Menunaikan ibadah haji bagi seorang muslim yang mampu adalah kewajiban.
Namun yang harus dibincangkan lebih mendalam esensi haji tidak bersifat ritual
(syariah, ibadah vertikal) semata, tetapi memberikan dimensi sosial
(horizontal), mulai dari status sosial, gerakan perubahan sosial sampai
legitimasi politik yang berdampak universal bagi umat.
Banyak para penulis Barat seperti halnya Martin van Bruinessen yang menulis
Mencari ilmu dan Pahala di Tanah Suci:
Orang Nusantara Naik Haji. Ada kesan orang Indonesia lebih mementingkan
haji daripada bangsa lain, memang tidak dapat dipungkiri status sosial di masyarakat
terhadap para haji memang lebih tinggi.
Seperti juga Snouck Hugronje keadaan ini erat kaitanya dengan budaya
tradisional Asia Tenggara. Dalam kosmologi Jawa, (Asia Tenggara) pusat-pusat
kosmis, titik temu antara dunia fana kita dengan alam supranatural, memainkan
peranan sentral. Kuburan para leluhur, gunung, laut (samudra), gua dan hutan
tertentu, tempat ‘angker’ lainnya tidak hanya diziarahi sebagai ibadah saja
tetapi dikunjungi untuk mencari ilmu ‘ngelmu’ (kesaktian) dan legitimasi
politik. Pasca orang Jawa mulai masuk Islam, Makkah dianggap sebagai pusat
kosmis utama.
Mengamani pernyataan Ibnu Ghifarie dalam Haji dan Kepemimpinan bahwa Kita tidak tahu kapan orang Jawa yang
pertama naik haji, tetapi menjelang pertengahan abad ke- 17 raja-raja Jawa
mulai mencari legitimasi politik di Makkah. Pada tahun 1630-an, raja Banten dan
raja Mataram, yang saling bersaing, mengirim utusan ke Makkah untuk, mencari
pengakuan dari sana dan meminta gelar ‘Sultan’. Para raja itu beranggapan ihwal
gelar yang diperoleh dari Makkah akan memberi sokongan supranatural terhadap
kekuasaan mereka. Sebetulnya, di Makkah tidak ada instansi yang pernah memberi
gelar kepada penguasa lain. Para raja Jawa tadi rupanya menganggap Syarif
Besar, yang menguasai Haramain (Makkah dan madinah) saja, memiliki wibawa
spiritual atas seluruh Dar al-Islam.
Seperti halnya Sultan Agung mendapat gelar ketika dari tanah suci dengan
sebutan Senopati Panatagama Khalifatullah,
Shulthon Aulia Ing Tanah Jawi sebagai bentuk legitimasi politik kekuasaan
dan keagamaan. Begitupun Putra Sultan Ageng Tirtayasa (Banten), Abdul Qahhar,
yang belakangan dikenal sebagai Sultan Haji. Fungsi haji sebagai legitimasi
politik terlihat jelas sekali dalam Sajarah Banten, Hikayat Hasanuddin, yang
dikarang sekitar 1700.
Tabir Implementasi Haji
Dasar lahirnya haji merupakan fondasi awal dasar peradaban Islam berbasis
keimanan yang kukuh. Serangkaian perintah Illahi yang diejawantahkan melalui
qurban, thowaf, wukuf, sa’i, melempar jumrah pun menjadi petanda peradaban
Rasul untuk menegakkan keadilan, perdamaian, persaudaraan sesuai dengan
nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.
John L. Esposito menulis
bahwa menelaah kembali perjuangan napak tilas penolakan Ibrahim atas segala
godaan setan untuk mengabaikan perintah Tuhan dengan beberapa kali melempari
setan dengan batu, di sini disimbolkan dengan tiang batu. Setalah itu, mereka
mengorbankan ternak (domba, kambing, sapi, unta) sebagiamana Ibrahim akhirnya
diizinkan untuk mengganti anaknya dengan seekor biri-biri jantan. Ini
melambangkan para jemaah haji ingin mengorbankan sesuatu yang paling penting
bagi mereka.
Lanjut mengutip pernyataan John L.
Esposito bahwa aktivitas mengenakan kain putih tanpa jahitan, simbol
penyucian diri dari segala kesombongan, keangkuhan; Wukuf di Arafah untuk
bertaubat, memohon pengampunanya sekaligus merasakan persatuan dan kesetraan
yang mendasari umat islam seluruh dunia yang melampui perbedan-perbedaan ras,
ekonomi dan jenis kelamin; Haji wada guna mengulangi ajakan nabi Muhammad
kepada perdamain dan keharmonian di kalangan kaum muslim. (John L.
Esposito,2004:114-116).
Pentingnya ibadah rukun kelima bagi yang mampu, Ali Syariati mengingatkan
kepada kita yang diawali dengan cara luruskan niatnya. Halalkah uang yang kita
gunakan untuk membiayai keberangkatan kita? Jiwa mana yang kita bawa? Jiwa yang
hendak bertekuk lutut dan mengakui kehinaan di hadapan Tuhan, atukah jiwa
yang hendak ‘memperalat’ Tuhan demi status baru sebagai manusia yang gila
hormat dan sanjungan? Ataukah sekadar memperpanjang gelar yang kita sandang?
Ketulusan hati untuk menjadi tamu Allah harus kita tancapkan di hati dan dada
kita.
Sebagaimana yang telah ditradisikan bahwa ketika tiba di Miqat,
ritual ibadah haji dimulai dengan memakai baju ihram, segala perbedaan
dan pembedaan ras, bangsa, kelas, subkelas, golongan dan keluarga harus
ditanggalkan supaya merasa kan dalam satu kesatuan dan
persamaan. Di Miqat ini ada pun ras dan sukumu lepaskan semua pakaian
yang engkau kenakan sehari-hari sebagai serigala (yang melambangkan
kekejaman dan penindasan), tikus (yang melambangkan kelicikan), anjing (yang
melambangkan tipu daya), atau domba (yang
melambangkan penghambaan). Tinggalkan semua itu di Miqat dan berperanlah
sebagai manusia yang sesungguhnya. Dengan demikian, ibadah haji
memberikan kesempatan yang unik bagaimana umat Islam seharusnya bersikap
egaliter, multi etnis, kultural dan mengabdikan kesatuan umat itu untuk
pengejawantahan nilai-nilai kemanusiaan dan agama sebagaimana terkandung dalam Kalamullah.
(Mingguan PESAN No 61/Th.II/03/2000)
Kiranya ruh patokan mabrurnya seorang yang telah menunaikan haji tidak bisa
dinilai dengan angka ataupun materi. Namun setidaknya cerminan kepribadiaan
yang tulus, pengorbanan tanpa pamrihnya sangat disegani dalam menjalani
kehidupan sehari-harinya seorang haji akan terus menjadi teladan yang perlu
kita tiru, ibarat pelita di tengah kegelapan masyarakat, bagaikan sinar kemilau
yang memberi terang.
Syair Nasher Khosrow tantang haji perlu kita renungkan secara bersama
supaya dalam menjalani rukun iman kelima ini tidak hanya mementingkan status,
berburu gelar, legitimasi politik melainkan guna mendaptkan predikat Mabrur,
seperti yang terdapat pada hadits Qudsi “Tidaklah ada balasan bagi haji mabrur,
kecuali surga.”Sungguh pernyataan yang perlu kita aplikasikan.
Dalam definisi agama (Islam) istilah ini merupakan suatu sikap Istiqomah,
yaitu tetap konsisten, ajeg melakukan amalan kebaikan dengan
landasan ilmu untuk mendapatkan ridho dari Sang Kuasa. Iniliah ciri pokok dari
sufisme yang menuju kecintaan terhadap Sang Pencipta. Kerinduan memenuhi
panggilan Illahi datang lagi ketika musim haji telah tiba. Marilah kita bersiap
diri sebagai tamu Allah, Labaik allahuma
Labaik, Labaik ala Syarikala Labaik.
Dipublish Radar Cirebon
No comments:
Post a Comment