Saturday, July 18, 2015

Kerukunan Umat Beragama di Singapura Oleh: Wahyu Iryana

September Akhir penulis menyambagi negara Singapura untuk menghadirin Konfrensi Kerukunan Umat Beragama tingkat Dunia. Hadir juga beberapa perwakilan ormas dari Indonesia seperti Muhammadiyah, NU, Jaringan Komunikasi Antar Umat Beragama, Ansor, Jamaat Ahmadiyyah, PMII termasuk juga dari kalangan akedemisi dan jurnalis. Ada Perwakilan tiap negara sebagai pembicara dari Singapura sebagai tuan rumah,  Wakil Menteri Kamboja, Kalabgan Diplomatik dari Vietnam, para pemimpin dari Thailand, Philipina, Malaysia, sedangkan dari Indonesia diwakili oleh Prof. DR. Qasim Mathar guru besar UIN Makasar. Pembica utama yang menarik perhatian penulis adalah dari Khalifah Ahmadiyyah Hadhrat Mirza Masroor Ahmad yang mengambil tema membagun ekonomi dunia yang adil, setara dan saling menolong.
Mungkin sang khalifah benar kita harus belajar mewujudkan kesejahtraan hidup setidaknya dengan belajar banyak dari kiat sukses orang Cina. Menurut buku Rahasia Bisnis Orang Cina yang di tulis oleh Ann Wan Seng, orang Cina lebih maju dari bangsa lain dalam berbisnis. Mereka meyakini kalau hanya sekedar pintar berdagang tidak memberikan hasil yang maksimal. Seorang pembisnis harus agresif, berani, tahan banting, bersemangat dan pintar mencari peluang. Mereka harus cepat bergerak tanpa takut resiko.
Ann Wan Seng menambahkan secara historis orang Cina umumnya lahir dari keluarga pedagang miskin dan tidak berpendidikan. Namun orang-orang Cina perantau itu memiliki pandangan dan falsafah yang kuat agar jangan menyerah pada nasib. Prinsip ini membantu memenangkan persaingan di komunitasnya. Inilah yang menjadi sebab mengapa orang Cina selalu lebih dulu bertindak. Kebanyakan masyarakat Cina percaya bahwa nasib buruk dapat diubah. Persatuan dan ikatan antar mereka cukup kuat. Pengusaha Cina lebih suka mempekerjakan sanak saudaranya dari pada orang lain, hal ini diupayakan untuk membantu jumlah kaum miskin di antara mereka cepat berkurang.
Manusia pada dasarnya memiliki cita-cita dan keinginan hidup yang tinggi. Alfred Marshall, pakar ekonomi Inggris, dalam bukunya Principle of Ekonomics mengatakan bahwa kemajuan dalam perhiasan hidup akan meninggalkan standar penghidupan, dan kalau hal ini yang terjadi maka keadaan ekonomi rakyat akan bertambah baik. Maka menjadi suatu kebenaran mutlak apabila umat Islam harus mampu membagun ekonomi dunia yang adil, setara dan saling menolong seperti anjuran Khalifah Ahmadiyyah Hadhrat Mirza Masroor Ahmad Khalifatul masih ke-5.
Menguatnya isu kekerasan yang mengatasnamakan agama di dunia termasuk di wilayah Asia Tenggara bukanlah hal baru, pertanyaannya adalah apakah hal ini merupakan sebuah ancaman besar dari skenario global ataukah itu justru merupakan potensi menuju perdamaian hakiki yang lebih mengakar dan universal?
Di sinilah perlunya revitalisasi kesadaran kolektif dengan melakukan koreksi total terhadap berbagai aspek sistemik terstuktur dan sistem baku yang telah dilegalisir. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah agama secara konstitusional atau organisasi yang bernafaskan semangat riligius cukup serius dan sungguh-sungguh untuk melakukan koreksi total terhadap kesadaran hidup rukun beragama? Jika tidak, proses disintegrasi sosial dan politik yang menggejala seperti di Malaysia, Indonesia, Thailand, Palistina, Bangladesh, Afghanistan, Mesir, Siria, akan terbuka lebar dan semakin sulit diatasi. Mengapa Singapura dijadikan tempat konfrensi salah satu alasannya adalah karana Singapura saat ini kondusif dari deraan konflik antar etnis dan agama.
Belum terwujudnya kontrol sosial yang menyeluruh dalam lapisan masyarakat mengharuskan setiap individu dalam ranah keragaman hidup yang berdampungan dalam perbedaan, harus terus diasah dan difasililitasi untuk terus berdialog demi kepentingan bersama. Semua mata rakyat dunia melihat bahwa proses mengawal regenerasi pemerintahan di berbagai belahan dunia masih merupakan babak baru dalam mengubah haluan sejarah perpolitikan, maka dalam jangka panjang agama-agama diharapkan mampu menjadi perekat untuk mewujudkan perdamaian dan kerukunan umar beragama di dunia.
Kerukunan dan Perdamaian
Setiap negara pasti memiliki identitas (identity) nasional sebagai wujud kesadaran berbangsa. Begitupun Indonesia sebagai negara besar, para pemimpin negeri ini dituntut mampu memberi kontribusi lebih kepada bangsa yang sedang dirundung berbagai problem-problem yang mendasar seperti korupsi, moral para pemimpin, banjir, kemiskinan, pengangguran, pemerataan pembangunan yang tak kunjung bersua. Idealnya yang menjadi ukuran besar dan kecilnya wadah kenegaraan bukan pada kuantitas, namun dalam kualitas. Yang besar dan berkualitas dengan sendirinya akan unggul, tetapi yang harus kita fahami adalah yang kecil terorganisir dan berkualitas pun akan mampu mengalahkan yang besar tapi tidak berkualitas. Namun, selama manusia hidup bersuku-suku dan berbangsa-bangsa selama itu pula corak budaya dan keragaman akan terus hidup berdampingan. 
Di era modern ini agaknya makin sedikit rakyat manusia yang berfikir tentang semangat kebersamaan, kerukunan umat beragama, dan perdamaian. Bisa jadi ini akibat dari mengktistalnya ego kedirian yang semakin menguat. Adanya Konfrensi kerukunan antara umat beragama semua kelompok dan golongan yang baru-baru ini sukses di Singapura merupakan langkah besar untuk terus menggenjot semangat kebersamaan dan perdamaian dunia.  
Banyak faktor yang memperkuat lunturnya semangat kerukunan dan perdamaian dunia. Pada satu sisi, warga dunia merasa pesimis lantaran memandang begitu banyaknya persoalan. Pertikaian dan kekerasan seakan sudah menjadi hal biasa. Sedemikian mengkhawatirkannya, bahkan untuk persoalan sepele seperti percekcokan mulut acapkali berbuntut panjang hingga mengorbankan jiwa manusia. Malah yang lebih dahsyat, sebagaimana yang diberitakan dibelbagai media, kasus pemerkosaan yang semakin merajala di India.
Meminjam bahasa Imam Prasodjo (2001) yang mengatakan bila bangsa ini masih ingin bertahan hidup, kita harus melakukan upaya kolektif untuk melakukan penanggulangan masalah secara bersama-sama. Di tiap-tiap komunitas, perlu digalang pembentukan "unit-unit reaksi cepat" untuk mengatasi berbagai masalah yang ada. Berbagai kelompok mediasi harus ditumbuhkan untuk mengatasi konflik yang muncul. Asosiasi orang tua murid, pemuda, seniman, akedemisi, tokoh ormas, wartawan dan lain-lain perlu segera diaktifkan untuk mempercepat terciptanya komunitas responsif di lingkungannya masing-masing. Dalam situasi semacam ini, kita pun dapat menimba hikmah kata-kata mantan presiden negara adidaya sekaliber AS, John F Kennedy: "Ask not what your country can do for you, but ask what you can do for your country."
Setidaknya ada beberapa harapan masyarakat untuk pemimpinnya. Pertama, membentuk sistem penyelenggaraan negara yang adil dan transparan tanpa merugikan kepentingan rakyat banyak. Kedua, peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat secara keseluruhan. Ketiga, pengembangan dan pemberdayaan kaum intelektualitas dan profesional di segala bidang. Keempat, hubungan internasional yang lebih progresif untuk kemajuan negara. Kelima, sosialisasi pendidikan ketatanegaraan.
Sesungguhnya persoalan bangsa bukan terletak pada bagaimana cara menyatukan keragaman tetapi bagaimana menerima dan merayakan perbedaan itu sebagai wahana kearifan yang tidak terhingga bagi kemajuan bangsa ini. Setidaknya harapan untuk membangun keadaban demokratis dan masyarakat yang berkeadilan sosial, bisa segera terwujud.

Dimuat di Koran Kabar Cirebon

No comments:

Post a Comment