Potret Literasi Politik
Oleh: Wahyu Iryana
Sebagai warga yang baik tentu kita sepakat bahwa tugas para pemimpin
sehingga mereka dipilih rakyatnya, tentunya dengan ongkos pemilihan yang mahal
adalah untuk menciptakan negara kesejahtraan, sehingga jelas tujuan akhirnya
adalah kemakmuran rakyat. Emplementasi seorang pemimpin yang dipilih rakyat
setidaknya berupaya meresapkan rasa keadilan merata kepada semua pihak apapun
bendera partainya, budaya, suku, bahasa dan agamanya. Pemimpin dalam literatur
Dermayon bermakna Wong Agung yang
idealnya mampu memberi rasa nyaman siapapun, Tarub berteduh dimana kontrak sosial diakadkan dengan tujuan utama
bersama membangun keadaban masyarakat domakratis.
Kerangka imajinasi kita hendaknya harus mampu menembus sekat-sekat
peradaban yang menghegomoni kesejahtraan rakyat, walaupun Wong Agung yang diharapkan sebagai pengayom pada praktiknya
ternyata kerap mengalami pasang surut, kerap terjangkit kegaulan bersikap
bijak, dan kebuntuan mengambil peran-peran urgen yang menentukan nasib rakyat
yang memilihnya. Dalam literasi nalar imajinatif masyarakat Dermayon berganti
wujud untuk menjadi orang lain, merupakan strategi politik untuk mengelabui
lawan agar mendapatkan kemulyaan. (Tan
hana sawiji wiji sejatining manusa sinatria malih rupa, ngongkrod jebol wawanen
kamulyan).
Khasanah literasi politik manusia Dermayon bisa disematkan dalam Wong asih ora kurang pengale, wong sengit
ora kurang penyacad (orang yang pengasih tidak kurang pujian, orang yang
pemarah tidak kurang celaaan). Agar target untuk menjalankan roda pemerintahan
setelah terpilih bisa dioptimalkan. Karena pada akhirnya yang kita temui adalah
wong becik ketitik, wong ala ketara
(manusia baik ketauan, manusia jahat kelihatan). Makna yang lebih luas apabila
dikaitkan dengan nalar positip para pemimpin agar menjadi pepakem adalah
kebaikan dan kejelekan seorang pemimpin tidak akan bisa ditutup-tutupi, karena
suatu saat apabila ia berbuat kesalahan ataupun kebaikan rakyat akan
mengetahui.
Kenyataan yang sejati menyadarkan kita bahwa perilaku politik di negeri ini
masik jauh dari dambaan rakyat pada umumnya. Politisi busuk yang berakar pada
laku lampah sesat, saling mencaci dan membeci, menebar fitnah, bekerja untuk
populeritas, melakukan kejahatan kolusi, korupsi dan nepotisme yang mendasari
gerbang candradimuka buatan sengkuni yang dalam istilah lain disebut Kleptocracy or Corruption as a System of
Government, yang diabadikan oleh Stanislav Andreski (1968). Negara
Kleprokrasi; praktik korupsi dilakukan secara terorganisir yang dimainkan empat
aktor intelektual: pejabat negara, aparat birokrasi, anggota parlemen, dan
sektor swasta yang dimainkan oleh para pengusaha. Teringat pernyataan Imam Ali
bin Abu Thalib yang mengatakan kejahatan yang terorganisir mengalahkan kebaikan
yang tidak terorganisir.
Jangan-jangan negara kita terjangkit sindrom obor blarak, yang terjebak pada kekayaan alam yang tak terhingga,
namun angka kemiskinan semakin menampakkan grafik menaik, menjadi bangsa yang
berada di halaman belakang dari lembaran bangsa-bangsa Dunia. Tentu saja
kekayaan khasanah kearifan lokal masyarakat Indonesia di seluruh penjuru tanah
air mesti dijadikan modal sosial agar menjadi darah segar yang memompa
keseluruh jasad manusia Indonesia untuk meraih keadaban hidup berkesejahtraan
yang sesungguhnya. Hal ini harus difahami sebagai kepentingan universal yang
mendesak karena budaya High Culture
harus tetap terbuka terhadap nilai-nilai counter hegemonik, karena hal ini penting bagi survivalitas antar etnis secara kolektif. Kearifan lokal harus
melakukan dekonstruksi nilai-nilainya yang tidak kondusif terhadap demokrasi,
tanpa menghilangkan nilai-nilai luhur
tata hidup berbangsa tentunya.
Manusia pada
dasarnya memiliki cita-cita dan keinginan hidup yang tinggi. Alfred Marshall,
pakar ekonomi Inggris, dalam bukunya Principles
of Ekonomics mengatakan bahwa kemajuan dalam perhiasan hidup akan
meninggalkan standar penghidupan, dan kalau hal ini yang terjadi maka keadaan
ekonomi rakyat akan bertambah baik. Faktanya sekarang, pemerintah dalam panggung
sejarah Indonesia mengharuskan kita untuk menerima kenyataan bahwa pertarungan
dan perebutan kekuasaan yang terjadi mengakibatkan kelalaian dan tugas suci
untuk melayani publik. Pemerintah
lebih senang mengurus partainya masing-masing, daripada
memikirkan nasib rakyat kecil yang tertindas oleh jiwa zamannya (zeitgest).
Masa Senja SBY
Tidak bisa dipungkiri,
saat ini citra Susilo Bambang Yudoyono (SBY) sedang redup. Merosotnya kepuasaan
atas kinerja SBY ini diindikasikan atas berbagai dinamika yang terjadi, baik
dalam bidang ekonomi, politik, maupun hukum. Yang menarik, bidang politik dan
hukumlah yang menjadi sorotan atas penurunan citra SBY tersebut. Di antaranya,
banyak kasus korupsi yang tidak jelas juntrungnya. Dari masalah Kasus Bailout
Bank Century yang semakin tenggelam hingga, yang terbaru, kasus suap di
Sekmenpora berkaitan dengan pembangunan Wisma Atlet, SEA Games di Palembang
yang diduga melibatkan para pejabat teras Partai Demokrat (PD). Di satu
sisi SBY dalam forum terbuka selalu berjanji akan memimpin sendiri perang
terhadap korupsi, namun di sisi lain ketika ada kasus korupsi yang hinggap di
rumahnya sendiri, SBY seolah lemah, tidak berdaya menghadapinya.
Hal inilah yang
menyebabkan adanya saling sandera antar elite politik. Lalu pertanyaanya
sekarang, di manakah posisi (kepentingan) rakyat? Apakah para elite politik
anti kemakmuran rakyat? Apakah mereka hanya mementingkan pencitraan golongannya
masing-masing?
Terpilihnya SBY
sebagai nahkoda Partai Demokrat, mengisaratkan bahwa jatah kepentingan
mengurusi rakyat harus terbagi untuk mengurusi partainya pula. Rasanya kita
harus sepakat dengan argumen-argumen para pakar politik di negeri ini bahwa SBY
harus melakukan terobosan baru (new
breakthrough) atau bahkan ledakan besar (big
bang) berupa kebijakan di luar kebiasaan guna memperbaiki pemerintahan.
Dalam perspektif
Cerbon Pegot ala Tandi Skober
terpatri ” Sun besuk
mariya eman/Yen wonten grananing sasi/Srengenge kembar lelima/Lintang alit
gumilar sing/Sawiji tan hana urip/Mung sira kelawan isun/Matiya mungging
suwarga/ (Esok, ketika diriku dihentikan kasih sayang/saat gerhana
bulan/matahari kembar lima/terhampar bintang bercahaya/tak satupun ada yang
hidup/hanya kamu dan aku/wafat menaiki langit-langit surga). Karena
sesungguhnya kuasa politik akan senantiasa berhimpitan secara timbal balik
dengan nilai-nilai budaya yang dianut para pelakunya. Para pelaku politik pada
dasarnya memiliki kecenderungan untuk tidak berdusta. Ia terikat pada etika
untuk selalu mengatakan bahwa yang benar itu adalah benar, dan bahwa yang salah
itu adalah salah. Jika sewaktu-waktu berdusta, maka perbuatan dustanya itu akan
mendapat perlawanan nurani. Dan pesan perlawanan ini dapat pula ditangkap lensa
nurani melalui isyarat bahasa tubuh, termasuk makna paralinguistik yang pada
umumnya tampak pada raut muka para pelakunya.
Kiranya tentu
akan lebih baik jika persoalan yang tengah melilit bangsa Indonesia segera
diselesaikan. Tanda tanya masyarakat terhadap berbagai kasus di negeri ini
perlu segera diakhiri. Pemerintah, dalam hal ini SBY harus segera melakukan
klarifikasi, terutama untuk memberikan solusi sebagai bagian dari pembelajaran
politik masyarakat. Jika tidak, hal ini akan membekas pada memori politik
masyarakat Indonesia sehingga dapat mendorong sikap apatis yang berakibat pada
disintegrasi bangsa. Wallahualam.
Tulisan dimuat Kabar Cirebon
No comments:
Post a Comment