tradisional, pembangunan Mesjid Agung Cirebon didirikan dengan bantuan para wali seperti Raden Patah yang mengirimkan seorang arsitek dan sekaligus sebagai arsitek Mesjid Agung Cirebon yaitu Raden Sepat, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga dan Sunan Ampel. Mesjid tersebut oleh para wali diberi nama Mesjid Sang Cipta Rasa. Menurut De Graaf ( 2001 ), Mesjid Sang Cipta Rasa menjadi model mesjid di kota-kota Islam di Jawa.
Untuk sarana politik,Sunan Gunung Jati memperluas bangunan Istana Pakung Wati sebagai tempat pusat kegiatan pemerintahan. Kemudian di bidang ekonomi, Sultan Cirebon selain memperluas  jaringan perdagangan,  untuk mendukung kegiatan ekonomi dibuat jalan - jalan antara istana ke pelabuhan Muara Jati  dan pasar, Cirebon tumbuh menjadi pusat kekuatan politik  Islam di Jawa Barat. Selain itu, Cirebon juga merupakan pusat perdagangan yang menjadi lintasan perdagangan internasional yaitu lintasan perdagangan jarak jauh (long dintance trade line)  yang dikenal perdagangan Jalur Sutra. Dalam waktu singkat di bawah kekuasaan Sunan Gunung Djati, Cirebon tumbuh menjadi sebuah kota metropolis.
Menurut Carita Purwaka Caruban Nagari, Selain mengendalikan kekuasaan politik sebagai penguasa kesultanan Islam Cirebon, Sunan Gunung Jati terus menyebarkan agama Islam ke seluruh pelosok tatar Sunda. Dalam catatan para sejarawan daerah-daerah yang dijelajahi oleh Sunan Gunung  Jati  adalah Ukur Cibaliung (Kabupaten Bandung), Timbanganten (Kabupaten Garut), Pasir Luhur, Batu Layang, dan Pengadingan (wilayah Barat dan Selatan Sumedang Larang). Daerah-daerah lain yang berhasil diislamkan adalah Nagari Talaga, Raja Galuh, Indramayu, Trusmi, Cangkuang dan Kuningan.
Proses Islamisasi yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati  telah meninggalkan jejak budaya yang menunjukan akan aktivitas Sunan Gunung Jati dalam menyebarkan agama Islam di Jawa Barat. Peninggalan Sunan Gunung Jati diantaranya adalah Kraton Pakungwati, Sangkala Buana (alun-alun),  Mesjid Agung Sang Cipta Rasa, Tajug Jalagrahan, benda-benda pusaka yaitu terdiri dari persenjataan tradisional hingga kereta kencana.  Yang cukup menarik dari peninggalan budaya dari aktivitas Sunan Gunung Jati adalah bidang Planologi atau Tata Kota.  Susunan pusat  ibu kota Kerajaan Cirebon merupakan proto type awal dari karakteristik kota  di Indonesia yang bercorak Islam yang terdiri dari unsure arsitektur masjid, Istana, Pasar, tembok pertahan alun-alun, bangunan audiensi dan pelabuhan ( Halwany Michrob, 1995 : 20 ).
Bangunan Istana yang ditinggalkan oleh Sunan Gunung Jati mempunyai nilai budaya yang tinggi.  Keraton peninggalan Sunan Gunung Jati terdiri dari  Dalem Agung Pakung Wati yang semasa hidup Sunan Gunung Jati dijadikan istana. Kemudian Sitinggil  yang dibangun pada tahun 1425 Masehi yang terdiri dari beberapa buah bangaunan yang pada umumnya tidak berdinding, antara lain bangunan Pendawa Lima yang bertiang lima yang melambangkan lima Rukun Islam, tempat ini  merupakan tempat berkumpulnya para pengawal Sultan. Semar Kenandu, yaitu  sebuah bangunan  bertiang dua buah  yang melambangkan  Syahadat, tempat ini  merupakan tempat duduk para penasehat Sultan. Malang Semirang yaitu bangunan  yang terletak di samping Semar Kenandu, tempat ini merupakan tempat  duduk Sultan  pada saat Sultan melihat alun - alun atau saat mengadili terdakwa yang dituntut hukuman mati. Mande Karesmen yaitu tempat yang digunakan untuk mementaskan gamelan Sekaten pada tanggal 1 Syawal dan 10 Dzulhijjah dan Mande Pengiring yaitu ruangan yang digunakan  untuk para pengiring Sultan, atau digunakan sebagai tempat hakim  ketika menyidangkan terdakwa (Dadan Wildan 2002 : 311 ).
Selain itu aspek budaya peninggalan Sunan Gunung Jati yaitu Jembatan Kreteg Pengrawit. Jembatan ini bermakna bahwa orang yang masuk ke Keraton harus mempunyai tujuan yang baik sebagaimana yang dimaksud dengan Pengrawit yang dalam bahasa jawa berarti lembut dan penuh perasaan. Jembatan ini melintang di atas saluran air yang bernama Sepadu  yang merupakan batas antara masyarakat umum dengan penghuni keraton. Selain itu terdapat Panca Ratna yang berarti jalan kesenangan. Adapun fungsi Panca Ratna adalah  tempat seba pejabat desa atau kampong kepada Sultan. Kemudian Panca Niti yang terletak disamping kiri dan kanan  jalan menuju Jembatan Pengrawit dan berada di depan alun-alun.  Panca Niti  mempunyai arti jalan atau tempat raja atau pejabat keraton . Bangunan ini berfungsi sebagai tempat beristirahat pejabat keraton.
Peninggalan Sunan Gunung Jati dalam bidang arsitektur yaitu Masjid Agung Sang Cipta Rasa, mempunyai  beberapa tiang utama yang disebut  Sokoguru yang salah satunya terbuat dari potongan-potongan sisa kayu  yang disebut dengan Sokotatal. Mesjid Sang Cipta Rasa mempunyai sembilan pintu masuk, hal ini sebagai perwujudan dari Wali Sanga. Pada bagian michrab  terdapat suatu ukiran bunga teratai  yang menempel persis di tempat berdiri imam. Ukiran itu dibuat oleh Sunan Gunung Jati  melambangkan Hayyun ila ruhin (hidup tanpa ruh). Di depan tempat imam terdapat tiga buah ubin yang diberi tanda khusus yang berarti ( symbol ) ajaran Islam, yaitu  Iman , Islam, Ihsan. Sunan Gunung Jati meninggal tahun  1568 Masehi, namun karomahnya sampai saat ini masih kita rasakan.

Sumber Tribun Jabar, 25 Juni 2011

No comments:

Post a Comment