Proses penyebaran Islam di Jawa Barat lebih banyak dikisahkan melalui daerah Cirebon yang dikuasai oleh seorang raja juga seorang ulama yaitu Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati. Karena dua kekuasaan yang diperankannya yaitu kekuasaan politik dan agama, maka dia mendapatkan gelar Ratu Pandita. Sunan Gunung Jati yang tampil sebagai pemimpin agama dan politik, telah mengubah system dan struktur kenegaraan pada faham kekuasaan religius. Menurut Suseno (1994) inti faham kekuasaan religius adalah bahwa hakekat kekuasaan politik berasal dari alam ghaib atau termasuk yang ilahi. Dengan demikian, manusia yang berkuasa bukan manusia biasa lagi melainkan ikut termasuk dalam alam adiduniawi. Raja merupakan medium yang menghubungkan mikrokosmos manusia dan makrokosmos Tuhan.
Dalam system pemerintahan kesultanan Cirebon, sultan memiliki kekuasaan tertinggi dalam wilayah yuridiksinya. Dalam tradisi Jawa, biasanya ia mendapat gelar Senapati ing Alogo yang memberi kesan bahwa angkatan perang ( militer tradisional ) diterapkan dalam penyelenggaraan Negara. Selain itu, sultan juga mendapat julukan sebagai wakil Tuhan di dunia dengan gelar Sayidin Panatagama (Lasmiyati, 1995 : 33 - 34). Sebagai Senapati ing Alogo dan Sayidin Panatagama yang bergelar susuhunan atau sunan , maka Sunan Gunung jati merupakan Qutb Negara sehingga mendapat gelar Ingkang Sinuhun Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kurtubi Jaman Khalifah Rasulullah.
Sunan Gunung Jati tampil sebagai kepala pemerintahan di Cirebon antara 1479 - 1568 M atau selama 89 tahun, untuk mendukung pemerintahannya, ia terus membangun sarana - sarana pendukung baik itu sarana ekonomi, politik maupun agama. Untuk sarana di bidang agama, Sunan Gunung Jati membangun mesjid agung. Berdasarkan sumber tradisional, pembangunan Mesjid Agung Cirebon didirikan dengan bantuan para wali seperti Raden Patah yang mengirimkan seorang arsitek dan sekaligus sebagai arsitek Mesjid Agung Cirebon yaitu Raden Sepat, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga dan Sunan Ampel. Mesjid tersebut oleh para wali diberi nama Mesjid Sang Cipta Rasa. Menurut De Graaf ( 2001 ), Mesjid Sang Cipta Rasa menjadi model mesjid di kota-kota Islam di Jawa.
Untuk sarana politik,Sunan Gunung Jati memperluas bangunan Istana Pakung Wati sebagai tempat pusat kegiatan pemerintahan. Kemudian di bidang ekonomi, Sultan Cirebon selain memperluas jaringan perdagangan, untuk mendukung kegiatan ekonomi dibuat jalan - jalan antara istana ke pelabuhan Muara Jati dan pasar, Cirebon tumbuh menjadi pusat kekuatan politik Islam di Jawa Barat. Selain itu, Cirebon juga merupakan pusat perdagangan yang menjadi lintasan perdagangan internasional yaitu lintasan perdagangan jarak jauh (long dintance trade line) yang dikenal perdagangan Jalur Sutra. Dalam waktu singkat di bawah kekuasaan Sunan Gunung Djati, Cirebon tumbuh menjadi sebuah kota metropolis.
Menurut Carita Purwaka Caruban Nagari, Selain mengendalikan kekuasaan politik sebagai penguasa kesultanan Islam Cirebon, Sunan Gunung Jati terus menyebarkan agama Islam ke seluruh pelosok tatar Sunda. Dalam catatan para sejarawan daerah-daerah yang dijelajahi oleh Sunan Gunung Jati adalah Ukur Cibaliung (Kabupaten Bandung), Timbanganten (Kabupaten Garut), Pasir Luhur, Batu Layang, dan Pengadingan (wilayah Barat dan Selatan Sumedang Larang). Daerah-daerah lain yang berhasil diislamkan adalah Nagari Talaga, Raja Galuh, Indramayu, Trusmi, Cangkuang dan Kuningan.
Proses Islamisasi yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati telah meninggalkan jejak budaya yang menunjukan akan aktivitas Sunan Gunung Jati dalam menyebarkan agama Islam di Jawa Barat. Peninggalan Sunan Gunung Jati diantaranya adalah Kraton Pakungwati, Sangkala Buana (alun-alun), Mesjid Agung Sang Cipta Rasa, Tajug Jalagrahan, benda-benda pusaka yaitu terdiri dari persenjataan tradisional hingga kereta kencana. Yang cukup menarik dari peninggalan budaya dari aktivitas Sunan Gunung Jati adalah bidang Planologi atau Tata Kota. Susunan pusat ibu kota Kerajaan Cirebon merupakan proto type awal dari karakteristik kota di Indonesia yang bercorak Islam yang terdiri dari unsure arsitektur masjid, Istana, Pasar, tembok pertahan alun-alun, bangunan audiensi dan pelabuhan ( Halwany Michrob, 1995 : 20 ).
Bangunan Istana yang ditinggalkan oleh Sunan Gunung Jati mempunyai nilai budaya yang tinggi. Keraton peninggalan Sunan Gunung Jati terdiri dari Dalem Agung Pakung Wati yang semasa hidup Sunan Gunung Jati dijadikan istana. Kemudian Sitinggil yang dibangun pada tahun 1425 Masehi yang terdiri dari beberapa buah bangaunan yang pada umumnya tidak berdinding, antara lain bangunan Pendawa Lima yang bertiang lima yang melambangkan lima Rukun Islam, tempat ini merupakan tempat berkumpulnya para pengawal Sultan. Semar Kenandu, yaitu sebuah bangunan bertiang dua buah yang melambangkan Syahadat, tempat ini merupakan tempat duduk para penasehat Sultan. Malang Semirang yaitu bangunan yang terletak di samping Semar Kenandu, tempat ini merupakan tempat duduk Sultan pada saat Sultan melihat alun - alun atau saat mengadili terdakwa yang dituntut hukuman mati. Mande Karesmen yaitu tempat yang digunakan untuk mementaskan gamelan Sekaten pada tanggal 1 Syawal dan 10 Dzulhijjah dan Mande Pengiring yaitu ruangan yang digunakan untuk para pengiring Sultan, atau digunakan sebagai tempat hakim ketika menyidangkan terdakwa (Dadan Wildan 2002 : 311 ).
Selain itu aspek budaya peninggalan Sunan Gunung Jati yaitu Jembatan Kreteg Pengrawit. Jembatan ini bermakna bahwa orang yang masuk ke Keraton harus mempunyai tujuan yang baik sebagaimana yang dimaksud dengan Pengrawit yang dalam bahasa jawa berarti lembut dan penuh perasaan. Jembatan ini melintang di atas saluran air yang bernama Sepadu yang merupakan batas antara masyarakat umum dengan penghuni keraton. Selain itu terdapat Panca Ratna yang berarti jalan kesenangan. Adapun fungsi Panca Ratna adalah tempat seba pejabat desa atau kampong kepada Sultan. Kemudian Panca Niti yang terletak disamping kiri dan kanan jalan menuju Jembatan Pengrawit dan berada di depan alun-alun. Panca Niti mempunyai arti jalan atau tempat raja atau pejabat keraton . Bangunan ini berfungsi sebagai tempat beristirahat pejabat keraton.
Peninggalan Sunan Gunung Jati dalam bidang arsitektur yaitu Masjid Agung Sang Cipta Rasa, mempunyai beberapa tiang utama yang disebut Sokoguru yang salah satunya terbuat dari potongan-potongan sisa kayu yang disebut dengan Sokotatal. Mesjid Sang Cipta Rasa mempunyai sembilan pintu masuk, hal ini sebagai perwujudan dari Wali Sanga. Pada bagian michrab terdapat suatu ukiran bunga teratai yang menempel persis di tempat berdiri imam. Ukiran itu dibuat oleh Sunan Gunung Jati melambangkan Hayyun ila ruhin (hidup tanpa ruh). Di depan tempat imam terdapat tiga buah ubin yang diberi tanda khusus yang berarti ( symbol ) ajaran Islam, yaitu Iman , Islam, Ihsan. Sunan Gunung Jati meninggal tahun 1568 Masehi, namun karomahnya sampai saat ini masih kita rasakan.
Sumber Tribun Jabar, 25 Juni 2011
No comments:
Post a Comment