Sunday, July 19, 2015

Esensi Ibadah Haji Oleh: Wahyu Iryana

Menunaikan ibadah haji bagi seorang muslim yang mampu adalah kewajiban. Namun yang harus dibincangkan lebih mendalam esensi haji tidak bersifat ritual (syariah, ibadah vertikal) semata, tetapi memberikan dimensi sosial (horizontal), mulai dari status sosial, gerakan perubahan sosial sampai legitimasi politik yang berdampak universal bagi umat.
Banyak para penulis Barat seperti halnya Martin van Bruinessen yang menulis Mencari ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji. Ada kesan orang Indonesia lebih mementingkan haji daripada bangsa lain, memang tidak dapat dipungkiri status sosial di masyarakat terhadap para haji memang lebih tinggi.
Seperti juga Snouck Hugronje keadaan ini erat kaitanya dengan budaya tradisional Asia Tenggara. Dalam kosmologi Jawa, (Asia Tenggara) pusat-pusat kosmis, titik temu antara dunia fana kita dengan alam supranatural, memainkan peranan sentral. Kuburan para leluhur, gunung, laut (samudra), gua dan hutan tertentu, tempat ‘angker’ lainnya tidak hanya diziarahi sebagai ibadah saja tetapi  dikunjungi untuk mencari ilmu ‘ngelmu’ (kesaktian) dan legitimasi politik. Pasca orang Jawa mulai masuk Islam, Makkah dianggap sebagai pusat kosmis utama.
Mengamani pernyataan Ibnu Ghifarie dalam Haji dan Kepemimpinan bahwa Kita tidak tahu kapan orang Jawa yang pertama naik haji, tetapi menjelang pertengahan abad ke- 17 raja-raja Jawa mulai mencari legitimasi politik di Makkah. Pada tahun 1630-an, raja Banten dan raja Mataram, yang saling bersaing, mengirim utusan ke Makkah untuk, mencari pengakuan dari sana dan meminta gelar ‘Sultan’. Para raja itu beranggapan ihwal gelar yang diperoleh dari Makkah akan memberi sokongan supranatural terhadap kekuasaan mereka. Sebetulnya, di Makkah tidak ada instansi yang pernah memberi gelar kepada penguasa lain. Para raja Jawa tadi rupanya menganggap Syarif Besar, yang menguasai Haramain (Makkah dan madinah) saja, memiliki wibawa spiritual atas seluruh Dar al-Islam.
Seperti halnya Sultan Agung mendapat gelar ketika dari tanah suci dengan sebutan Senopati Panatagama Khalifatullah, Shulthon Aulia Ing Tanah Jawi sebagai bentuk legitimasi politik kekuasaan dan keagamaan. Begitupun Putra Sultan Ageng Tirtayasa (Banten), Abdul Qahhar, yang belakangan dikenal sebagai Sultan Haji. Fungsi haji sebagai legitimasi politik terlihat jelas sekali dalam Sajarah Banten, Hikayat Hasanuddin, yang dikarang sekitar 1700.
Tabir Implementasi Haji
Dasar lahirnya haji merupakan fondasi awal dasar peradaban Islam berbasis keimanan yang kukuh. Serangkaian perintah Illahi yang diejawantahkan melalui qurban, thowaf, wukuf, sa’i, melempar jumrah pun menjadi petanda peradaban Rasul untuk menegakkan keadilan, perdamaian, persaudaraan sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.
John L. Esposito menulis bahwa menelaah kembali perjuangan napak tilas penolakan Ibrahim atas segala godaan setan untuk mengabaikan perintah Tuhan dengan beberapa kali melempari setan dengan batu, di sini disimbolkan dengan tiang batu. Setalah itu, mereka mengorbankan ternak (domba, kambing, sapi, unta) sebagiamana Ibrahim akhirnya diizinkan untuk mengganti anaknya dengan seekor biri-biri jantan. Ini melambangkan para jemaah haji ingin mengorbankan sesuatu yang paling penting bagi mereka.
Lanjut mengutip pernyataan John L. Esposito bahwa aktivitas mengenakan kain putih tanpa jahitan, simbol penyucian diri dari segala kesombongan, keangkuhan; Wukuf di Arafah untuk bertaubat, memohon pengampunanya sekaligus merasakan persatuan dan kesetraan yang mendasari umat islam seluruh dunia yang melampui perbedan-perbedaan ras, ekonomi dan jenis kelamin; Haji wada guna mengulangi ajakan nabi Muhammad kepada perdamain dan keharmonian di kalangan kaum muslim. (John L. Esposito,2004:114-116).
Pentingnya ibadah rukun kelima bagi yang mampu, Ali Syariati mengingatkan kepada kita yang diawali dengan cara luruskan niatnya. Halalkah uang yang kita gunakan untuk membiayai keberangkatan kita? Jiwa mana yang kita bawa? Jiwa yang hendak bertekuk lutut dan mengakui kehinaan  di hadapan Tuhan, atukah jiwa yang hendak ‘memperalat’ Tuhan demi status baru sebagai manusia yang gila hormat dan sanjungan? Ataukah sekadar memperpanjang gelar yang kita sandang? Ketulusan hati untuk menjadi tamu Allah harus kita tancapkan di hati dan dada kita.
Sebagaimana yang telah ditradisikan bahwa ketika tiba di Miqat,  ritual ibadah haji dimulai dengan memakai baju ihram,  segala perbedaan dan pembedaan ras, bangsa, kelas, subkelas, golongan dan keluarga harus  ditanggalkan supaya merasa kan dalam satu  kesatuan  dan  persamaan.  Di Miqat ini ada pun ras dan sukumu lepaskan semua pakaian yang engkau kenakan  sehari-hari sebagai serigala (yang melambangkan kekejaman dan penindasan), tikus (yang melambangkan kelicikan), anjing (yang melambangkan tipu   daya),  atau  domba  (yang  melambangkan  penghambaan). Tinggalkan semua itu di Miqat dan berperanlah sebagai  manusia yang sesungguhnya. Dengan demikian, ibadah haji memberikan kesempatan yang unik bagaimana umat Islam seharusnya bersikap egaliter, multi etnis, kultural dan mengabdikan kesatuan umat itu untuk pengejawantahan nilai-nilai kemanusiaan dan agama sebagaimana terkandung dalam Kalamullah. (Mingguan PESAN No 61/Th.II/03/2000)
Kiranya ruh patokan mabrurnya seorang yang telah menunaikan haji tidak bisa dinilai dengan angka ataupun materi. Namun setidaknya cerminan kepribadiaan yang tulus, pengorbanan tanpa pamrihnya sangat disegani dalam menjalani kehidupan sehari-harinya seorang haji akan terus menjadi teladan yang perlu kita tiru, ibarat pelita di tengah kegelapan masyarakat, bagaikan sinar kemilau yang memberi terang.
Syair Nasher Khosrow tantang haji perlu kita renungkan secara bersama supaya dalam menjalani rukun iman kelima ini tidak hanya mementingkan status, berburu gelar, legitimasi politik melainkan guna mendaptkan predikat Mabrur, seperti yang terdapat pada hadits Qudsi “Tidaklah ada balasan bagi haji mabrur, kecuali surga.”Sungguh pernyataan yang perlu kita aplikasikan.

Dalam definisi agama (Islam) istilah ini merupakan suatu sikap Istiqomah, yaitu  tetap konsisten, ajeg melakukan amalan kebaikan dengan landasan ilmu untuk mendapatkan ridho dari Sang Kuasa. Iniliah ciri pokok dari sufisme yang menuju kecintaan terhadap Sang Pencipta. Kerinduan memenuhi panggilan Illahi datang lagi ketika musim haji telah tiba. Marilah kita bersiap diri sebagai tamu Allah, Labaik allahuma Labaik, Labaik ala Syarikala Labaik.

Dipublish Radar Cirebon

No comments:

Post a Comment