September
Akhir penulis menyambagi negara Singapura untuk menghadirin Konfrensi Kerukunan
Umat Beragama tingkat Dunia. Hadir juga beberapa perwakilan ormas dari Indonesia
seperti Muhammadiyah, NU, Jaringan Komunikasi Antar Umat Beragama, Ansor, Jamaat
Ahmadiyyah, PMII termasuk juga dari kalangan akedemisi dan jurnalis. Ada Perwakilan
tiap negara sebagai pembicara dari Singapura sebagai tuan rumah, Wakil Menteri Kamboja, Kalabgan Diplomatik
dari Vietnam, para pemimpin dari Thailand, Philipina, Malaysia, sedangkan dari
Indonesia diwakili oleh Prof. DR. Qasim Mathar guru besar UIN Makasar. Pembica
utama yang menarik perhatian penulis adalah dari Khalifah Ahmadiyyah Hadhrat
Mirza Masroor Ahmad yang mengambil tema membagun ekonomi dunia yang adil,
setara dan saling menolong.
Mungkin
sang khalifah benar kita harus belajar mewujudkan kesejahtraan hidup setidaknya
dengan belajar banyak dari kiat sukses orang Cina. Menurut buku Rahasia Bisnis
Orang Cina yang di tulis oleh Ann Wan Seng, orang Cina lebih maju dari bangsa
lain dalam berbisnis. Mereka meyakini kalau hanya sekedar pintar berdagang
tidak memberikan hasil yang maksimal. Seorang pembisnis harus agresif, berani,
tahan banting, bersemangat dan pintar mencari peluang. Mereka harus cepat
bergerak tanpa takut resiko.
Ann
Wan Seng menambahkan secara historis orang Cina umumnya lahir dari keluarga
pedagang miskin dan tidak berpendidikan. Namun orang-orang Cina perantau itu
memiliki pandangan dan falsafah yang kuat agar jangan menyerah pada nasib.
Prinsip ini membantu memenangkan persaingan di komunitasnya. Inilah yang
menjadi sebab mengapa orang Cina selalu lebih dulu bertindak. Kebanyakan
masyarakat Cina percaya bahwa nasib buruk dapat diubah. Persatuan dan ikatan
antar mereka cukup kuat. Pengusaha Cina lebih suka mempekerjakan sanak saudaranya
dari pada orang lain, hal ini diupayakan untuk membantu jumlah kaum miskin di
antara mereka cepat berkurang.
Manusia pada
dasarnya memiliki cita-cita dan keinginan hidup yang tinggi. Alfred Marshall,
pakar ekonomi Inggris, dalam bukunya Principle
of Ekonomics mengatakan bahwa kemajuan dalam perhiasan hidup akan
meninggalkan standar penghidupan, dan kalau hal ini yang terjadi maka keadaan
ekonomi rakyat akan bertambah baik. Maka menjadi suatu kebenaran mutlak apabila
umat Islam harus mampu membagun ekonomi dunia yang adil, setara dan saling
menolong seperti anjuran Khalifah Ahmadiyyah Hadhrat Mirza Masroor Ahmad
Khalifatul masih ke-5.
Menguatnya
isu kekerasan yang mengatasnamakan agama di dunia termasuk di wilayah Asia
Tenggara bukanlah hal baru, pertanyaannya adalah apakah hal ini merupakan
sebuah ancaman besar dari skenario global ataukah itu justru merupakan potensi
menuju perdamaian hakiki yang lebih mengakar dan universal?
Di sinilah
perlunya revitalisasi kesadaran kolektif dengan melakukan koreksi total
terhadap berbagai aspek sistemik terstuktur dan sistem baku yang telah
dilegalisir. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah agama secara konstitusional
atau organisasi yang bernafaskan semangat riligius cukup serius dan sungguh-sungguh
untuk melakukan koreksi total terhadap kesadaran hidup rukun beragama? Jika
tidak, proses disintegrasi sosial dan politik yang menggejala seperti di
Malaysia, Indonesia, Thailand, Palistina, Bangladesh, Afghanistan, Mesir,
Siria, akan terbuka lebar dan semakin sulit diatasi. Mengapa Singapura
dijadikan tempat konfrensi salah satu alasannya adalah karana Singapura saat
ini kondusif dari deraan konflik antar etnis dan agama.
Belum
terwujudnya kontrol sosial yang menyeluruh dalam lapisan masyarakat
mengharuskan setiap individu dalam ranah keragaman hidup yang berdampungan
dalam perbedaan, harus terus diasah dan difasililitasi untuk terus berdialog
demi kepentingan bersama. Semua mata rakyat dunia melihat bahwa proses mengawal
regenerasi pemerintahan di berbagai belahan dunia masih merupakan babak baru
dalam mengubah haluan sejarah perpolitikan, maka dalam jangka panjang agama-agama
diharapkan mampu menjadi perekat untuk mewujudkan perdamaian dan kerukunan umar
beragama di dunia.
Kerukunan
dan Perdamaian
Setiap
negara pasti memiliki identitas (identity)
nasional sebagai wujud kesadaran berbangsa. Begitupun Indonesia sebagai negara
besar, para pemimpin negeri ini dituntut mampu memberi kontribusi lebih kepada
bangsa yang sedang dirundung berbagai problem-problem yang mendasar seperti
korupsi, moral para pemimpin, banjir, kemiskinan, pengangguran, pemerataan
pembangunan yang tak kunjung bersua. Idealnya yang menjadi ukuran besar dan
kecilnya wadah kenegaraan bukan pada kuantitas, namun dalam kualitas. Yang
besar dan berkualitas dengan sendirinya akan unggul, tetapi yang harus kita
fahami adalah yang kecil terorganisir dan berkualitas pun akan mampu
mengalahkan yang besar tapi tidak berkualitas. Namun, selama manusia hidup
bersuku-suku dan berbangsa-bangsa selama itu pula corak budaya dan keragaman
akan terus hidup berdampingan.
Di
era modern ini agaknya makin sedikit rakyat manusia yang berfikir tentang
semangat kebersamaan, kerukunan umat beragama, dan perdamaian. Bisa jadi ini
akibat dari mengktistalnya ego kedirian yang semakin menguat. Adanya Konfrensi
kerukunan antara umat beragama semua kelompok dan golongan yang baru-baru ini
sukses di Singapura merupakan langkah besar untuk terus menggenjot semangat
kebersamaan dan perdamaian dunia.
Banyak
faktor yang memperkuat lunturnya semangat kerukunan dan perdamaian dunia. Pada
satu sisi, warga dunia merasa pesimis lantaran memandang begitu banyaknya
persoalan. Pertikaian dan kekerasan seakan sudah menjadi hal biasa. Sedemikian
mengkhawatirkannya, bahkan untuk persoalan sepele seperti percekcokan mulut
acapkali berbuntut panjang hingga mengorbankan jiwa manusia. Malah yang lebih
dahsyat, sebagaimana yang diberitakan dibelbagai media, kasus pemerkosaan yang
semakin merajala di India.
Meminjam
bahasa Imam Prasodjo (2001) yang mengatakan bila bangsa ini masih ingin
bertahan hidup, kita harus melakukan upaya kolektif untuk melakukan
penanggulangan masalah secara bersama-sama. Di tiap-tiap komunitas, perlu
digalang pembentukan "unit-unit reaksi cepat" untuk mengatasi
berbagai masalah yang ada. Berbagai kelompok mediasi harus ditumbuhkan untuk
mengatasi konflik yang muncul. Asosiasi orang tua murid, pemuda, seniman, akedemisi,
tokoh ormas, wartawan dan lain-lain perlu segera diaktifkan untuk mempercepat
terciptanya komunitas responsif di lingkungannya masing-masing. Dalam situasi
semacam ini, kita pun dapat menimba hikmah kata-kata mantan presiden negara
adidaya sekaliber AS, John F Kennedy: "Ask
not what your country can do for you, but ask what you can do for your
country."
Setidaknya ada
beberapa harapan masyarakat untuk pemimpinnya. Pertama, membentuk sistem
penyelenggaraan negara yang adil dan transparan tanpa merugikan kepentingan
rakyat banyak. Kedua, peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat secara
keseluruhan. Ketiga, pengembangan dan pemberdayaan kaum intelektualitas dan
profesional di segala bidang. Keempat, hubungan internasional yang lebih
progresif untuk kemajuan negara. Kelima, sosialisasi pendidikan ketatanegaraan.
Sesungguhnya
persoalan bangsa bukan terletak pada bagaimana cara menyatukan keragaman tetapi
bagaimana menerima dan merayakan perbedaan itu sebagai wahana kearifan yang
tidak terhingga bagi kemajuan bangsa ini. Setidaknya harapan untuk membangun
keadaban demokratis dan masyarakat yang berkeadilan sosial, bisa segera
terwujud.
No comments:
Post a Comment