Detik-detik
jelang pemilihan Gubernur Jawa Barat, menginspirasi penulis untuk mengkaji
lebih mendalam tentang etos hidup dalam kebudayaan Sunda. Masyarakat Jawa Barat
akan kembali menjadi raja dalam pesta demokrasi pemilihan Gubernur Jawa Barat,
tidak dapat dipungkiri bahwa kajian tentang pandangan hidup Sunda harus mendapat
apresiasi tinggi khususnya pada masyarakat Jawa Barat sendiri, termasuk faktor
kesejahtaan hidup, dan etika bermasyarakat yang erat kaitannya dengan
faktor-faktor lain. Apa sebenarnya keinginan masyarakat Jawa Barat?Pertanyaan
inilah yang akan dijadikan kajian mendalam.
Manusia
Sunda yang terlahir sebagai jiwa pengembara tergambar dengan semangat hidup
berladang, seperti halnya keterangan Saleh Danasasmita (1975) bahwa Huma dan Imah adalah sesuatu yang tidak terpisahkan atau berdiri sendiri
huma yang bermakna ladang dan imah yang bermakna rumah menjadi patokan bahwa
manusia Sunda dekat dengan alam, dalam bahasa luas orang Sunda harus
melestarikan lingkungan dan pantang merusak alam. Karakteristik yang perlu
dkritisi dari pola budaya masyarakat peladang adalah kecendrungan hidup
individualis. Karena kecendrungan hidup berladang rumah yang berjauhan,
sehingga satu dengan yang lainnya tidak saling mengenal dan saling membantu,
dalam gambaran kekinian adalah dapat terlihat dalam kehidupan komplek perumahan
di kota, masyarakat Sunda yang hidup di komplek perumahan harus membaur dengan
masyrakat yang berbeda etnis dan latar belakang, ditambah dengan kesibukan yang
berjibun, bisa dipastikan antar tetangga rumah tidak saling kenal. Lain halnya
situasi dan cara kerja dalam lingkungan masyarakat sawah. Dalam tradisi
masyarakat sawah, pola kampung yang tetap dan berkelompok, yang dengan
sendirinya mereka hidup saling bergotong-royong dalam melakukan berbagai
kegiatn sosial, seperti membangun rumah, kajatan keluarga, membangun tempat ibadah,
balai desa dan yang lainnya mereka selalu ikhlas tolong menolong dan bekerja
sama. Situasi ini sangat jarang kita temui di perkotaan. Miniatur kehidupan
masyarakat pesawahan bisa kita jumpai di kawasan desa budaya seperti di Kampung
Kuta (Ciamis), Kampung Naga (Tasikmalaya), ataupun di Kampung Ciptagelar
(Sukabumi).
Menurut
analisis dari Kusnaka Admihardja kecendrungan sikap individualis masyarakat
ladang tercermin pula dalam ungkapan yang sederhana, seperti hayam diparaban
silih acak, silih toker, digiringkeun paburisat; ari bebek mah ngaleut bae.
Ungkapan tersebut di atas kalau dikaitkan dengan konsep solidarity makers dan administrator
dari Ferth, maka pola kepemimpinan Sunda sebagai masyarakat ladang identik
dengan pola kepemimpinan administrators yang disimbolkan dengan (ayam),
sedangkan pola kepemimpinan masyarakat sawah yang selalu mendahulukan
kepentingan bersama, hidup bergotong royang, harmonis dan lainnya identik
dengan tipe kepemimpinan solidarity
makers (bebek) adalah simbol masyarakat sawah yang guyub dengan
pemimpinnya. (Kusnaka Admihardja, 1989:230).
Kajian
Naskah
Seperti
halnya pandangan hidup manusia Sunda yang terdapat dalam Naskah Siksa Kandang
Karasian Naskah Sunda Kuna yang selesai ditulis tahun 1440 Saka atau 1518
Masehi dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Atja dan Saleh Danasasmita
tahun 1981, bagaimana orang Sunda telah mampu memaparkan konsep hidup yang
terkait manusia sebagai pribadi dalam seratan Ini pangimbung ning twah, pakeun mo tiwas kala manghurip, pakeun wastu
di imah maneh; emet imeut rajeun leukeun, paka predana, morogol-logol, purusa
ning sa, widagda hapitan, kara waleya, cangcingan langsitan. (ini pelengkap
yang harus jadi perbuatan kita, agar tidak gagal dalam hidup, agar tidak gagal
dirumahmu; cermat, teliti, rajin, tekun, cukup pakaian, bersemangat, berpribadi
kesatria, bijaksana dalam menengahi, berseri-seri karena sehat, cekatan,
trampil), pada dasarnya manusia Sunda sebagai pribadi sadar akan keberadaannya
ditengah masyarakat, yang harus mampu berinteraksi dengan cara berguru pada
masyarakat, agar mampu berperilaku baik dan berperangai baik pula.
Pandangan hidup tentang manusia dalam hubungan
dengan lingkungan masyarakatnya tertuang dalam serat ceuli ulah barang denge, mo ma
nu sieup didenge, mata ulah barang deule, mo ma nu sien dideuleu, kulit
ulah dipake gulanggasehan ku panas ku tiis, letah ulah salah nu dirasakeun,
irung ulah salah ambeu, sungut ulah barang carek, lengeun ulah barang cokot, suku
ulah barang tincak, payu ulah dipake keter, baga ulah dipake kancoleh (Telinga
jangan sembarang dengar bila bukan sesuatu yang pantas didengar, mata jangan
sembarang lihat bila bukan sesuatu yang pantas dilihat, kulit jangan digunakan
untuk bergulang-guling dalam keresahan karena cuaca panas dan dingin, lidah
jangan sembarang mengucap sesuatu, hudung jangan sembarang mencium sesuatu,
mulut jangan sembarang bertutur, tangan jangan sembarang ambil, kaki jangan
sembarang injak, pelepasan jangan dibuat gemetaran, alat kelamin wanita dan
lelaki jangan dibuat berzinah), hubungan manusia dalam masyarakat adalah aturan
yang harus ditaati bersama apabila tidak maka saksi adat yang akan
menghukumnya. Pandangan hidup manusia dengan alam tergambar dalam serat Lamun urang pulang ka dayeuh, ulah ngising
di pinggir jalan, di sisi imah di tungtung caangna, bisi kaambeu ku menak ku
gusti. Sunguni tungtu nu rongah-rongah, bisi kusumbah kapadakeun...ngisingmah
tujuh langkah tijalan, boa monemu picarekeun sakalih, ja urang nyaho di ulah
pamali (bila kita datang ka kota, jangan buang hajat sembarangan, di
samping rumah, di tempat yang terang, takut kalu-kalau tercium oleh pejabat dan
raja. Timbuni dan tutuplah bagian yang berlubang itu, agar tidak kena serapah
akhirnya... buang hajat harus tujuh langkah dari sisi jalanbuang air kecil
harus tiga langkah agar tidak mendapat marah dari semuanya, karena kita tahu
pada larangan dan panatangan).
Adapun
hubungan manusia dengan penciptanya Naskah Siksa Kandang Karasian menjelaskan Anak bakti di bapa, ewe bakti di laki, hulun
bakti di pacandaan, sisya bakti di guru, wong tani bakti di wado, wado bakti di
mantri, mantri bakti di nu nangganan, nu nangganan bakti di mangkubumi,
mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti dewata, dewata bakti di hyang (Anak
berbakti kepada ayah, istri berbakti kepada suami, hamba sahaya berbakti kepada
majikannya, siswa berbakti kepada guru, petani berbakti kepada Wado, Wado
berbakti kepada mantri, manti berbakti kepada nu nangganan, nu nangganan
berbakati kepada mangkubumi, mangkubumi berbakti kepada raja, raja berbakti
kepada dewata, dewata berbakti kepada hyang tunggal). Sedangkan konsep hidup
yang terakhir dalam Naskah Siksa Kandang Karasiahan adalah pandangan hidup
tentang manusia dalam hubungan dengan kemajuan dan kepuasan rohani salah
satunya tertuang dalam Yun suda yun suka
yun mungguh yun luput. Nya mana sakitu kahayang jalma sareyana. (ingin
sehat, ingin kaya, ingin masuk suraga, ingin moksa, ya hanya itulah macam
keinginan manusia). Inilah sesungguhnya keinginan mendasar masyarakat Jawa
Barat keinginan hidup yang bersifat jasmani dan ruhaniah. Semoga sedikit uraian
tentang kajian falsafah hidup dalam naskah Siksa Kandang Karasian bisa memberi
pencerahan dalam menjalani hidup.
Dipublish Tribun Jabar,
Sabtu 16 Februari 2013
Sangat menginspirasi pak..
ReplyDeletesukses terus ya pak...