Sunday, July 19, 2015

Fenomena Golput Oleh: Wahyu Iryana

      Golput atau golongan putih bukanlah nama partai yang harus dipilih dalam pemilu tetapi dalam perjalanan di Indonesia eksistensinya senantiasa membayang-bayangi pelaksanaan pesta demokrasi tersebut. Menurut Said Aqil Siraj dalam buku Islam Kebangsaan menyatakan bahwa satu fenomena di tengah kehidupan demokrasi di Indonesia yang semakin menguat semenjak pemilu dekade 70-an dimana Golongan Karya (Golkar) sebagai salah satu peserta pemilu yang bukan dari unsur parpol menjadi single majority. Genderang golput semakin meningkat tatkala konsesus nasional menyepakati adanya fusi beberapa partai kedalam Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia. (Said Aqil Siraj, 1999:59).
                       Fenomena golput dalam pemilu legislatif dan pemilu eksekutif  nanti akan kembali muncul. Golput yang pernah dikejar-kejar pada masa orde baru ini, menurut beberapa pengamat politik akan mengalami peningkatan yang serius. Adapun faktor yang menyebabkan orang bergolput adalah saat ini berkembang fakta bahwa masyarakat semakin tidak percaya pada elit politik dan partai politik yang berkuasa, dikarenakan pemilu 2014 nanti dianggap tidak jauh beda dengan pemilu sebelumnya yakni hanya sebagai kepentingan jangka pendek untuk kepentingan kekuasan.
                      Dalam hal ini negara sebagai institusi yang bertanggung jawab atas suksesnya pemilu telah membentuk panitia kerja Rancangan Undang-Undang (RUU) pemilu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hasil kerja dari panitia tersebut di antaranya yaitu telah menyepakati tentang pencantuman ancaman hukuman bagi pengajak golput.
                                   Pro-kontra mengenai kesepakatan ini sempat terjadi bahkan kritik gencar dilontarkan berbagai kelompak LSM dan elemen masyarakat terhadap klausal sanksi hukum tersebut, seperti yang diungkapkan Arif Budiman, yang menyatakan bahwa mempidanakan golput sangat mengurangi prinsip demokrasi. Sebab gerakan golput sebenarnya membela hak pilih, Cuma hak pilihnya bukan memilih partai tapi hak pilih untuk tidak memlilih, di sisi lain larangan kampanye golput merupakan bentuk pengebiran demokrasi, ini sama tidak masuk akal untuk melarang kampanye tidak memilih. Kampanye tidak memilih itu sama saja dengan dengan kampanye memilih partai. Kebebasan tidak memeilih itu sama saja dengan kebebasan memilih.
                   Pemberian hukuman kepada penganjur golput mengundang permasalahan dan kontraversi yaitu mengenai kesamaan hak memilh atau tidak memilih dalam pemilu. Dalam hal ini Undang-undang pemilu  memberikan perlindungan kepada orang yang mengajak memilih partai sedangkan orang yang mengajak untuk tidak memilih partai alias golput tidak mendapatkan perlindungan.
                                 Di antara dua statemen di atas mengarah kepada ketidak-adilan mengenai perlindungan hukum, padahal keduanya merupakan hak asasi manusia. Hal ini memang tidak mudah untuk memisahkannya satu sisi ini adalah hak warga sisi yang lain ini merupakan bentuk partisipasi politik yang dijadikan sebagai momentum untuk menentukan nasib bangsa ini. Partisipasi itu sendiri sesungguhnya cukup problematika. Jangankan di suatu negeri yang sedang berkembang seperti negeri kita ini, di negeri yang telah majupun, atau paling maju seperti Amerika, patisipasi politik itu merupakan problema (Nurcholis Madjid, 1995:52).
                      Undang-undang No. 12 Tahun 2003 tentang pemilu, Pasal 139 Ayat I menerangkan, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dan menghalang-halangi seseorang yang akan melakukan haknya untu memilih, di ancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan atau denda paling sedikit   Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
                      Menghalang-halangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih di antaranya dilakukan dengan mengkampenyakan golput, sehingga akibat yang muncul adalah perlawanan terhadap Undang-undang pemilu. Suatu perbuatan tertentu dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Hak untuk penuntutan dari kejaksaan hanya ada sepanjang ditujukan pada persangkaan terhadap suatu perbuatan yang oleh pembuaat Undang-undang dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang diancam dengan pidana .

                  Golput Dalam Islam
                      Dalam Islam seorang muslim dianjurkan mengemukakan ide atau gagasan untuk menciptakan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Setiap orang mempunyai hak untuk berpendapat dan menyatakan pendapatnya selama dia dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum dan norma lainnya. Artinya tidak seorangpun diperbolehkan menyebarkan fitnah, hasut dan berita-berita yang mengganggu ketertiban umum. Kemudian pendapat yang dikehendaki adalah pendapat yang brsifat konstruktif, tidak bersifat destruktif dan tidak pula bersifat anarchis (Dalizar Putra, 1995: 52).
              Islam menghendaki terciptanya masyarakat yang damai dimana interaksi di dalamnya diwarnai oleh kadilan, oleh karena itu hukum pidana Islam bisa dikatakan sebagai obat bagi masyarakat yang sedang sakit. Cara yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan dan menyabarkan yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran dengan memberikan sanksi kepada yang melakukannya. Maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah layak orang yang mengajak golput dikenakan pidana ataukah hanya sekedar rekayasa belaka.
                      Memilih dalam pemilu adalah hak bukan kewajiban, sehingga tidak ada alasan yang menyatakan bahwa tidak memilih dalam pemilu merupakan suatu pelanggaran hukum, karena tidak ada satu pasalpun dalam Undang-undang yang mengancam perbuatan ini. Berbeda dengan orang yang mengajak bergolput, menurut pasal 139 Undang-Undang No. 12 Tahun 2003, orang yang mengajak bergolput dapat dikenakan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,000 (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
                      Jika dilihat dari berat ringannya hukuman yang diancamkan pada pasal 139, maka ini dapat dimasukkan dalam kategori pelanggaran, karena sanksi yang diberiakan maksimal hanya 1 (satu tahun). Sedangkan kalau ditinjau dari hukum pidan Islam pebuatan ini, dapat dimasukan dalam perbuatan jarimah ta'zir, karena perbuatan ini bisa dilarang berdasarkan keputusan pemerintah yang sah.

            Perbuatan pengajak golput dapat dikatakan suatu jarimah karena di dalam perbuatan tersebut telah mengandung unsur-unsur dan syarat-syarat  perbuatan jarimah. Dalam hukum pidana positif mengenai berat ringannya suatu sanksi perbuatan tidak dapat dilepaskan dari pasal yang mengancamnya, artinya seorang hakim dapat menjatunkan sanksi berdasarkan pasal-pasal yang menjerat perbuatn pidana yang dilakaukan, sedangkan dalam hukuman pidana Islam kusus bagi jarimah ta'zir berat ringannya suatu hukuman sepenuhnya diserahkan kepada penguasa atau hakim. Idealnya dalam tatanan kebangsaan yang menjungjung demokrasi kerakyatan perumusan suatu pasal hendaknya kalimat yang digunakan lebih menggunakan bahasa yang lebih mudah untuk dipahami sesuai dengan tujuan yang dimaksud, sehingga mengenai hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi. Penulis pribadi memandang walaupun memilih dalam pemilu bukanlah kewajiban, tetapi golput hendaknya perlu diperhatikan dan diwaspadai, karena kalau hal ini dibiarkan berlarut-larut maka akan berakibat lebih buruk, sehingga perlu adanya penanganan dan kesadaran kolektif masyarakat dan pemerintah, agar pelaksanaan pemilu kada berjalan nanti lancar.

Dipublish Bandung Ekspres, 11 Februari 013

No comments:

Post a Comment