Saturday, July 18, 2015

Potret Literasi Politik


Oleh: Wahyu Iryana

Sebagai warga yang baik tentu kita sepakat bahwa tugas para pemimpin sehingga mereka dipilih rakyatnya, tentunya dengan ongkos pemilihan yang mahal adalah untuk menciptakan negara kesejahtraan, sehingga jelas tujuan akhirnya adalah kemakmuran rakyat. Emplementasi seorang pemimpin yang dipilih rakyat setidaknya berupaya meresapkan rasa keadilan merata kepada semua pihak apapun bendera partainya, budaya, suku, bahasa dan agamanya. Pemimpin dalam literatur Dermayon bermakna Wong Agung yang idealnya mampu memberi rasa nyaman siapapun, Tarub berteduh dimana kontrak sosial diakadkan dengan tujuan utama bersama membangun keadaban masyarakat domakratis.
Kerangka imajinasi kita hendaknya harus mampu menembus sekat-sekat peradaban yang menghegomoni kesejahtraan rakyat, walaupun Wong Agung yang diharapkan sebagai pengayom pada praktiknya ternyata kerap mengalami pasang surut, kerap terjangkit kegaulan bersikap bijak, dan kebuntuan mengambil peran-peran urgen yang menentukan nasib rakyat yang memilihnya. Dalam literasi nalar imajinatif masyarakat Dermayon berganti wujud untuk menjadi orang lain, merupakan strategi politik untuk mengelabui lawan agar mendapatkan kemulyaan. (Tan hana sawiji wiji sejatining manusa sinatria malih rupa, ngongkrod jebol wawanen kamulyan).
Khasanah literasi politik manusia Dermayon bisa disematkan dalam Wong asih ora kurang pengale, wong sengit ora kurang penyacad (orang yang pengasih tidak kurang pujian, orang yang pemarah tidak kurang celaaan). Agar target untuk menjalankan roda pemerintahan setelah terpilih bisa dioptimalkan. Karena pada akhirnya yang kita temui adalah wong becik ketitik, wong ala ketara (manusia baik ketauan, manusia jahat kelihatan). Makna yang lebih luas apabila dikaitkan dengan nalar positip para pemimpin agar menjadi pepakem adalah kebaikan dan kejelekan seorang pemimpin tidak akan bisa ditutup-tutupi, karena suatu saat apabila ia berbuat kesalahan ataupun kebaikan rakyat akan mengetahui.
Kenyataan yang sejati menyadarkan kita bahwa perilaku politik di negeri ini masik jauh dari dambaan rakyat pada umumnya. Politisi busuk yang berakar pada laku lampah sesat, saling mencaci dan membeci, menebar fitnah, bekerja untuk populeritas, melakukan kejahatan kolusi, korupsi dan nepotisme yang mendasari gerbang candradimuka buatan sengkuni yang dalam istilah lain disebut Kleptocracy or Corruption as a System of Government, yang diabadikan oleh Stanislav Andreski (1968). Negara Kleprokrasi; praktik korupsi dilakukan secara terorganisir yang dimainkan empat aktor intelektual: pejabat negara, aparat birokrasi, anggota parlemen, dan sektor swasta yang dimainkan oleh para pengusaha. Teringat pernyataan Imam Ali bin Abu Thalib yang mengatakan kejahatan yang terorganisir mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir.
Jangan-jangan negara kita terjangkit sindrom obor blarak, yang terjebak pada kekayaan alam yang tak terhingga, namun angka kemiskinan semakin menampakkan grafik menaik, menjadi bangsa yang berada di halaman belakang dari lembaran bangsa-bangsa Dunia. Tentu saja kekayaan khasanah kearifan lokal masyarakat Indonesia di seluruh penjuru tanah air mesti dijadikan modal sosial agar menjadi darah segar yang memompa keseluruh jasad manusia Indonesia untuk meraih keadaban hidup berkesejahtraan yang sesungguhnya. Hal ini harus difahami sebagai kepentingan universal yang mendesak karena budaya High Culture harus tetap terbuka terhadap nilai-nilai counter hegemonik, karena hal ini penting bagi survivalitas antar etnis secara kolektif. Kearifan lokal harus melakukan dekonstruksi nilai-nilainya yang tidak kondusif terhadap demokrasi, tanpa menghilangkan nilai-nilai luhur tata hidup berbangsa tentunya.
Manusia pada dasarnya memiliki cita-cita dan keinginan hidup yang tinggi. Alfred Marshall, pakar ekonomi Inggris, dalam bukunya Principles of Ekonomics mengatakan bahwa kemajuan dalam perhiasan hidup akan meninggalkan standar penghidupan, dan kalau hal ini yang terjadi maka keadaan ekonomi rakyat akan bertambah baik. Faktanya sekarang, pemerintah dalam panggung sejarah Indonesia mengharuskan kita untuk menerima kenyataan bahwa pertarungan dan perebutan kekuasaan yang terjadi mengakibatkan kelalaian dan tugas suci untuk melayani publik. Pemerintah lebih senang mengurus partainya masing-masing, daripada memikirkan nasib rakyat kecil yang tertindas oleh jiwa zamannya (zeitgest).
Masa Senja SBY
Tidak bisa dipungkiri, saat ini citra Susilo Bambang Yudoyono (SBY) sedang redup. Merosotnya kepuasaan atas kinerja SBY ini diindikasikan atas berbagai dinamika yang terjadi, baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun hukum. Yang menarik, bidang politik dan hukumlah yang menjadi sorotan atas penurunan citra SBY tersebut. Di antaranya, banyak kasus korupsi yang tidak jelas juntrungnya. Dari masalah Kasus Bailout Bank Century yang semakin tenggelam hingga, yang terbaru, kasus suap di Sekmenpora berkaitan dengan pembangunan Wisma Atlet, SEA Games di Palembang yang diduga melibatkan para pejabat teras Partai Demokrat (PD).  Di satu sisi SBY dalam forum terbuka selalu berjanji akan memimpin sendiri perang terhadap korupsi, namun di sisi lain ketika ada kasus korupsi yang hinggap di rumahnya sendiri, SBY seolah lemah, tidak berdaya menghadapinya.
Hal inilah yang menyebabkan adanya saling sandera antar elite politik. Lalu pertanyaanya sekarang, di manakah posisi (kepentingan) rakyat? Apakah para elite politik anti kemakmuran rakyat? Apakah mereka hanya mementingkan pencitraan golongannya masing-masing?
Terpilihnya SBY sebagai nahkoda Partai Demokrat, mengisaratkan bahwa jatah kepentingan mengurusi rakyat harus terbagi untuk mengurusi partainya pula. Rasanya kita harus sepakat dengan argumen-argumen para pakar politik di negeri ini bahwa SBY harus melakukan terobosan baru (new breakthrough) atau bahkan ledakan besar (big bang) berupa kebijakan di luar kebiasaan guna memperbaiki pemerintahan.
Dalam perspektif Cerbon Pegot ala Tandi Skober terpatri Sun besuk mariya eman/Yen wonten grananing sasi/Srengenge kembar lelima/Lintang alit gumilar sing/Sawiji tan hana urip/Mung sira kelawan isun/Matiya mungging suwarga/ (Esok, ketika diriku dihentikan kasih sayang/saat gerhana bulan/matahari kembar lima/terhampar bintang bercahaya/tak satupun ada yang hidup/hanya kamu dan aku/wafat menaiki langit-langit surga). Karena sesungguhnya kuasa politik akan senantiasa berhimpitan secara timbal balik dengan nilai-nilai budaya yang dianut para pelakunya. Para pelaku politik pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk tidak berdusta. Ia terikat pada etika untuk selalu mengatakan bahwa yang benar itu adalah benar, dan bahwa yang salah itu adalah salah. Jika sewaktu-waktu berdusta, maka perbuatan dustanya itu akan mendapat perlawanan nurani. Dan pesan perlawanan ini dapat pula ditangkap lensa nurani melalui isyarat bahasa tubuh, termasuk makna paralinguistik yang pada umumnya tampak pada raut muka para pelakunya.
Kiranya tentu akan lebih baik jika persoalan yang tengah melilit bangsa Indonesia segera diselesaikan. Tanda tanya masyarakat terhadap berbagai kasus di negeri ini perlu segera diakhiri. Pemerintah, dalam hal ini SBY harus segera melakukan klarifikasi, terutama untuk memberikan solusi sebagai bagian dari pembelajaran politik masyarakat. Jika tidak, hal ini akan membekas pada memori politik masyarakat Indonesia sehingga dapat mendorong sikap apatis yang berakibat pada disintegrasi bangsa. Wallahualam.

Tulisan dimuat Kabar Cirebon



No comments:

Post a Comment