Memperhatikan jalannya proses kerukunan
antarumat beragama di Indonesia yang berkembang belakangan ini, terkait
banyaknya problematika keragaman di Indonesia yang mengatasnamakan agama,
rasanya kita patut bertanya di manakah sesungguhnya fungsi dan peran
agama-agama? Sebagai motivator, aktor, ataukah sebagai “pemain pengganti” dari
game reformasi restrukturilisasi?
Jawaban atas pertanyaan ini penting
karena akan menjadi ketentuan mutlak bagi diskursus keagamaan di masa kini dan
mendatang, dalam kaitan posisi agama di ruang publik (ranah politik). Dengan
sendirinya masalah lunturnya kebhiekaan berbangsa secara sosiologis akan
terkait dengan pertanyaan mengenai peran agama dalam politik tersebut.
Tidak bisa dimungkiri bahwa semua ajaran
agama menekankan tentang pentingnya membentuk pribadi yang saleh secara ritual
(ibadah). Saleh secara ritual atau individual merupakan fondasi pokok, dan
harus menjadi prioritas dalam kehidupan seorang manusia. Ini berarti bahwa ia
secara teguh dan konsisten menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai umat
beragama. Namun demikian, tentu saja kesalehan individul tersebut tidak mempunyai
makna yang berarti ketika tidak tercermin dalam hubungannya dengan sesama. Dari
sinilah kemudian banyak pihak mengklaim pentingnya kesalehan sosial, sebagai
manifestasi tindak lanjut dari keberagamanan manusia.
Kesalahan sosial idealnya adalah mereka yang
mengimplementasikan ritual ibadah terhadap Tuhan dengan kehidupan keseharian
terhadap sesama manusia. Karena pola yang akan terbagun kemudian adalah
pemahaman yang utuh bahwa sebaik-baik manusia adalah mereka yang bermanfaat
bagi manusia lainnya. Sudah seharusnya bahwa persoalan bangsa yang terjadi
dewasa ini merupakan tanggungjawab seluruh elemen masyarakat. Dari manapun dia
berasal walau berbeda ras, suku bangsa, dan agama hendaknya bahu-membahu untuk
menuntaskan problem bangsa yang menggurita dari berbagai arah.
Menurut pandangan Ibn Khaldun, setelah
suatu negara mencapai puncak kejayaan, negara kemudian akan mengalami keadaan
yang “stabil” untuk kemudian mulai mengalami guncangan dan disintegrasi. Hal
ini dikarenakan, penguasa dan masyarakat lebih tertarik untuk menikmati hidup
dengan kemewahan. Pada beberapa subbahasan dalam Mukadimah dan Kitab Al-Ibar
Ibnu Khaldun menjelaskan, masa pertumbuhan, kemajuan, dan kemunduran negara
adalah 120 tahun. Masa tersebut terbagi ke dalam tiga generasi manusia, sehingga
persisnya dalam tiap generasi masing-masing 40 tahun.
Jika jangka waktu yang dipaparkan Ibn
Khaldun diterapkan pada masyarakat Indonesia, maka pandangan tersebut banyak
benarnya. Setelah melewati masa pertumbuhan, kemajuan, dan kemunduran, pada masyarakat
Indonesia telah menunjukan indikasi apa yang menjadi gagasan mendasar dari
Khaldun. Meningkatnya absolutisme korupsi dalam elite penguasa, berbarengan
dengan sikap hedonisme, melonggarnya keberpihakan terhadap rakyat, memperkaya
diri, dan dari semua itu kemudian akan bermuara pada meningkatnya disintegrasi
sosial dan politik.
Di sinilah perlunya revitalisasi dengan
melakukan koreksi total terhadap berbagai aspek budaya peradaban. Pertanyaan
selanjutnya adalah, apakah agama-agama yang diakui di Indonesia secara
konstitusional atau organisasi yang bernafaskan keagamaan cukup serius dan
sungguh-sungguh untuk melakukan koreksi total tersebut? Jika tidak, proses
disintegrasi sosial dan politik di Indonesia akan terbuka lebar dan semakin
sulit diatasi.
Belum terwujudnya kontrol sosial yang
menyeluruh dalam lapisan masyarakat mengharuskan setiap individu dalam bingkai
keanekaragaman berbangsa, harus sadar akan pentingnya kesamaan visi keadilan di
negeri ini. Di lain pihak jika agama tidak mempunyai fungsi vital dalam proses
penyegeraan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, sementara hampir semua mata
rakyat Indonesia melihat bahwa proses mengawal reformasi masih merupakan babak
baru dalam mengubah haluan sejarah perpolitikan, maka dalam jangka panjang agama
akan kehilangan legitimasinya untuk berperan dalam politik apabila agama-agama
tidak mampu menggenggam arah perjuangan bangsa yang diinginkan rakyat
Indonesia.
Membangun budaya kesalehan stuktural
Meminjam istilah Robert Hafner (1998),
Keadaban Demokratis (Democratic Civility) bahwa untuk mengatur jalannya
pemerintahan, negara harus kuat tetapi sekaligus self-limiting dalam artian
tidak memonopoli seluruh kekuasaan masyarakat dan sekaligus menguasai sumber
daya alam dan sumber daya manusia. Diperlukan pengembangan budaya politik yang
pro rakyat, yang mampu mewadahi orientasi politik para pemimpin dan warga
negara. Dalam ungkapan lain Azyumardi Azra (1999) mengatakan bahwa wacana
publik tentang revolusi dan pengembangan budaya politik, bermuara pada gagasan tentang
pembentukan masyarakat madani. Menurut Azra, sebagian ahli bertitik tolak dari
kerangka dan pengalaman Eropa Timur dan Amerika Latin yang memandang bahwa
masyarakat madani dalam posisi oposisional vis a vis negara, bahkan sebagai
alternatif bagi negara. Karena seperti dikemukakan Hafner, pengembangan
keadaban demokratis sangat tergantung pada perubahan dan penyesuaian kultural
dan institusional.
Apabila kita amati fenomena gerakan
protes yang terjadi di Timur Tengah ataupun di Amerika Latin dalam tahun-tahun
yang silam, sebenarnya merupakan refleksi dari ketidakmampuan pemimpin negara
untuk memberikan kesejahteraan publik yang terpinggirkan. Jangan sampai
kemudian agama menjadi instrumen partikularistik gerakan-gerakan agama dan
kebangkitan kelompok, yang kemudian mendapatkan angin segar dari suara-suara
internasional yang menginginkan perpecahan di dunia Islam. Hal ini yang
diperlukan oleh negara, agar agama dijadikan perekat pada level society. Jika
perekat itu hilang dan diganti oleh ikatan kepentingan salah satu golongan,
maka konsep kenegaraan yang memiliki budaya democratic civility akan lenyap
secara perlahan.
Dilema atas ambiguitas keberagaman
tersebut di atas harus terus menerus diperbaiki. Karena untuk membuat bangsa
Indonesia bangkit dari keterpurukan, selain kesalehan sosial yang harus
dibangun, juga kesalehan struktural yang terkait erat dengan sistem dan
penyelenggaraan bernegara. Momentum menegakkan kesalehan struktur tentu saja
sangat tepat untuk konteks saat ini. Karena dalam catatan Transparancy
International Indonesia (TII) yang membeberkan data tentang indeks persepsi
korupsi Indonesia tahun 2012, belum mengalami perubahan yang signifikan.
Indonesia menduduki peringkat 100 dari 178 negara korup di dunia dengan Indek
Persepsi Korupsi (IPK) sebesar 3,0.
Apabila bangsa Indonesia berhasil
menuntaskan agenda reformasi yang digawangi sejak Mei 1998 dan membangun
kembali pemerintahan yang konsisten untuk menyejahterakan rakyatnya, maka
masyarakat Indonesia sedang dibawa ke suatu masa depan yang gemilang. Namun,
apabila proses dari reformasi tidak berjalan sesuai yang diharapkan, semua
protes sosial yang dilakukan rakyat Indonesia dari 1998 dikhawatirkan akan
menjadi bumerang, yakni menumbuhkan penjajahan baru di negeri sendiri.
Setidaknya ada beberapa harapan
masyarakat Indonesia dari banyaknya rentetan keinginan yang mereka lakukan.
Pertama, membentuk sistem penyelenggaraan negara yang adil dan transparan tanpa
merugikan kepentigan rakyat banyak. Kedua, peningkatan kesejahteraan ekonomi
rakyat secara keseluruhan. Ketiga, pengembangan dan pemberdayaan kaum
intelektualitas dan profesional di segala bidang. Keempat, hubungan
internasional yang lebih progresif untuk kemajuan negara. Kelima, sosialisasi
pendidikan ketatanegaraan.
Apabila semua aspek tersebut
dilaksanakan oleh pengemban amanah kepemimpinan, harapan untuk membangun
keadaban demokratis seperti gagasan Hafner dan kosep masyarakat yang
berkeadilan sosial, mungkin bisa terwujud.
Dipublish Galamedia,
12 juli 2012
No comments:
Post a Comment