Golput atau golongan putih bukanlah nama partai yang harus dipilih dalam
pemilu tetapi dalam perjalanan di Indonesia eksistensinya senantiasa
membayang-bayangi pelaksanaan pesta demokrasi tersebut. Menurut Said Aqil Siraj dalam buku Islam
Kebangsaan menyatakan bahwa satu fenomena di tengah
kehidupan demokrasi di Indonesia yang semakin menguat semenjak pemilu dekade
70-an dimana Golongan Karya (Golkar) sebagai salah satu peserta pemilu yang
bukan dari unsur parpol menjadi single majority. Genderang golput semakin
meningkat tatkala konsesus nasional menyepakati adanya fusi beberapa partai
kedalam Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia. (Said Aqil Siraj, 1999:59).
Fenomena golput dalam pemilu legislatif dan pemilu eksekutif nanti akan kembali muncul. Golput yang pernah dikejar-kejar pada
masa orde baru ini, menurut beberapa
pengamat politik akan mengalami peningkatan yang
serius. Adapun faktor yang menyebabkan orang bergolput adalah saat ini
berkembang fakta bahwa masyarakat semakin tidak percaya pada elit politik dan
partai politik yang berkuasa, dikarenakan pemilu 2014 nanti dianggap tidak
jauh beda dengan pemilu sebelumnya yakni hanya sebagai kepentingan jangka
pendek untuk kepentingan kekuasan.
Dalam hal ini negara sebagai institusi yang bertanggung jawab atas
suksesnya pemilu telah membentuk panitia kerja Rancangan Undang-Undang (RUU)
pemilu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hasil kerja dari panitia tersebut di
antaranya yaitu telah menyepakati tentang pencantuman ancaman hukuman bagi
pengajak golput.
Pro-kontra mengenai kesepakatan ini sempat terjadi bahkan kritik
gencar dilontarkan berbagai kelompak LSM dan elemen masyarakat terhadap klausal
sanksi hukum tersebut, seperti yang diungkapkan Arif Budiman, yang menyatakan bahwa mempidanakan
golput sangat mengurangi prinsip demokrasi. Sebab gerakan golput
sebenarnya membela hak pilih, Cuma hak pilihnya bukan memilih partai tapi hak pilih untuk tidak memlilih, di sisi lain larangan
kampanye golput merupakan bentuk pengebiran demokrasi, ini sama tidak
masuk akal untuk melarang kampanye tidak memilih. Kampanye tidak memilih itu
sama saja dengan dengan kampanye memilih partai. Kebebasan tidak memeilih itu
sama saja dengan kebebasan memilih.
Pemberian hukuman kepada penganjur golput mengundang
permasalahan dan kontraversi yaitu mengenai kesamaan hak memilh atau tidak
memilih dalam pemilu. Dalam hal ini Undang-undang pemilu memberikan perlindungan kepada orang yang
mengajak memilih partai sedangkan orang yang mengajak untuk tidak memilih
partai alias golput tidak mendapatkan perlindungan.
Di antara dua
statemen di atas mengarah kepada ketidak-adilan mengenai perlindungan hukum, padahal
keduanya merupakan hak asasi manusia. Hal ini memang tidak mudah untuk memisahkannya
satu sisi ini adalah hak warga sisi yang lain ini merupakan bentuk partisipasi
politik yang dijadikan sebagai momentum untuk menentukan nasib bangsa ini.
Partisipasi itu sendiri sesungguhnya cukup problematika. Jangankan di suatu
negeri yang sedang berkembang seperti negeri kita ini, di negeri yang telah
majupun, atau paling maju seperti Amerika, patisipasi politik itu merupakan
problema (Nurcholis Madjid, 1995:52).
Undang-undang No. 12 Tahun 2003 tentang pemilu, Pasal 139
Ayat I menerangkan,
setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan
atau ancaman kekerasan dan menghalang-halangi seseorang yang akan melakukan
haknya untu memilih, di ancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)
bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau
paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Menghalang-halangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk
memilih di antaranya dilakukan dengan mengkampenyakan golput, sehingga
akibat yang muncul adalah perlawanan terhadap Undang-undang pemilu. Suatu
perbuatan tertentu dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Hak untuk
penuntutan dari kejaksaan hanya ada sepanjang ditujukan pada persangkaan
terhadap suatu perbuatan yang oleh pembuaat Undang-undang dinyatakan sebagai
suatu perbuatan yang diancam dengan pidana .
Golput Dalam Islam
Dalam Islam
seorang muslim dianjurkan mengemukakan ide atau gagasan untuk menciptakan
kebaikan dan mencegah kemungkaran. Setiap orang mempunyai hak untuk berpendapat
dan menyatakan pendapatnya selama dia dalam batas-batas yang ditentukan oleh
hukum dan norma lainnya. Artinya tidak seorangpun diperbolehkan menyebarkan
fitnah, hasut dan berita-berita yang mengganggu ketertiban umum. Kemudian
pendapat yang dikehendaki adalah pendapat yang brsifat konstruktif, tidak
bersifat destruktif dan tidak pula bersifat anarchis (Dalizar Putra, 1995: 52).
Islam menghendaki terciptanya masyarakat yang damai dimana interaksi di
dalamnya diwarnai oleh kadilan, oleh karena itu hukum pidana Islam bisa
dikatakan sebagai obat bagi masyarakat yang sedang sakit. Cara yang dapat
dilakukan yaitu dengan melakukan dan menyabarkan yang ma’ruf dan
mencegah kemungkaran dengan memberikan sanksi kepada yang melakukannya. Maka
pertanyaan selanjutnya adalah apakah layak orang yang mengajak golput dikenakan
pidana ataukah hanya sekedar rekayasa belaka.
Memilih dalam
pemilu adalah hak bukan kewajiban, sehingga tidak ada alasan yang menyatakan
bahwa tidak memilih dalam pemilu merupakan suatu pelanggaran hukum, karena
tidak ada satu pasalpun dalam Undang-undang yang mengancam perbuatan ini.
Berbeda dengan orang yang mengajak bergolput, menurut pasal 139 Undang-Undang
No. 12 Tahun 2003, orang yang mengajak bergolput dapat dikenakan pidana
penjara paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan
atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,000 (satu juta rupiah) atau paling
banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Jika dilihat
dari berat ringannya hukuman yang diancamkan pada pasal 139, maka ini dapat
dimasukkan dalam kategori pelanggaran, karena sanksi yang diberiakan maksimal
hanya 1 (satu tahun). Sedangkan kalau ditinjau dari hukum pidan Islam pebuatan
ini, dapat dimasukan dalam perbuatan jarimah ta'zir, karena perbuatan ini
bisa dilarang berdasarkan keputusan pemerintah yang sah.
Perbuatan pengajak golput dapat dikatakan suatu jarimah karena
di dalam perbuatan tersebut telah mengandung unsur-unsur dan syarat-syarat perbuatan jarimah. Dalam
hukum pidana positif mengenai berat ringannya suatu sanksi perbuatan tidak
dapat dilepaskan dari pasal yang mengancamnya, artinya seorang hakim dapat
menjatunkan sanksi berdasarkan pasal-pasal yang menjerat perbuatn pidana yang
dilakaukan, sedangkan dalam hukuman pidana Islam kusus bagi jarimah ta'zir
berat ringannya suatu hukuman sepenuhnya diserahkan kepada penguasa atau hakim. Idealnya dalam tatanan kebangsaan yang
menjungjung demokrasi kerakyatan perumusan suatu pasal
hendaknya kalimat yang digunakan lebih menggunakan bahasa yang lebih mudah
untuk dipahami sesuai dengan tujuan yang dimaksud, sehingga mengenai hal-hal
yang tidak diinginkan tidak terjadi. Penulis pribadi memandang walaupun memilih dalam
pemilu bukanlah kewajiban, tetapi golput
hendaknya perlu diperhatikan dan diwaspadai, karena
kalau hal ini dibiarkan berlarut-larut maka akan berakibat lebih buruk,
sehingga perlu adanya penanganan dan kesadaran kolektif masyarakat dan
pemerintah, agar pelaksanaan pemilu kada
berjalan nanti
lancar.
Dipublish Bandung Ekspres, 11 Februari 013
No comments:
Post a Comment