Sunday, July 19, 2015

Besar Pasak Negeri Pemimpi (n) Oleh: Wahyu Iryana

Memanasnya isu politik bukan tanpa sebab, dalam analisis masyarakat awam sekalipun semuanya akan bermuara pada kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). Hal inilah yang menyebabkan adanya saling sandera antar elite politik. Lalu pertanyaanya sekarang, di manakah posisi (kepentingan) rakyat? Apakah para elite politik anti kemakmuran rakyat? Bagaimana peran pemerintahan untuk menjaga kestabilan ekonomi?
Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar, sejak dahulu sudah berjibaku untuk berjuang merebut kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan dan sekarang saatnya untuk mengisi kemerdekaan. Sakang jauh apabila kita membandingkan perjuangan para faunthing Father dengan para pelaku politik praktis sekarang ini. Bisa jadi karena jiwa zaman (Zeitgest) yang sudah berbeda.  Kegilaan berpolitik di negeri ini terlalu serius untuk diterjemahkan dalam berbagai dimensi. Ya, tahun 2014 adalah tahun politik, masyarakat akan disuguhkan dengan pertarungan hitam putihnya politik yang saling berhadapan.
Khasanah literasi politik manusia Dermayu-Cirebon (Derbon) bisa disematkan dalam Wong asih ora kurang pengale, wong sengit ora kurang penyacad (orang yang pengasih tidak kurang pujian, orang yang pemarah tidak kurang celaaan). Agar target untuk menjalankan roda pemerintahan bisa dioptimalkan. Walaupun harus kita akui kenaikan BBM mau tidak mau pasti terjadi. Makna yang lebih luas adalah kebaikan dan kejelekan seorang pemimpin tidak akan bisa ditutup-tutupi, karena suatu saat apabila ia berbuat kesalahan ataupun kebaikan rakyat akan mengetahui.
 Penulis memahami bahwa pembangunan yang sedang dilaksanakan sekarang pada hakekatnya merupakan proses perubahan sosial (social chenge) dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Namun dalam melakukan proses perubahan itu, kita sering kehilangan arah yang menimbulkan belbagai dampak negatif dalam kehidupan sehari-hari. Sebut aja masalah tata kota yang semakin semrawut, macet, kriminalitas, pelacuran, apatis, frustasi, pengangguran, kerusakan alam akibat eksploitasi berlebih, banjir, sampah, pengangguran, mahalnya biaya rumah sakit dan terjadinya kepincangan ekonomi (pathologi social) antara si kaya dan si miskin dan sebagainya. Ungkapan tersebut setidaknya mewakili keinginan rakyat Indonesia akan kenaikan BBM, yang berakibat naiknya sembilan bahan pokok (sembako) dan yang lainnya.
Manusia pada dasarnya memiliki cita-cita dan keinginan hidup yang tinggi. Alfred Marshall, pakar ekonomi Inggris, dalam bukunya Principles of Economics mengatakan bahwa kemajuan dalam perhiasan hidup akan meninggalkan standar penghidupan, dan kalau hal ini yang terjadi maka keadaan ekonomi rakyat akan bertambah baik. Begitu kiranya yang masyarakat inginkan seperti dalam ulasan Naskah Siksa Kandang Karasian Yun suda yun suka yun mungguh yun luput. Nya mana sakitu kahayang jalma sareyana. (ingin sehat, ingin kaya, ingin masuk suraga, ingin moksa, ya hanya itulah macam keinginan manusia). Inilah sesungguhnya keinginan mendasar masyarakat setidaknya dari sudut manusia Sunda, keinginan hidup yang bersifat jasmani dan ruhaniah. Mungkin karena itu pula, manusia Jawa Barat pada umumnya selalu mengukur setiap kebijakan pemerintah dengan tercukupinya rohani dan jasmani secara khaffah.
Faktanya sekarang, Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla telah memaksa menaikan BBM dengan berbagai pertimbangan politis. Hal ini setidaknya, sadari atau tidak pemerintah mengharuskan kita untuk menerima kenyataan bahwa pertarungan dan perebutan kekuasaan yang terjadi mengakibatkan kelalaian dan tugas suci untuk melayani publik. Pemerintah lebih senang mengurus titik tekan pertimbangan politis, atau kepentingan partainya masing-masing, daripada memikirkan nasib rakyat kecil yang tertindas oleh jiwa zamannya (zeitgest). Asep Salahudin (2011) pernah menegaskan bahwa idealnya seorang pemimpin harus memiliki sifat yang khodimul ummah (pelayan masyarakat) dalam makna yang tuntas, bukan sekadar wacana. Politik tidak dimaknai sebagai meraih kekuasaan dengan “menjual” masyarakat, tetapi politik sebagai katup kebudayaan guna meraih keadaban hidup.
Control Public
Mengutip data dari Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia bahwa saat ini ada 21 Gubernur, 7 Wakil Gubernur, 156 Bupati, 46 Wakil Bupati, 41 Wali Kota, dan 20 wakil Wali Kota terjerat kasus korupsi data ini dimungkinkan akan bertambah. Ditambah lagi 1.221 aparatur negara, 185 sudah menjadi tersangka menunggu vonis hukum, 122 terdakwa, 877 terpidana, 44 orang sebagai saksi kasus korupsi (29/5/2013).
Dalam perspektif Cerbon Pegot ala Tandi Skober terpatri Sun besuk mariya eman/Yen wonten grananing sasi/Srengenge kembar lelima/Lintang alit gumilar sing/Sawiji tan hana urip/Mung sira kelawan isun/Matiya mungging suwarga/ (Esok, ketika diriku dihentikan kasih sayang/saat gerhana bulan/matahari kembar lima/terhampar bintang bercahaya/tak satupun ada yang hidup/hanya kamu dan aku/wafat menaiki langit-langit surga). Karena sesungguhnya kuasa politik akan senantiasa berhimpitan secara timbal balik dengan nilai-nilai budaya yang dianut para pelakunya. Para pelaku politik pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk tidak berdusta. Ia terikat pada etika untuk selalu mengatakan bahwa yang benar itu adalah benar, dan bahwa yang salah itu adalah salah. Jika sewaktu-waktu berdusta, maka perbuatan dustanya itu akan mendapat perlawanan nurani. Dan pesan perlawanan ini dapat pula ditangkap lensa nurani melalui isyarat bahasa tubuh, termasuk makna paralinguistik yang pada umumnya tampak pada raut muka para pelakunya.

 Meningkatnya absolutisme korupsi dalam elite penguasa, berbarengan dengan sikap hedonisme, melonggarnya keberpihakan terhadap rakyat, maraknya aksi kekerasan, konflik SARA dan dari semua itu kemudian akan bermuara pada meningkatnya disintegrasi sosial dan politik adalah Pekerjaan Rumah (PR) dari kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) kepada Joko Widodo (Jokowi). Di sinilah perlunya pemerintahan Jokowi-JK yakni revitalisasi dengan melakukan koreksi total terhadap berbagai aspek budaya peradaban. Proses itu bisa di mulai melalui pembenahan sistem pemerintahan kolektif yang lebih serius agar tidak melahirkan pemimpin yang koruptif, warga masyarakat akan selalu menjadi Agent of Control untuk pemerintah untuk perbaikan negeri yang lebih maju dan sejahtera. Untuk itu diperlukan pengembangan budaya politik yang pro rakyat, yang mampu mewadahi orientasi politik sehat. Karena pengembangan keadaban demokratis sangat tergantung pada penyesuaian kultural dan institusional. 

Dipublish Tribun Jabar

Cepot Raja Tandingan Oleh: Wahyu Iryana

Perang Bratayuda Pandawa dan Korawa sudah berakhir, Pandawa menjadi pemenangnya. Namun sebagai jalmi leutik layaknya Cepot yang sudah ngaula (mengabdi) pada gusti Pandawa bersama sang ayah, Semar Kudapawana kemenangan gusti Pandawa belum membawa efek positif pada peningkatan ekonomi keluarga.
Cepot yang terlahir dalam lingkungan keluarga miskin serba kekurangan, telah membuka mata kita semua, bahwa perjuangan hidup itu harus disertai dengan pengorbanan Jer Besuki Mawa Bea. pada waktu Cepot masih aktif mengabdi di keraton Amarta mengikuti Semar, ia telah melakukan terobosan-terobosan yang progresif salah satu yang dilakukan Cepot ketika berada dilingkungan Keraton Amarta adalah membentuk desa siaga, dan membentuk Forum Silaturahim Rakyat Raja (FSRJ) yang dibentuk pada era akhir kepemimpinan Pandawa sebagai media komunikasi masyarakat kecil dengan rajanya, walaupun proses perebutan kekuasaan Korawa-Pandawa sudah berakhir dengan kemenangan Pandawa. Garis Kemiskinan semangin nampak jelas menganga dalam ruang awung-awung Cepot.
Zeitgest benar-benar memberikan persiapan kepada Cepot untuk memenuhi panggilan zamannya Hal tersebut merupakan bukti apa yang telah dilakukan Cepot merupakan legitimasi perjuangan rakyat kecil yang ingin mengubah taraf hidupnya menjadi lebih baik.
Selama 32 tahun, rezim Korawa Astina, dunia pendidikan telah dihegemoni sebagai anak tiri dengan mengurangi anggaran negara ke Departemen Pendidikan, dampaknya nasib Umar Bakri yang selalu di nomer duakan, padahal pendidikan adalah ujung tombak lahirnya generasi penerus bangsa. Ternyata pengebirian dunia pendidikan itu gagal. Menjamurnya perguron-perguron baru di dunia pendidikan turut menyemarakkan eforia pendidikan pasca tumbangnya rezim Korawa Astina. Permasalahannya sekarang, keinginan orang-orang seperti Cepot yang mempunyai keinginan tinggi untuk mengubah nasibnya, acapkali paradoksal dengan realitas pendidikan bangsa saat ini. Terjadi kontradiksi antara aspek potensial yang hendak dikembangkan dengan aspek riil yang berkembang di lapangan. Apabila itu yang terjadi cita-cita Cepot untuk menjadi orang berpangkat seperti junjunannya Raden Arjuna dan Prabu Pandu Dewanata, ibarat kata hanya punduk merindukan bulan.
Harus diperhatikan sosok Cepot bukan hanya bertahan sebagai seorang yang hidup berharap belas kasih orang lain, namun Cepot juga dari waktu ke waktu berupaya keras agar hidupnya berubah, tentunya kea rah yang lebih baik. Masyarakat kecil; seperti Cepot, akan selalu mendambakan kesejahtaraan hidup untuk mencetuskan gagasan-gagasan idiologi yang bebas tanpa tedeng aling-aling. Bahwa dalam gagasan pemikirannya, masyarakat kecil selalu menegaskan semangat kebersamaan, gotong royong dan prinsip kesatuan silih asah, silih asih, silih asuh. Artinya apa ini semua? Pada masa krisis nasionalisme dewasa ini, penulis berpendapat bahwa gejala gerakan radikalisme dan separatisme adalah dampak dari kurangnya rasa kesatuan dan persatuan bangsa, sehingga gerakan radikalisme tersebut membutuhkan ruang gerak beremansipasi. Yang dibutuhkan rakyat kecil, seperti Cepot bukan tanda jasa bukan pula segenggam emas. Namun, keseriusan pemerintah untuk mewujudkan kedamaian, ketentraman hidup, dan kesejahtraan untuk kejayaan negeri.
Seiring berjalannya waktu, karena ketidakpastian nasib yang selalu tidak berpihak pada rakyat kecil. Cepot memberanikan diri untuk membuat pemerintahan sendiri menandingi pemerintahan junjunannnya, munculnya Parikesit yang masih satu garis keturunan dengan Pandawa tetap saja tidak membawa perubahan yang signifikan padahal Parikesit adalah implementasi dari suara rakyat sendiri.

Menjadi Raja Tandingan

Terpilihnya Parikesit menjadi Raja Amarta, tentu dengan ongkos pemilihan yang mahal, namun demikian kiranya tujuan bijak yang hendak dicapai adalah untuk menciptakan negara kesejahtraan, sehingga jelas tujuan akhirnya adalah kemakmuran rakyat. Emplementasi seorang pemimpin yang dipilih rakyat setidaknya berupaya meresapkan rasa keadilan merata kepada semua pihak apapun bendera partainya, budaya, suku, bahasa dan agamanya. Pemimpin dalam literatur manusia Dermayu Cerbon (DerBon) bermakna “wong agung”, Tarub berteduh dimana kontrak sosial diakadkan dengan tujuan utama bersama membangun keadaban masyarakat domakratis. Namun kenyataanya tidak sesuai harapan Cepot, dengan fakta ini Cepot memberanikan diri menggalang massa dan mendeklarasikan diri menjadi raja tandingan dengan gelar Prabu Anom Cepot Diraja.
Kerangka imajinasi manusia modern hendaknya harus mampu menembus sekat-sekat peradaban yang menghegomoni kesejahtraan rakyat, walaupun wong agung yang diharapkan sebagai pengayom pada praktiknya ternyata kerap mengalami pasang surut karena terjerat belenggu oyod mingmang (akar belenggu/kebingungan), kerap terjangkit kegaulan bersikap bijak, dan kebuntuan mengambil peran-peran urgen yang menentukan nasib rakyat seperti Cepot. Dalam literasi nalar imajinatif masyarakat Derbon yang berganti wujud untuk menjadi orang lain, merupakan strategi politik untuk mengelabui lawan agar mendapatkan kemulyaan.
Khasanah literasi politik manusia Derbon bisa disematkan dalam Wong asih ora kurang pengalem, wong sengit ora kurang penyacad (orang yang pengasih tidak kurang pujian, orang yang pemarah tidak kurang celaaan). Agar target untuk menjalankan roda pemerintahan setelah terpilih bisa dioptimalkan. Karena pada akhirnya yang kita temui adalah wong becik ketitik, wong ala ketara (manusia baik ketauan, manusia jahat kelihatan). Makna yang lebih luas apabila dikaitkan dengan nalar positip para pemimpin agar menjadi pepakem adalah kebaikan dan kejelekan seorang pemimpin tidak akan bisa ditutup-tutupi, karena suatu saat apabila ia berbuat kesalahan ataupun kebaikan rakyat akan mengetahui.
Cepot sang raja tandingan pada dasarnya memiliki cita-cita dan keinginan hidup yang tinggi, yakni menjalankan tugas suci untuk melayani publik. Pemerintahan Cepot selalu terus berjalan tanpa pernah mundur sedetik pun. Ia mengoptimalkan seluruh daya kreasinya, akan terus membuat kejutan-kejutan dalam program 100 hari. Apa yang dibuat oleh Cepot akan terus menimbulkan pro dan kontra, suka dan benci, patuh dan ingkar, dan seterusnya. Efek-efek seperti itu tidak bisa dihindari oleh siapapun termasuk Raja Parikesit.
Pemimpin manapun akan terus berkarya. Positif ataupun negatif yang menjadi efek dari sebuah perbuatan atau keputusan hanyalah sebuah cara pandang saja. Sebab negatif menurut sebagian orang, boleh jadi positif bagi orang lain. Resiko-resiko yang didapat manusia dari sebuah perbuatan atau keputusan harus disadari. Jika manusia tidak menyadari itu, akan muncul euforia yang berlebihan. Sebagai seorang raja, Cepot juga sadar bahwa tidak ada keputusan yang membawa dampak positif seratus persen, atau yang mambawa dampak negatif seratus persen. Semua efek itu, sekali lagi hanyalah sebuah cara pandang para pendukungnya terhadap apa yang sudah ia lakukan.

 Kiranya realitas banyaknya ambiguitas kepemimpinan di negara Amarta harus segera diselesaikan oleh sang pemangku kebijakan, karena rakyat awam sekalipun akan selalu memberikan tanda tanya terhadap berbagai kerisauan berdemokrasi di negeri ini. Pemerintah, dalam hal ini Raja Parikesit sebagai pewaris sah Kerajaan Amarta beserta jajaran kabinetnya, serta para anggota dewan dari manapun partainya harus memberikan solusi kolektif sebagai bagian dari pembelajaran politik masyarakat Amarta. Jika tidak, hal ini akan membekas pada memori dalam rotasi oyod mingmang. Wallahualam.

Dipublish Kabar Cirebon

Catatan Akhir Kampanye Pilpres 2014 Oleh: Wahyu Iryana

Keindahan dan keistimewaan bulan Ramadhan bukan saja karena seluruh umat muslim berpuasa sebulan lamanya, namun juga di bulan Ramadhan ini kita di suguhi tontonan perang bintang dalam piala dunia di Brazil, bukan itu saja di bulan Ramadhan juga kita harus menentukan pilihan dalam pilpres 9 juli 2014 nanti. Subhannalloh hiburan sekaligus pendidikan politik yang sangat berharga.
Debat capres-cawapres sabtu malam minggu, 5 juli 2014 mengakhiri seluruh rangkaian kampanye Pilpres 2014. Ada baiknya kita manfaatkan untuk mengevalusi kampanye secara kesuruhan, termasuk para sikap pendukung kedua pasangan untuk perbaikan bersama, bukan untuk kepuasan diri. Menyimak para penanggap di media sosial sejak debat pertama, kebanyakan kita tidak terlalu berkepentingan dengan isi, yang mestinya menjadi bahan penilaian utama. Orang-orang lebih memusatkan diri pada kesalahan ‘lawan’. Apabila menemukan kesalahan pada calon pesaing, sekecil apa pun, segera jadi topik utama. Apbila kesalahan itu ‘besar’, seperti menemukan emas atau amunisi untuk menyerang membabi buta lawan.
            Simak di luar acara debat, masing-masing pendukung rajin mencari cela lawan. Ada beberapa teman yang rajin mencari berita negatif calon pesaing, dan menyebarkannya. Tentu tidak ingin melihat berita negatif tentang calon yang didukung. Dan mereka, kebanyakan muda-muda, begitu trampil mengeskpoitasi kekurangan ‘kubu sebelah’, sehingga kurang mendapat keuntungan dari menyimak isi perdebatan, berupa pengetahuan dan penalaran. Tetapi mereka ini cerminan dari lapisan atasnya, para ‘intelektual’, pengamat dan politisi senior. Cukup mengherankan bahwa kaum ‘intelektual’ pun begitu mudah mengelompok dalam kubu pro-kontra. Nyaris tidak ada yang berperan di tengah – saya tidak menyebutnya netral. Yang selama ini terlanjur disebut ‘intelektual’, seperti Mahfud MD, Anies Baswedan, Amin Rais, dan Herman Sulistyo, ternyata tidak berbeda dengan kelas pengrame: Cuma mencari-cari dan membuat pernyataan yang menjelekkan lawan, sembari membela pihak yang didukungnya habis-habisan. 
Wahai bangsaku, kemanakah para bijak bestari negeri ini? Para guru bangsa? Indonesia rindu cendikiawan sekelas Nurcholis Majid, Abdurrahman Wahid, Romo Mangun Wijaya. Bahkan posisi mahasiswa sebagai penengah dalam idealisme? Pertanyaan ini penting untuk membangunkan kembali kesadaran politik berbangsa yang cerdas dan positif.
Menyepakati pernyataan Kafeel Yamin mereka yang golput, lebih banyak sinis ketimbang memberi pandangan yang berimbang. Polarisasi ini sangat tercermin pada penonton di studio, di setiap acara debat. Mereka bukan pentonton debat atau diskusi, lebih tampak sebagai penonton konser dangdut atau sepakbola liga kecamatan. Bagaimana dengan media? Mungkin kita sudah perlu mengucapkan innalillahi wainnailahi rajiun kepada prinsip keberimbangan dalam jurnalistik di Indonesia. Koran nasional bahkan media televisi swasta pun sudah memihak dan menegaskan pemihakannya. Lihatlah perdebatan terakhir, yang  ditanggapi berbeda oleh kedua kubu pendukung. Masing-masing mengaku pihaknya menang, berkonsentrasi menunjukkan kesalahan lawan, bukan isi.
            Sekali lagi, di Indonesia, isi perdebatan tidak begitu penting – kecuali bagi beberapa gelintir orang pemilih rasional. Namun secara keseluruhan, ada yang lebih penting dari isi, yakni sikap dan perilaku yang ditunjukkan masing-masing pasangan: cara berreaksi, cara menanggapi dan kata-kata yang digunakan. Saya mendukung para pembaca dan pemirsa media bersikap kritis dan berani mengajukan gugatan kepada media, dan media harus dihukum bila terbukti melanggar undang-undang. Demikian pula pihak-pihak lain yang melanggar hukum. 
Sebagai bahan otokritik kepada semua peserta debat Pilpres Prabowo, Hatta, Jokowi dan JK – adalah, mereka pelit sekali tersenyum, sejak debat pertama. Semuanya tegang, kaku. Tidak terlihat suasana akrab. Kalau ada satu yang berinisiatif mengakrabi yang lain, media dan pedukung yang berprinsip prasangka buruk, segera mengahikimi: “Itu sikap dibuat-buat. Sikap di depan publik.”Maklumlah suhu politik sudah semakin memanas.

Figur Calon Pemimpin Indonesia

Teringat perkataan Moeflih Hasbullah dalam jejaring sosial bahwa kita sudah saatnya merenungkan kembali dan analisis secara mendalam tentang pilihan kita dalam pilpres setelah semua kegiatan kampanye dilakukan, masing-masing pendukung harus bisa menerima kalau ternyata yang didukungnya nanti ada yang kalah. Ini penting agar semua mengetahui sejauh mana batasan koridor berdemokrasi. Kalau kita cermati sosok dan level berfikirnya keempat capres/cawapres dalam debat terakhir tadi malam, ada beberapa catatan yang harus disimak.
Probowo Seobianto, sosok negarawan. Cara berfikirnya pas seperti dikriteriakan dalam kepemimpinan modern: konsep, kebijakan, strategi, implementasi dan prediksi hasil. Semuanya relatif jelas dalam narasi Prabowo. Apalagi kalau melalui indepth-interview seperti banyak dirasakan wartawan asing. Dibesarkan oleh Soemitro Joyokusoemo, begawan Ekonomi masa Orde Baru, darah militernya mengalir deras, yang menuntut untuk bersikap tegas dan berdisiplin tingi. Di closing ceremony, dalam debat terakhir kemarin Prabowo pun menyebut ia ingin membangun negaranya seperti semangat dan pesan-pesan the founding fathers. Jiwa kenegarawanannya sangat kuat yang tampaknya terpupuk sejak kecil sebagai seorang partiotik yang kharismatik.
Hatta Rajasa sosok teknokrat. Pembicaraannya jelas sistematis apalagi waktu awal pemaparan visi misi. Sistematikanya runtut, teratur dan bahasanya rapih. Penguasaan materinya mendalam dengan berbagai istilah-istilahnya. Pengalamanya sebagai menteri membentuknya. Nampaknya, memang tak salah ia dilekatkan dengan sosok Bung Hatta, sudah namanya sama, wawasan, pemikiran dan style-nya juga mirip. Prabowo juga sangat jelas mewakili sosok Bung Karno dan itu tidak dibuat-buat tapi memang penjiwaannnya. Kebesaran Soekarno-Hatta dipersonifikasikan dan dihadirkan kembali lewat pasangan ini.
Joko Widodo (Jokowi) sosok jujur, pekerja dan sederhana. Modalnya cukup bagus. Dalam debat tadi malam, dari usia, pengalaman, wawasan, kematangan keempat sosok, Jokowi yang paling yunior. Dari debat pertama, jawaban-jawaban Jokowi sifatnya praktis dan lokalistis yang terkesan sederhana. Dalam konteks pembicaaan kenegaraan, ini menjadi kelemahan, tetapi dalam konteks popularitas dan kerakyatan ini menguntungkan. Disinilah hokinya Jokowi, ia menjadi sosok kepemimpinan alternatif. Visi kerakyatan menjadi pas dalam sosoknya yang sederhana dan ndeso, karenanya pendukungnya kuat dari kalangan bawah. Bahasanya yang sederhana menjadi mudah ditangkap dan difahami. Karenanya tidak salah bila sebuah survei menemukan bahwa mayoritas pendukungnya adalah para masyarakat kelas bawah. Wajah ndeso dan kesederhanaannya menjadi simbol kerakyatan yang sangat menguntungkan sebagai komoditas dan pencitraan politik.
Jusuf Kalla (JK) adalah seorang teknokrat ulung, usianya senior dan pengalamannya banyak, berfikir dan tindakannya cepat. Menjadi ketua Palang Merah Indonesia, dan Dewan Kemakmuran Masjid. Sudah terdidik sebagai seorang aktivis sejak dibangku kuliah, mantan ketua umum Himpunan Mahasiswa Islam dua periode. Berpengalaman dipemerintahan.

Diluar semua catatan ini, suara rakyatlah yang akan menentukan siapa yang akan menjadi presiden. Maka bersuaralah dan pilihlah tanggal 9 Juli nanti sesuai keinginan dan kecendrungan Anda masing-masing. Terakhir, di bulan Ramadhan ini, mari sempatkan banyak-banyak istigfhar dan berdoa agar Piplres terpilih nanti membawa berkah, bukan madharat bagi seluruh masyarakat Indonesia. Wallahu’alam.
Dipublish Radar Cirebon

Nostalgila Tahun Politik Oleh: Wahyu Iryana

Ditahannya Anas Urbaningrum mantan ketua umum partai pemenang pemilu oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan banjir Jakarta menjadi isu yang sedang marak dibincangkan di belbagai media, pasalnya hal ini merupakan memontum untuk mengganyang lawan politik. Memanasnya isu politik bukan tanpa sebab, dalam analisis masyarakat awam sekalipun semuanya akan bermuara pada suksesi pemilu para wakil rakyat dan pemilihan presiden sebagai orang nomer wahid di negeri ini. Hal inilah yang menyebabkan adanya saling sandera antar elite politik. Lalu pertanyaanya sekarang, di manakah posisi (kepentingan) rakyat? Apakah para elite politik anti kemakmuran rakyat? Apakah mereka hanya mementingkan pencitraan golongannya masing-masing?Maka marilah kita tonton saja bagaimana ending akhir dari pertunjukan nostalgila politik di tahun politik ini.
Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar, sejak dahulu sudah berjibaku untuk berjuang merebut kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan dan sekarang saatnya untuk mengisi kemerdekaan. Sakang jauh apabila kita membandingkan perjuangan para faunthing Father dengan para pelaku politik praktis sekarang ini. Bisa jadi karena jiwa zaman (Zeitgest) yang sudah berbeda.  Kegilaan berpolitik di negeri ini terlalu serius untuk diterjemahkan dalam berbagai dimensi. Ya, tahun 2014 adalah tahun politik, masyarakat akan disuguhkan dengan pemilihan anggota legislatif dan pemilihan Presiden.
 Bukan mau mencampuri konsep Kang Dede Mariana mengenai analisis politik di Jawa Barat, untuk itu saya bukan pakarnya. Bukan mau berbicara mengenai gubahan lansir budaya Sunda Kang Tjetje H. Padmadinata dalam Menembus Sekat-Sekat Budaya (2011), untuk itu  saya termasuk kaum ignoramus, kami yang tiada tahu suatu apa.
Penulis memahami bahwa pembangunan yang kita sedang laksanakan sekarang pada hakekatnya merupakan proses perubahan sosial (social chenge) dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Namun dalam melakukan proses perubahan itu, kita sering kehilangan arah yang menimbulkan belbagai dampak negatif dalam kehidupan sehari-hari. Sebut aja masalah tata kota yang semakin semrawut, macet, kriminalitas, pelacuran, apatis, frustasi, pengangguran, kerusakan alam akibat eksploitasi berlebih, banjir, sampah, pengangguran, mahalnya biaya rumah sakit dan terjadinya kepincangan ekonomi (pathologi social) antara si kaya dan si miskin dan sebagainya. Ungkapan tersebut setidaknya mewakili keinginan rakyat Indonesia sebagai raja dalam pemilu di tahun politik ini.
Manusia pada dasarnya memiliki cita-cita dan keinginan hidup yang tinggi. Alfred Marshall, pakar ekonomi Inggris, dalam bukunya Principles of Ekonomics mengatakan bahwa kemajuan dalam perhiasan hidup akan meninggalkan standar penghidupan, dan kalau hal ini yang terjadi maka keadaan ekonomi rakyat akan bertambah baik. Begitu kiranya yang masyarakat inginkan seperti dalam ulasan Naskah Siksa Kandang Karasian Yun suda yun suka yun mungguh yun luput. Nya mana sakitu kahayang jalma sareyana. (ingin sehat, ingin kaya, ingin masuk suraga, ingin moksa, ya hanya itulah macam keinginan manusia). Inilah sesungguhnya keinginan mendasar masyarakat setidaknya dari sudut manusia Sunda, keinginan hidup yang bersifat jasmani dan ruhaniah. Mungkin karena itu pula, masing-masing calon anggota dewan masih dominan menyoroti aspek kesehatan dan pendidikan dalam kampanye.
Faktanya sekarang, pemerintah mengharuskan kita untuk menerima kenyataan bahwa pertarungan dan perebutan kekuasaan yang terjadi mengakibatkan kelalaian dan tugas suci untuk melayani publik. Pemerintah lebih senang mengurus partainya masing-masing, daripada memikirkan nasib rakyat kecil yang tertindas oleh jiwa zamannya (zeitgest). Asep Salahudin (2011) pernah menegaskan bahwa idealnya seorang pemimpin harus memiliki sifat yang khodimul ummah (pelayan masyarakat) dalam makna yang tuntas, bukan sekadar wacana. Politik tidak dimaknai sebagai meraih kekuasaan dengan “menjual” masyarakat, tetapi politik sebagai katup kebudayaan guna meraih keadaban hidup.
Isu Korupsi
Mengutip data dari Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia bahwa saat ini ada 21 Gubernur, 7 Wakil Gubernur, 156 Bupati, 46 Wakil Bupati, 41 Wali Kota, dan 20 wakil Wali Kota terjerat kasus korupsi data ini dimungkinkan akan bertambah. Ditambah lagi 1.221 aparatur negara, 185 sudah menjadi tersangka menunggu vonis hukum, 122 terdakwa, 877 terpidana, 44 orang sebagai saksi kasus korupsi (29/5/2013).
 Meningkatnya absolutisme korupsi dalam elite penguasa, berbarengan dengan sikap hedonisme, melonggarnya keberpihakan terhadap rakyat, maraknya aksi kekerasan, konflik SARA dan dari semua itu kemudian akan bermuara pada meningkatnya disintegrasi sosial dan politik. Di sinilah perlunya revitalisasi dengan melakukan koreksi total terhadap berbagai aspek budaya peradaban. Proses itu bisa di mulai melalui pembenahan Pemilu yang lebih serius agar tidak melahirkan pemimpin yang koruptif, warga masyarakat sebagai pemilih juga harus cerdas dan faham mana calon wakil rakyat dan figur pemimpin yang layak dipilih untuk menjadi pemimpin lima tahun ke depan.
Belum terwujudnya kontrol sosial yang menyeluruh dalam lapisan masyarakat mengharuskan setiap individu dalam bingkai keanekaragaman berbangsa, harus sadar akan pentingnya kesamaan visi keadilan, karena wong agung di negeri ini tidak mempunyai fungsi vital dalam proses penyegeraan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, sementara hampir semua mata rakyat melihat bahwa proses mengawal reformasi masih merupakan babak baru dalam mengubah haluan sejarah perpolitikan, maka dalam jangka panjang bukan tidak mungkin pemerintah akan kehilangan legitimasi kebijakan kesejahtraan kolektif.
Dilema atas isu korupsi harus disikapi serius oleh setiap kandidat wakil dakyat dan calon pemimpin dalam tema kampanye, karena untuk bangkit dari keterpurukan, selain kesalehan sosial yang harus dibangun, juga kesalehan struktural yang terkait erat dengan sistem dan penyelenggaraan bernegara juga harus kuat. Momentum menegakkan kesalehan struktur tentu saja sangat tepat untuk konteks saat ini. Karena dalam catatan Transparancy International Indonesia (TII) yang membeberkan data tentang indeks persepsi korupsi Indonesia tahun 2012, belum mengalami perubahan yang signifikan. Indonesia menduduki peringkat 100 dari 178 negara korup di dunia dengan Indek Persepsi Korupsi (IPK) sebesar 3,0.
Karena sesungguhnya kuasa politik akan senantiasa berhimpitan secara timbal balik dengan nilai-nilai budaya yang dianut para pelakunya. Para pelaku politik pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk tidak berdusta. Ia terikat pada etika untuk selalu mengatakan bahwa yang benar itu adalah benar, dan bahwa yang salah itu adalah salah. Jika sewaktu-waktu berdusta, maka perbuatan dustanya itu akan mendapat perlawanan nurani. Dan pesan perlawanan ini dapat pula ditangkap lensa nurani melalui makna paralinguistik.

Robert Hafner (1998) Democratic Civility mengatakan bahwa untuk mengatur jalannya pemerintahan, pemimpin harus kuat sekaligus self-limiting dalam arti tidak memonopoli seluruh kekuasaan masyarakat sekaligus tidak menguasai sumber daya alam dan sumber daya manusia. Diperlukan pengembangan budaya politik yang pro rakyat, yang mampu mewadahi orientasi politik sehat. Karena pengembangan keadaban demokratis sangat tergantung pada penyesuaian kultural dan institusional. Selamat bernostalgila politik, mari ciptakan rasa aman, tentram dan damai.

Dipublish Kabar Cirebon

Kesejahtaraan Berbasis Oyod Mingmang Oleh:Wahyu Iryana

Oyod dalam bahasa Dermayu-Cirebon (Derbon) dapat diartikan dengan akar (pohon), sedangkan Mingmang dapat diartikan gamang, stagnan, kebingungan, buntu dan tidak bisa berbuat (diam). Pembahasan Oyod Mingmang penulis temukan pada Naskah Sulaiman Sulediningrat dalam menafsir kisah dakwah Sunan Gunung Jati ketika menaklukan daerah sekitar Cirebon, termasuk di dalamnya kisah Arya Kemuning yang tidak bisa menemukan wilayah Indramayu, karena Raden Indra Wijaya sang adipati Indramayu menanam oyod mingmang. Singkatnya oyod mingmang merupakan platform kearifan lokal yang menggambarkan kebingungan bersikap.
Pasca terpilihnya Joko Widodo (Jokowi) menjadi Presiden Repubik Indonesia, rakyat menjadi gamang karena pemberitaan media yang simpangsiur. Kebenaran adalah milik para penguasa belaka, timpangnya trias politika di negeri ini adalah suatu problem yang jelas tidak sehat untuk kehidupan berbangsa. Ada komunikasi yang tersendat antar para elite di negeri ini, dalam bahasa Asep Salahudin diejawantakan dengan komunikasi heurin ku letah. Menurut Asep Salahudin bahwa sikap heurin ku letah merupakan komunikasi naif sehingga tidak perlu dipertahankan. Sikap tersebut merupakan komunikasi inferior yang semakin menyebabkan seseorang kian terpuruk.
Sebagai warga yang baik tentu kita sepakat bahwa tugas para pemimpin sehingga mereka terpilih oleh rakyat, tentu dengan ongkos pemilihan yang mahal, namun demikian kiranya tujuan bijak yang hendak dituju adalah untuk menciptakan negara kesejahtraan, sehingga jelas tujuan akhirnya adalah kemakmuran rakyat. Emplementasi seorang pemimpin yang dipilih rakyat setidaknya berupaya meresapkan rasa keadilan merata kepada semua pihak apapun bendera partainya, budaya, suku, bahasa dan agamanya. Pemimpin dalam literatur Derbon bermakna “wong agung” yang idealnya mampu memberi rasa nyaman siapapun, Tarub berteduh dimana kontrak sosial diakadkan dengan tujuan utama bersama membangun keadaban masyarakat domakratis.
Kerangka imajinasi kita hendaknya harus mampu menembus sekat-sekat peradaban yang menghegomoni kesejahtraan rakyat, walaupun wong agung yang diharapkan sebagai pengayom pada praktiknya ternyata kerap mengalami pasang surut karena terjerat belenggu oyod mingmang, kerap terjangkit kegaulan bersikap bijak, dan kebuntuan mengambil peran-peran urgen yang menentukan nasib rakyat yang memilihnya. Dalam literasi nalar imajinatif masyarakat Dermayu-Cirebon  berganti wujud untuk menjadi orang lain, merupakan strategi politik untuk mengelabui lawan agar mendapatkan kemulyaan. (Tan hana sawiji wiji sejatining manusa sinatria malih rupa, ngongkrod jebol wawanen kamulyan). Namun di sisi yang lain menjadi naif karena pada akhirnya seorang pejabat yang sudah berubah baju dan bendera sekalipun tidak mampu berbuat banyak karena sistem yang sudah massif bagaikan Oyod Mingmang yang membelengu.
Khasanah literasi politik manusia Derbon bisa disematkan dalam Wong asih ora kurang pengalem, wong sengit ora kurang penyacad (orang yang pengasih tidak kurang pujian, orang yang pemarah tidak kurang celaaan). Agar target untuk menjalankan roda pemerintahan setelah terpilih bisa dioptimalkan. Karena pada akhirnya yang kita temui adalah wong becik ketitik, wong ala ketara (manusia baik ketauan, manusia jahat kelihatan). Makna yang lebih luas apabila dikaitkan dengan nalar positip para pemimpin agar menjadi pepakem adalah kebaikan dan kejelekan seorang pemimpin tidak akan bisa ditutup-tutupi, karena suatu saat apabila ia berbuat kesalahan ataupun kebaikan rakyat akan mengetahui.
Kenyataan yang sejati menyadarkan kita bahwa perilaku politik di negeri ini masih jauh dari dambaan rakyat pada umumnya. Politisi busuk yang berakar pada laku lampah sesat, saling mencaci dan membeci, menebar fitnah, bekerja untuk populeritas, melakukan kejahatan kolusi, korupsi dan nepotisme yang mendasari gerbang candradimuka buatan sengkuni yang oleh Stanislav Andreski (1968).  disebut Kleptocracy or Corruption as a System of Government, Negara Kleptokrasi; praktik korupsi dilakukan secara terorganisir yang dimainkan empat aktor intelektual: pejabat negara, aparat birokrasi, anggota parlemen, dan sektor swasta yang dimainkan oleh para pengusaha. Teringat pernyataan Imam Ali bin Abu Thalib yang mengatakan kejahatan yang terorganisir mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir.
Jangan-jangan negara kita terjangkit sindrom obor blarak, terjebak pada kekayaan alam yang tak terhingga, namun angka kemiskinan semakin menampakkan grafik menaik, menjadi bangsa yang berada di halaman belakang dari lembaran bangsa-bangsa Dunia. Tentu saja kekayaan khasanah kearifan lokal masyarakat Indonesia di seluruh penjuru tanah air mesti dijadikan modal sosial agar menjadi darah segar yang memompa keseluruh jasad manusia Indonesia untuk meraih keadaban hidup berkesejahtraan yang sesungguhnya. Hal ini harus difahami sebagai kepentingan universal yang mendesak karena budaya High Culture harus tetap terbuka terhadap nilai-nilai counter hegemonik, karena hal ini penting bagi survivalitas antar etnis secara kolektif. Kearifan lokal harus melakukan dekonstruksi nilai-nilainya yang tidak kondusif terhadap demokrasi, tanpa menghilangkan nilai-nilai luhur tata hidup berbangsa.
Manusia pada dasarnya memiliki cita-cita dan keinginan hidup yang tinggi. Alfred Marshall, pakar ekonomi Inggris, mengatakan bahwa kemajuan dalam perhiasan hidup akan meninggalkan standar penghidupan, dan kalau hal ini yang terjadi maka keadaan ekonomi rakyat akan bertambah baik. Faktanya sekarang, pemerintah dalam panggung sejarah Indonesia mengharuskan kita untuk menerima kenyataan bahwa pertarungan dan perebutan kekuasaan yang terjadi mengakibatkan kelalaian dan tugas suci untuk melayani publik. Pemerintah lebih senang mengurus partainya masing-masing, daripada memikirkan nasib rakyat kecil yang tertindas oleh jiwa zamannya (zeitgest).
Kerangka seorang sinden dalam pepakem pawayangan bersenandung Sun besuk mariya eman/Yen wonten grananing sasi/Srengenge kembar lima/Lintang alit gumilar sing/Sawiji tan hana urip/Mung sira kelawan isun/Matiya munggah suwarga/ (Esok, ketika diriku dihentikan kasih sayang/saat gerhana bulan/matahari kembar lima/terhampar bintang bercahaya/tak satupun ada yang hidup/hanya kamu dan aku/wafat menaiki langit-langit surga). Karena sesungguhnya kuasa politik akan senantiasa berhimpitan secara timbal balik dengan nilai-nilai budaya yang dianut para pelakunya. Para pelaku politik pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk tidak berdusta. Ia terikat pada etika untuk selalu mengatakan bahwa yang benar itu adalah benar, dan bahwa yang salah itu adalah salah. Jika sewaktu-waktu berdusta, maka perbuatan dustanya itu akan mendapat perlawanan nurani. Dan pesan perlawanan ini dapat pula ditangkap lensa nurani melalui isyarat bahasa tubuh, termasuk makna paralinguistik yang pada umumnya tampak pada raut muka para pelakunya.

 Kiranya tentu akan lebih baik jika persoalan yang tengah melilit bangsa Indonesia segera diselesaikan. karena rakyat awam sekalipun akan selalu memberikan isarat tanda tanya terhadap berbagai kerisauan berdemokrasi di negeri ini perlu segera diakhiri. Pemerintah, dalam hal ini Jokowi beserta jajaran kabinetnya, serta para anggota dewan dari manapun partainya harus segera melakukan kerja-kerja kolektif, terutama untuk memberikan solusi sebagai bagian dari pembelajaran politik masyarakat. Jika tidak, hal ini akan membekas pada memori politik masyarakat Indonesia sehingga dapat mendorong sikap apatis yang berakibat pada disintegrasi bangsa dalam rotasi oyod mingmang. Wallahualam.

Dipublish Kabar Cirebon

Esensi Ibadah Haji Oleh: Wahyu Iryana

Menunaikan ibadah haji bagi seorang muslim yang mampu adalah kewajiban. Namun yang harus dibincangkan lebih mendalam esensi haji tidak bersifat ritual (syariah, ibadah vertikal) semata, tetapi memberikan dimensi sosial (horizontal), mulai dari status sosial, gerakan perubahan sosial sampai legitimasi politik yang berdampak universal bagi umat.
Banyak para penulis Barat seperti halnya Martin van Bruinessen yang menulis Mencari ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji. Ada kesan orang Indonesia lebih mementingkan haji daripada bangsa lain, memang tidak dapat dipungkiri status sosial di masyarakat terhadap para haji memang lebih tinggi.
Seperti juga Snouck Hugronje keadaan ini erat kaitanya dengan budaya tradisional Asia Tenggara. Dalam kosmologi Jawa, (Asia Tenggara) pusat-pusat kosmis, titik temu antara dunia fana kita dengan alam supranatural, memainkan peranan sentral. Kuburan para leluhur, gunung, laut (samudra), gua dan hutan tertentu, tempat ‘angker’ lainnya tidak hanya diziarahi sebagai ibadah saja tetapi  dikunjungi untuk mencari ilmu ‘ngelmu’ (kesaktian) dan legitimasi politik. Pasca orang Jawa mulai masuk Islam, Makkah dianggap sebagai pusat kosmis utama.
Mengamani pernyataan Ibnu Ghifarie dalam Haji dan Kepemimpinan bahwa Kita tidak tahu kapan orang Jawa yang pertama naik haji, tetapi menjelang pertengahan abad ke- 17 raja-raja Jawa mulai mencari legitimasi politik di Makkah. Pada tahun 1630-an, raja Banten dan raja Mataram, yang saling bersaing, mengirim utusan ke Makkah untuk, mencari pengakuan dari sana dan meminta gelar ‘Sultan’. Para raja itu beranggapan ihwal gelar yang diperoleh dari Makkah akan memberi sokongan supranatural terhadap kekuasaan mereka. Sebetulnya, di Makkah tidak ada instansi yang pernah memberi gelar kepada penguasa lain. Para raja Jawa tadi rupanya menganggap Syarif Besar, yang menguasai Haramain (Makkah dan madinah) saja, memiliki wibawa spiritual atas seluruh Dar al-Islam.
Seperti halnya Sultan Agung mendapat gelar ketika dari tanah suci dengan sebutan Senopati Panatagama Khalifatullah, Shulthon Aulia Ing Tanah Jawi sebagai bentuk legitimasi politik kekuasaan dan keagamaan. Begitupun Putra Sultan Ageng Tirtayasa (Banten), Abdul Qahhar, yang belakangan dikenal sebagai Sultan Haji. Fungsi haji sebagai legitimasi politik terlihat jelas sekali dalam Sajarah Banten, Hikayat Hasanuddin, yang dikarang sekitar 1700.
Tabir Implementasi Haji
Dasar lahirnya haji merupakan fondasi awal dasar peradaban Islam berbasis keimanan yang kukuh. Serangkaian perintah Illahi yang diejawantahkan melalui qurban, thowaf, wukuf, sa’i, melempar jumrah pun menjadi petanda peradaban Rasul untuk menegakkan keadilan, perdamaian, persaudaraan sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.
John L. Esposito menulis bahwa menelaah kembali perjuangan napak tilas penolakan Ibrahim atas segala godaan setan untuk mengabaikan perintah Tuhan dengan beberapa kali melempari setan dengan batu, di sini disimbolkan dengan tiang batu. Setalah itu, mereka mengorbankan ternak (domba, kambing, sapi, unta) sebagiamana Ibrahim akhirnya diizinkan untuk mengganti anaknya dengan seekor biri-biri jantan. Ini melambangkan para jemaah haji ingin mengorbankan sesuatu yang paling penting bagi mereka.
Lanjut mengutip pernyataan John L. Esposito bahwa aktivitas mengenakan kain putih tanpa jahitan, simbol penyucian diri dari segala kesombongan, keangkuhan; Wukuf di Arafah untuk bertaubat, memohon pengampunanya sekaligus merasakan persatuan dan kesetraan yang mendasari umat islam seluruh dunia yang melampui perbedan-perbedaan ras, ekonomi dan jenis kelamin; Haji wada guna mengulangi ajakan nabi Muhammad kepada perdamain dan keharmonian di kalangan kaum muslim. (John L. Esposito,2004:114-116).
Pentingnya ibadah rukun kelima bagi yang mampu, Ali Syariati mengingatkan kepada kita yang diawali dengan cara luruskan niatnya. Halalkah uang yang kita gunakan untuk membiayai keberangkatan kita? Jiwa mana yang kita bawa? Jiwa yang hendak bertekuk lutut dan mengakui kehinaan  di hadapan Tuhan, atukah jiwa yang hendak ‘memperalat’ Tuhan demi status baru sebagai manusia yang gila hormat dan sanjungan? Ataukah sekadar memperpanjang gelar yang kita sandang? Ketulusan hati untuk menjadi tamu Allah harus kita tancapkan di hati dan dada kita.
Sebagaimana yang telah ditradisikan bahwa ketika tiba di Miqat,  ritual ibadah haji dimulai dengan memakai baju ihram,  segala perbedaan dan pembedaan ras, bangsa, kelas, subkelas, golongan dan keluarga harus  ditanggalkan supaya merasa kan dalam satu  kesatuan  dan  persamaan.  Di Miqat ini ada pun ras dan sukumu lepaskan semua pakaian yang engkau kenakan  sehari-hari sebagai serigala (yang melambangkan kekejaman dan penindasan), tikus (yang melambangkan kelicikan), anjing (yang melambangkan tipu   daya),  atau  domba  (yang  melambangkan  penghambaan). Tinggalkan semua itu di Miqat dan berperanlah sebagai  manusia yang sesungguhnya. Dengan demikian, ibadah haji memberikan kesempatan yang unik bagaimana umat Islam seharusnya bersikap egaliter, multi etnis, kultural dan mengabdikan kesatuan umat itu untuk pengejawantahan nilai-nilai kemanusiaan dan agama sebagaimana terkandung dalam Kalamullah. (Mingguan PESAN No 61/Th.II/03/2000)
Kiranya ruh patokan mabrurnya seorang yang telah menunaikan haji tidak bisa dinilai dengan angka ataupun materi. Namun setidaknya cerminan kepribadiaan yang tulus, pengorbanan tanpa pamrihnya sangat disegani dalam menjalani kehidupan sehari-harinya seorang haji akan terus menjadi teladan yang perlu kita tiru, ibarat pelita di tengah kegelapan masyarakat, bagaikan sinar kemilau yang memberi terang.
Syair Nasher Khosrow tantang haji perlu kita renungkan secara bersama supaya dalam menjalani rukun iman kelima ini tidak hanya mementingkan status, berburu gelar, legitimasi politik melainkan guna mendaptkan predikat Mabrur, seperti yang terdapat pada hadits Qudsi “Tidaklah ada balasan bagi haji mabrur, kecuali surga.”Sungguh pernyataan yang perlu kita aplikasikan.

Dalam definisi agama (Islam) istilah ini merupakan suatu sikap Istiqomah, yaitu  tetap konsisten, ajeg melakukan amalan kebaikan dengan landasan ilmu untuk mendapatkan ridho dari Sang Kuasa. Iniliah ciri pokok dari sufisme yang menuju kecintaan terhadap Sang Pencipta. Kerinduan memenuhi panggilan Illahi datang lagi ketika musim haji telah tiba. Marilah kita bersiap diri sebagai tamu Allah, Labaik allahuma Labaik, Labaik ala Syarikala Labaik.

Dipublish Radar Cirebon

Sekar Kedaton Cirebon Oleh:Wahyu Iryana

Sejak ayahnya meninggal dunia, Durahman hidup berdua dengan Emaknya Surti Ngantiwani sebagai seorang buruh tani. Hanafi ayah Durahman meninggal ketika meluku di sawah. Empat tahun lamanya mereka berkabung. Ya, memang Hanafi adalah lelaki tangguh dan bertanggungjawab, ia adalah tulang punggung keluarga, sejak memberanikan diri melamar Surti Ngantiwani sebagai turunan ningrat Kasultanan Cirebon, ia bertekad selama hidupnya akan membahagiakan Surti Ngantiwani. Anaknya Syarief Durahman ia sekolahkan sampai lulus sekolah rakyat selebihnya Durahman habiskan waktu di Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon asuhan Kiai Sanusi Murid dari pendiri Pesantren Babakan, Ki Jatira. Asar menjelang Surti Ngantiwani pulang ke rumah dengan membawa segedeng padi hasil gegemet di sawah Haji Dulgani. Nampak jelas lelah diwajahnya yang semakin menua. Sifat kesederhanaannya mencerminkan ciri khas darah biru Kasultanan Cirebon. Ya, memang Surti Ngantiwani masih memiliki darah biru, sejak menikah dengan Hanafi seorang petani yang hidup sebagai rakyat biasa darah ningrat Surti Ngantiwani luntur, mungkin inilah pilihan seorang wanita sejati yang rela hidup sebagai wong cilik. Sudah menjadi pepakem apabila seorang keluarga keraton wanita menikah dengan pemuda biasa maka darah ningratnya terhapus dengan sendirinya.
“Mak kenapa sih hidup kita sengsara, katanya Emak masih keturunan ningrat,” Celetuk Durahman membuka pembicaraan.
Surti Ngantiwani tertegun mendengar pertanyaan anaknya, lamunannya menerawang jauh, terbayang  kembali masa-masa kecil di Kraton Kesultanan, dahulu ia masih dipanggil Nyi Mas Ratu Kusuma Ayu Surti Ngantiwani Diningrat.
“Cung, hidup iku aja ngoyo, kudu bersyukur Gusti Allah iku maha weruh lan ngandita” Jawab Surti Ngantiwani menasehati anaknya.
Tak ada yang tahu semenjak Durahman pulang dari acara Panjang Jimat malam Muludan Kraton Kasepuhan ia mendadak menjadi pendiam. Nanar matanya, tidak bisa membohongi ada kegundahan hati yang disembunyikan. Benar saja, semenjak ia melihat wajah cantik Putri Sekar Kedaton Sultan Sepuh Cirebon. Durahman selalu mengurung diri dikamar, terkadang Durahman tertawa-tawa sendiri, selang waktu yang lain bercakap-cakap dengan bantal guling, persis seperti orang gila.
Durahman akhirnya memberanikan diri untuk bercerita yang sesungguhnya kepada Emaknya, bahwa ia sedang mencintai anak dari Sultan Sepuh Cirebon, Putri Sekar Kedaton yang cantik jelita. Sejak pertemuan dalam acara panjang jimat muludan di Kraton Kesultanan Cirebon, wajah sang putri selalu mengihasi segala hidupnya, ketika sedang makan terbayang wajah sang putri, ketika sedang tidur terbayang wajah sang putri. Durahman selalu ingat rambut panjang sang putri bak mayang terurai, bibirnya kepundung merekah, pokoknya semua tentang Putri Kedaton Cirebon adalah surga bagi Durahman.
“Cung, kamu lagi jatuh cinta? Tiap hari dandan terus, kaya dalang sandiwara Cablek, rambut leles, clana glombrang persis mirip raja dangdut.  Bicara saja anak mana? Anaknya Mang Sarman tah, Cucunya Bi Wasniti tah penjual surabi, atau anaknya Mang Kardipan yang punya gilingan padi?” ”Perkataan Emak menyadarkan lamunan Durahman.
“Bukan Mak, anaknya Mang Sarman kakinya pengkor, cucue Bi Wasniti gagu, anaknya Mang Kardipan bibirnya sumbing”
“Lah terus sapa cung,  biar nanti Emak akan lamarkan, tenang saja kan kita habis panen padi.”
            “Anu Mak, mmmm Putri Sekar Kedaton Cirebon.”
Surti Ngantiwani tertegun ia teringat kakeknya, Elang Cerbon yang pernah berucap, “Ndo...Surti Ngantiwani, walaupun anakmu nanti terlahir di tengah desa yang jauh dari keraton, anakmu akan tetap menjadi satria pinandita sebab masih ketetesan darah Sinuhun Kanjeng Sunan Gunung Jati.” Sesaat ucapan Elang Cerbon lenyap, yang nampak dihadapannya hanyalah  wajah Syarief Durahman.
“Durahman kalau kamu masih tetap ingin melamar Putri Kedaton Kasepuhan Cirebon, lebih baik kau pergi dari rumah ini, Emak tidak sudi menjadi ibumu.” Suara Surti Ngantiwani laksana petir di siang bolong memecah kesunyian. Durahman pun pergi meninggalkan rumah ngarayana entah kemana tak tahu rimbanya.
Sementara di Kraton Cirebon, Sultan Sepuh sedang diseba para pinangeran Kraton. Wajahnya murung memikirkan Putri kesayanganya yang sakit parah, banyak tabib di datangkan dari berbagai daerah seperti Rajagaluh, Luragung, Banten, Kawali, Sumedang Larang, Trowulan, Demak, Sunda Kelapa dan daerah lainnya tetapi tidak ada yang mampu mengobatinya. Sultan panik karena satu minggu lagi sang putri akan dinikahkan dengan putra mahkota Kerajaan Paseh.
Sultan akhirnya mengambil keputusan untuk membuat sayembara siapa yang bisa menyembuhkan putrinya, apabila ia perempuan akan dijadikan anak, dan apabila laki-laki akan dinikahkan dengan Putri Sekar Kedaton. Berita pun tersebar luas.
Di dalam Keraton hilir mudik tamu dari belbagai kerajaan berdatangan, diyakini mereka adalah orang-orang yang gagal mengikuti sayembara. Di depan gerbang kraton tampak hulubalang  yang beringas. Matanya memandangi kedatangan Durahman yang berperawakan ceking memakai iket wulung, celana kombor, baju batik mega mendung dan kain sarung di pinggangnya.
“Pengemis dilarang masuk” bentak salah satu hulubalang yang tinggi besar.
Ribut adu mulut di gerbang kraton terdengar sampai ke telinga Sultan. Beliau menanyakan duduk perkara yang terjadi. Jelas kiranya maksud pemuda yang disangka pengemis oleh hulubalang berniat untuk ikut sayembara. Setalah dipersilahkan masuk, sang pemuda meminta segelas air putih, untuk dicampurkan dengan ramuan yang telah ia racik. sang pemuda meminumkan dua tiga tegukan ke mulut sang putri.
Lima menit kemudian, keringat dingin keluar dari tubuh sang putri. Ia bangkit dari tidurnya, sesaat sang putri meminta untuk diantar ke belakang puri keraton. Sekonyong-konyong sang putri ingin buang air besar.
Sultan menjadi semakin panik, “Hai pemuda apabila terjadi yang tidak-tidak dengan putriku kau akan dihukum pancung di alun-alun.” Sultan berkerut kening.
Karena Sang Putri tidak keluar-keluar dari puri Istana. Sultan semakin gelisah ia menggap sang pemuda meracun sang putri, karena buang air besar terus menerus. “Pengawal tangkap pemuda itu.”
“Tunggu, tunggu sebentar...Pemuda itu telah menyelamatkan nyawa hamba dia tidak bersalah” Sela sang putri yang baru keluar dari puri keraton.
“Lepaskan dia prajurit!” Hardik Sultan.
“Kau pemenang sayembara, anak muda!”
Seminggu setelah itu datanglah rombongan dari Paseh membawa lamaran yang dahulu sudah disepakati Sultan Cirebon dengan Kerajaan Paseh. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, kebingungan Sultan semakin menjadi.
“Nak Mas Durahman saya memohon maaf, karena sebenarnya Putri Sekar Kedaton sudah saya jodohkan dengan Pangeran Paseh. Sebagai penggantinya silahkan mintalah apapun keinginanmu, karena nak mas telah menyembuhkan putri saya.”
Dengan wajah penuh hormat Durahman berucap “Saya hanya orang biasa Kanjeng Sultan, saya merasa bangga sudah memberikan yang terbaik untuk Kesultanan Cirebon, hamba tidak meminta apa-apa, saya hanya berdoa semoga Putri Sekar Kedaton hidup bahagia.”Ucap Durahman sembari memohon pamit.
                                                                Indramayu, 13 September 2013.
                                                Keterangan:
Elang: gelar kebangsawan Keraton Cirebon. Meluku: Membajak sawah memakai kerbau. Gegemet:Mengais padi yang tercecer. Ngarayana: Mengembara.


Kabar Cirebon,  03 Oktober 2013