Sunday, July 19, 2015

Kesalehan Stuktural Oleh:Wahyu Iryana

Memperhatikan jalannya proses kerukunan antarumat beragama di Indonesia yang berkembang belakangan ini, terkait banyaknya problematika keragaman di Indonesia yang mengatasnamakan agama, rasanya kita patut bertanya di manakah sesungguhnya fungsi dan peran agama-agama? Sebagai motivator, aktor, ataukah sebagai “pemain pengganti” dari game reformasi restrukturilisasi?
Jawaban atas pertanyaan ini penting karena akan menjadi ketentuan mutlak bagi diskursus keagamaan di masa kini dan mendatang, dalam kaitan posisi agama di ruang publik (ranah politik). Dengan sendirinya masalah lunturnya kebhiekaan berbangsa secara sosiologis akan terkait dengan pertanyaan mengenai peran agama dalam politik tersebut.
Tidak bisa dimungkiri bahwa semua ajaran agama menekankan tentang pentingnya membentuk pribadi yang saleh secara ritual (ibadah). Saleh secara ritual atau individual merupakan fondasi pokok, dan harus menjadi prioritas dalam kehidupan seorang manusia. Ini berarti bahwa ia secara teguh dan konsisten menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai umat beragama. Namun demikian, tentu saja kesalehan individul tersebut tidak mempunyai makna yang berarti ketika tidak tercermin dalam hubungannya dengan sesama. Dari sinilah kemudian banyak pihak mengklaim pentingnya kesalehan sosial, sebagai manifestasi tindak lanjut dari keberagamanan manusia.
Kesalahan sosial idealnya adalah mereka yang mengimplementasikan ritual ibadah terhadap Tuhan dengan kehidupan keseharian terhadap sesama manusia. Karena pola yang akan terbagun kemudian adalah pemahaman yang utuh bahwa sebaik-baik manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Sudah seharusnya bahwa persoalan bangsa yang terjadi dewasa ini merupakan tanggungjawab seluruh elemen masyarakat. Dari manapun dia berasal walau berbeda ras, suku bangsa, dan agama hendaknya bahu-membahu untuk menuntaskan problem bangsa yang menggurita dari berbagai arah.
Menurut pandangan Ibn Khaldun, setelah suatu negara mencapai puncak kejayaan, negara kemudian akan mengalami keadaan yang “stabil” untuk kemudian mulai mengalami guncangan dan disintegrasi. Hal ini dikarenakan, penguasa dan masyarakat lebih tertarik untuk menikmati hidup dengan kemewahan. Pada beberapa subbahasan dalam Mukadimah dan Kitab Al-Ibar Ibnu Khaldun menjelaskan, masa pertumbuhan, kemajuan, dan kemunduran negara adalah 120 tahun. Masa tersebut terbagi ke dalam tiga generasi manusia, sehingga persisnya dalam tiap generasi masing-masing 40 tahun.
Jika jangka waktu yang dipaparkan Ibn Khaldun diterapkan pada masyarakat Indonesia, maka pandangan tersebut banyak benarnya. Setelah melewati masa pertumbuhan, kemajuan, dan kemunduran, pada masyarakat Indonesia telah menunjukan indikasi apa yang menjadi gagasan mendasar dari Khaldun. Meningkatnya absolutisme korupsi dalam elite penguasa, berbarengan dengan sikap hedonisme, melonggarnya keberpihakan terhadap rakyat, memperkaya diri, dan dari semua itu kemudian akan bermuara pada meningkatnya disintegrasi sosial dan politik.
Di sinilah perlunya revitalisasi dengan melakukan koreksi total terhadap berbagai aspek budaya peradaban. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah agama-agama yang diakui di Indonesia secara konstitusional atau organisasi yang bernafaskan keagamaan cukup serius dan sungguh-sungguh untuk melakukan koreksi total tersebut? Jika tidak, proses disintegrasi sosial dan politik di Indonesia akan terbuka lebar dan semakin sulit diatasi.
Belum terwujudnya kontrol sosial yang menyeluruh dalam lapisan masyarakat mengharuskan setiap individu dalam bingkai keanekaragaman berbangsa, harus sadar akan pentingnya kesamaan visi keadilan di negeri ini. Di lain pihak jika agama tidak mempunyai fungsi vital dalam proses penyegeraan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, sementara hampir semua mata rakyat Indonesia melihat bahwa proses mengawal reformasi masih merupakan babak baru dalam mengubah haluan sejarah perpolitikan, maka dalam jangka panjang agama akan kehilangan legitimasinya untuk berperan dalam politik apabila agama-agama tidak mampu menggenggam arah perjuangan bangsa yang diinginkan rakyat Indonesia.
Membangun budaya kesalehan stuktural
Meminjam istilah Robert Hafner (1998), Keadaban Demokratis (Democratic Civility) bahwa untuk mengatur jalannya pemerintahan, negara harus kuat tetapi sekaligus self-limiting dalam artian tidak memonopoli seluruh kekuasaan masyarakat dan sekaligus menguasai sumber daya alam dan sumber daya manusia. Diperlukan pengembangan budaya politik yang pro rakyat, yang mampu mewadahi orientasi politik para pemimpin dan warga negara. Dalam ungkapan lain Azyumardi Azra (1999) mengatakan bahwa wacana publik tentang revolusi dan pengembangan budaya politik, bermuara pada gagasan tentang pembentukan masyarakat madani. Menurut Azra, sebagian ahli bertitik tolak dari kerangka dan pengalaman Eropa Timur dan Amerika Latin yang memandang bahwa masyarakat madani dalam posisi oposisional vis a vis negara, bahkan sebagai alternatif bagi negara. Karena seperti dikemukakan Hafner, pengembangan keadaban demokratis sangat tergantung pada perubahan dan penyesuaian kultural dan institusional.
Apabila kita amati fenomena gerakan protes yang terjadi di Timur Tengah ataupun di Amerika Latin dalam tahun-tahun yang silam, sebenarnya merupakan refleksi dari ketidakmampuan pemimpin negara untuk memberikan kesejahteraan publik yang terpinggirkan. Jangan sampai kemudian agama menjadi instrumen partikularistik gerakan-gerakan agama dan kebangkitan kelompok, yang kemudian mendapatkan angin segar dari suara-suara internasional yang menginginkan perpecahan di dunia Islam. Hal ini yang diperlukan oleh negara, agar agama dijadikan perekat pada level society. Jika perekat itu hilang dan diganti oleh ikatan kepentingan salah satu golongan, maka konsep kenegaraan yang memiliki budaya democratic civility akan lenyap secara perlahan.
Dilema atas ambiguitas keberagaman tersebut di atas harus terus menerus diperbaiki. Karena untuk membuat bangsa Indonesia bangkit dari keterpurukan, selain kesalehan sosial yang harus dibangun, juga kesalehan struktural yang terkait erat dengan sistem dan penyelenggaraan bernegara. Momentum menegakkan kesalehan struktur tentu saja sangat tepat untuk konteks saat ini. Karena dalam catatan Transparancy International Indonesia (TII) yang membeberkan data tentang indeks persepsi korupsi Indonesia tahun 2012, belum mengalami perubahan yang signifikan. Indonesia menduduki peringkat 100 dari 178 negara korup di dunia dengan Indek Persepsi Korupsi (IPK) sebesar 3,0.
Apabila bangsa Indonesia berhasil menuntaskan agenda reformasi yang digawangi sejak Mei 1998 dan membangun kembali pemerintahan yang konsisten untuk menyejahterakan rakyatnya, maka masyarakat Indonesia sedang dibawa ke suatu masa depan yang gemilang. Namun, apabila proses dari reformasi tidak berjalan sesuai yang diharapkan, semua protes sosial yang dilakukan rakyat Indonesia dari 1998 dikhawatirkan akan menjadi bumerang, yakni menumbuhkan penjajahan baru di negeri sendiri.
Setidaknya ada beberapa harapan masyarakat Indonesia dari banyaknya rentetan keinginan yang mereka lakukan. Pertama, membentuk sistem penyelenggaraan negara yang adil dan transparan tanpa merugikan kepentigan rakyat banyak. Kedua, peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat secara keseluruhan. Ketiga, pengembangan dan pemberdayaan kaum intelektualitas dan profesional di segala bidang. Keempat, hubungan internasional yang lebih progresif untuk kemajuan negara. Kelima, sosialisasi pendidikan ketatanegaraan.
Apabila semua aspek tersebut dilaksanakan oleh pengemban amanah kepemimpinan, harapan untuk membangun keadaban demokratis seperti gagasan Hafner dan kosep masyarakat yang berkeadilan sosial, mungkin bisa terwujud.


Dipublish Galamedia,
12 juli 2012

No comments:

Post a Comment