Sunday, July 19, 2015

Etos Hidup Sunda Oleh: Wahyu Iryana

Detik-detik jelang pemilihan Gubernur Jawa Barat, menginspirasi penulis untuk mengkaji lebih mendalam tentang etos hidup dalam kebudayaan Sunda. Masyarakat Jawa Barat akan kembali menjadi raja dalam pesta demokrasi pemilihan Gubernur Jawa Barat, tidak dapat dipungkiri bahwa kajian tentang pandangan hidup Sunda harus mendapat apresiasi tinggi khususnya pada masyarakat Jawa Barat sendiri, termasuk faktor kesejahtaan hidup, dan etika bermasyarakat yang erat kaitannya dengan faktor-faktor lain. Apa sebenarnya keinginan masyarakat Jawa Barat?Pertanyaan inilah yang akan dijadikan kajian mendalam.
Manusia Sunda yang terlahir sebagai jiwa pengembara tergambar dengan semangat hidup berladang, seperti halnya keterangan Saleh Danasasmita (1975) bahwa Huma dan Imah adalah sesuatu yang tidak terpisahkan atau berdiri sendiri huma yang bermakna ladang dan imah yang bermakna rumah menjadi patokan bahwa manusia Sunda dekat dengan alam, dalam bahasa luas orang Sunda harus melestarikan lingkungan dan pantang merusak alam. Karakteristik yang perlu dkritisi dari pola budaya masyarakat peladang adalah kecendrungan hidup individualis. Karena kecendrungan hidup berladang rumah yang berjauhan, sehingga satu dengan yang lainnya tidak saling mengenal dan saling membantu, dalam gambaran kekinian adalah dapat terlihat dalam kehidupan komplek perumahan di kota, masyarakat Sunda yang hidup di komplek perumahan harus membaur dengan masyrakat yang berbeda etnis dan latar belakang, ditambah dengan kesibukan yang berjibun, bisa dipastikan antar tetangga rumah tidak saling kenal. Lain halnya situasi dan cara kerja dalam lingkungan masyarakat sawah. Dalam tradisi masyarakat sawah, pola kampung yang tetap dan berkelompok, yang dengan sendirinya mereka hidup saling bergotong-royong dalam melakukan berbagai kegiatn sosial, seperti membangun rumah, kajatan keluarga, membangun tempat ibadah, balai desa dan yang lainnya mereka selalu ikhlas tolong menolong dan bekerja sama. Situasi ini sangat jarang kita temui di perkotaan. Miniatur kehidupan masyarakat pesawahan bisa kita jumpai di kawasan desa budaya seperti di Kampung Kuta (Ciamis), Kampung Naga (Tasikmalaya), ataupun di Kampung Ciptagelar (Sukabumi).
Menurut analisis dari Kusnaka Admihardja kecendrungan sikap individualis masyarakat ladang tercermin pula dalam ungkapan yang sederhana, seperti hayam diparaban silih acak, silih toker, digiringkeun paburisat; ari bebek mah ngaleut bae. Ungkapan tersebut di atas kalau dikaitkan dengan konsep solidarity makers dan administrator dari Ferth, maka pola kepemimpinan Sunda sebagai masyarakat ladang identik dengan pola kepemimpinan administrators yang disimbolkan dengan (ayam), sedangkan pola kepemimpinan masyarakat sawah yang selalu mendahulukan kepentingan bersama, hidup bergotong royang, harmonis dan lainnya identik dengan tipe kepemimpinan solidarity makers (bebek) adalah simbol masyarakat sawah yang guyub dengan pemimpinnya. (Kusnaka Admihardja, 1989:230).
Kajian Naskah
Seperti halnya pandangan hidup manusia Sunda yang terdapat dalam Naskah Siksa Kandang Karasian Naskah Sunda Kuna yang selesai ditulis tahun 1440 Saka atau 1518 Masehi dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Atja dan Saleh Danasasmita tahun 1981, bagaimana orang Sunda telah mampu memaparkan konsep hidup yang terkait manusia sebagai pribadi dalam seratan Ini pangimbung ning twah, pakeun mo tiwas kala manghurip, pakeun wastu di imah maneh; emet imeut rajeun leukeun, paka predana, morogol-logol, purusa ning sa, widagda hapitan, kara waleya, cangcingan langsitan. (ini pelengkap yang harus jadi perbuatan kita, agar tidak gagal dalam hidup, agar tidak gagal dirumahmu; cermat, teliti, rajin, tekun, cukup pakaian, bersemangat, berpribadi kesatria, bijaksana dalam menengahi, berseri-seri karena sehat, cekatan, trampil), pada dasarnya manusia Sunda sebagai pribadi sadar akan keberadaannya ditengah masyarakat, yang harus mampu berinteraksi dengan cara berguru pada masyarakat, agar mampu berperilaku baik dan berperangai baik pula.
 Pandangan hidup tentang manusia dalam hubungan dengan lingkungan masyarakatnya tertuang dalam serat ceuli ulah barang denge, mo ma  nu sieup didenge, mata ulah barang deule, mo ma nu sien dideuleu, kulit ulah dipake gulanggasehan ku panas ku tiis, letah ulah salah nu dirasakeun, irung ulah salah ambeu, sungut ulah barang carek, lengeun ulah barang cokot, suku ulah barang tincak, payu ulah dipake keter, baga ulah dipake kancoleh (Telinga jangan sembarang dengar bila bukan sesuatu yang pantas didengar, mata jangan sembarang lihat bila bukan sesuatu yang pantas dilihat, kulit jangan digunakan untuk bergulang-guling dalam keresahan karena cuaca panas dan dingin, lidah jangan sembarang mengucap sesuatu, hudung jangan sembarang mencium sesuatu, mulut jangan sembarang bertutur, tangan jangan sembarang ambil, kaki jangan sembarang injak, pelepasan jangan dibuat gemetaran, alat kelamin wanita dan lelaki jangan dibuat berzinah), hubungan manusia dalam masyarakat adalah aturan yang harus ditaati bersama apabila tidak maka saksi adat yang akan menghukumnya. Pandangan hidup manusia dengan alam tergambar dalam serat Lamun urang pulang ka dayeuh, ulah ngising di pinggir jalan, di sisi imah di tungtung caangna, bisi kaambeu ku menak ku gusti. Sunguni tungtu nu rongah-rongah, bisi kusumbah kapadakeun...ngisingmah tujuh langkah tijalan, boa monemu picarekeun sakalih, ja urang nyaho di ulah pamali (bila kita datang ka kota, jangan buang hajat sembarangan, di samping rumah, di tempat yang terang, takut kalu-kalau tercium oleh pejabat dan raja. Timbuni dan tutuplah bagian yang berlubang itu, agar tidak kena serapah akhirnya... buang hajat harus tujuh langkah dari sisi jalanbuang air kecil harus tiga langkah agar tidak mendapat marah dari semuanya, karena kita tahu pada larangan dan panatangan).
Adapun hubungan manusia dengan penciptanya Naskah Siksa Kandang Karasian menjelaskan Anak bakti di bapa, ewe bakti di laki, hulun bakti di pacandaan, sisya bakti di guru, wong tani bakti di wado, wado bakti di mantri, mantri bakti di nu nangganan, nu nangganan bakti di mangkubumi, mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti dewata, dewata bakti di hyang (Anak berbakti kepada ayah, istri berbakti kepada suami, hamba sahaya berbakti kepada majikannya, siswa berbakti kepada guru, petani berbakti kepada Wado, Wado berbakti kepada mantri, manti berbakti kepada nu nangganan, nu nangganan berbakati kepada mangkubumi, mangkubumi berbakti kepada raja, raja berbakti kepada dewata, dewata berbakti kepada hyang tunggal). Sedangkan konsep hidup yang terakhir dalam Naskah Siksa Kandang Karasiahan adalah pandangan hidup tentang manusia dalam hubungan dengan kemajuan dan kepuasan rohani salah satunya tertuang dalam Yun suda yun suka yun mungguh yun luput. Nya mana sakitu kahayang jalma sareyana. (ingin sehat, ingin kaya, ingin masuk suraga, ingin moksa, ya hanya itulah macam keinginan manusia). Inilah sesungguhnya keinginan mendasar masyarakat Jawa Barat keinginan hidup yang bersifat jasmani dan ruhaniah. Semoga sedikit uraian tentang kajian falsafah hidup dalam naskah Siksa Kandang Karasian bisa memberi pencerahan dalam menjalani hidup.


Dipublish Tribun Jabar, Sabtu 16 Februari 2013

1 comment: