Sunday, July 19, 2015

Pemberantasan Prostitusi Zaman Belanda Oleh:Wahyu Iryana

Peristiwa penembakan Aris, Sabtu (31/8) oleh salah seorang anggota Sabara Polrestabes Bandung di Saritem seolah menjadi tanda, bahwa aktivitas prostitusi di Kecamatan Andir Kota Bandung masih beroprasi. Padahal Walikota Bandung Dada Rosada pada april 2007 secara resmi menutup lokasi tersebut.
Apakah prostitusi itu? Prostitusi adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh wanita dengan sadar untuk memperoleh uang dari hasil menjajakan atau menjual tubuhnya sebagai pemuas seks laki-laki. Wanita yang berprofesi sebagaimana tersebut, biasanya dipanggil pelacur atau Wanita Tuna Susila (ANRI, 2001: XV).
Problematika prostitusi di Indonesia ternyata sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Perempuan dianggap sebagai barang dagangan dan sistem pemerintahan pada saat itu telah membentuk landasan bagi perkembangan industri seks yang ada sekarang. Sistem perbudakan tradisional dan perseliran yang dilakukan kaum kolonial sangat nampak untuk memenuhi kebutuhan pemuas seks masyarakat Eropa dalam hal ini Belanda. Umumnya aktivitas pelacuran berkembang di daerah-daerah pelabuhan hampir di seluruh wilayah Hindia Belanda (Indonesia). Seks dijadikan isu utama para imigran yang akan datang di Indonesia termasuk para serdadu dan opsir Belanda, para pedagang dan para utusan duta besar yang datang ke Indonesia. Lagi-lagi yang dirugikan adalah masyarakat pribumi. Banyaknya lelaki bujangan yang dibawa kolonial Belanda ke Indonesia, telah mengakibatkan perminataan pelayanan seks. Kondisi tersebut ditunjang pula oleh masyarakat pribumi yang menjual anak perempuannya untuk mendapat imbalan materi dari para sinyo-sinyo Belanda.
Prostitusi sejak zaman Kolonial Belanda bisa ditemui hampir disemua kota-kota besar, baik di Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa, di pelabuhan-pelabuhan, di garnisun-garnisun, di perkebunan-perkebunan, bahkan di penjara-penjara. Para pekerja seks bukan hanya pribumi saja, tetapi juga keturan Eropa, orang-orang Jepang dan orang-orang Cina. Sampai Akhirnya Pemerintahan Kolonial Belanda mendirikan Panti Perbaikan Perempuan  atau Crouwen-Tuchthuis pada tahun 1650 yang didirikan oleh Antonio Van Diemen, tujuan didirikannya Crouwen-Tuchthuis adalah untuk merehabilitasi para perempuan yang bekerja sebagai pemuas kebutuhan seks bangsa Eropa dan melindungi mereka dari kecaman masyarakat pribumi.
Pada tanggal 15 Juli 1852, Gubernur Jendreral pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan surat keputusan mengenai peraturan penanganan prostitusi. Disebutkan bahwa ditetapkan keuangan dari kas Hindia Belanda sebesar F. 20.000 untuk menangulangi pemberantasan terhadap penyakit Siphilis. Surat Keputusan ini juga menetapkan mengenai peraturan penangulangan penybaran prostitusi (Bt. 15 Juli 1852 N0.I.).
Usaha-usaha yang dilakukan pemerintah Belanda dengan dikeluarkan peraturan dan perundang-undangan hukum tidak pernah berhasil memberantas prostitusi. Dari semua usaha itu yang tetap ada sampai sekarang adalah pengawasan kesehatan, pencegahan menularnya penyakit kelamin, melalui selebaran koran-koran, televisi, radio. Pertanyaannya sekarang adalah mengapa prostitusi sulit diberantas? Pertanyaan tersebut pasti akan selalu muncul dalam benak kita, karena permasalahan prostitusi sangat kompleks. Banyak hal yang menjadi alasan mengapa wanita melakukan prostitusi dan biasanya selalu dengan alasan klasik, seperti masalah ekonomi, dittinggal suami tanpa diberi nafkah, sakit hati karena ternoda oleh mantan pacar, bahkan yang lebih parah karena hobby. Namun yang pasti prostitusi tidak akan muncul, tidak akan berkembang dan marak jika tidak ada lelaki hidung belang  yang datang ke tempat-tempat pelacuran. Sebab lain mengapa prostitusi sulit sekali dimusnahkan adalah tempat-tempat pelacuran biasanya didukung oleh oknum tertentu yang mempunyai “power” bahkan oknum inilah yang biasanya mengusahakan pelacur-pelacur muda baik dari dalm maupun dari luar negeri hal ini pun bukan hanya terjadi masa penjajahan Belanda sampai detik ini pun bisa jadi seperti itu.
Pemerintahan Hindia Belanda memang tidak menutup mata melihat maraknya praktik prostitusi, karena sebagian besar yang terkena penyakit kelamin adalah para serdadu Belanda. Hal ini membuktikan bahwa lelaki hidung belang yang menggunakan jasa seks pada masa Kolonial Belanda adalah orang Belanda sendiri. Hal ini bisa ditemukan pada Arsip Bt. 10 Agustus 1891 No. 4; Burgelijk Geneeskundige Dienst van 260 tanggal 8 April 1891, data mulai tahun 1870-1890, Dinas Kesehatan Hindia Belanda menerangkan bahwa pada tahun 1870 tercatat 575 serdadu Belanda menderita Siphilis dan 5105 serdadu Belanda terkena Morbi Veneris. Hingga tahun 1882 jumlah penderita penyakit kelamin dari pihak serdadu Belanda semakin meningkat penyakit Siphilis menjadi 1290 orang. Sedangkan Morbi Veneris pada tahun 1887 berjumlah 10108 orang.
Usaha para pegawai kesehatan Kolonial Belanda tidak sia-sia para ahli dan dokter telah menemukan obat untuk penyait Siphilis dan Gonnorhoe. Namun sejalan dengan semakin maju dan modernnya peradaban masyarakat dunia, ternyata muncul pula suatu penyakin kelamin lainnya yang sampai detik ini belum ada obatnya yaitu penyakit Aids. Penyakit ini menular dan banyak mengakibatkan banyak penderita meninggal dunia. Mungkin bagi penulis sendiri Aids adalah azab dari Allah untuk para pelaku zina.
Pengawasan tentang praktik prostitusi akhirnya dilimpahkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, hal ini sesuai dengan dikeluarkannya Memory van Toelichting tanggal 1 Januari 1873. Harapan pemerintahan Kolonial Belanda adalah adanya tanggungjawab pengawasan terhadap tempat prostitusi, sebagai upaya agar setiap lingkungan pemukiman memantau dan membuat sendiri peraturan untuk mengendalikan aktivasi prostitusi setempat.
Direktur Pendidikan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda tanggal 3 September 1900 No. 11451 mengeluarkan resolusi yang berisi usulan penanggulangan para penderita penyakit kelamin akibat merebaknya prostitusi. Hal ini juga bisa dilihat dalam naskah Kl. 8 September 1900 No. 206652 Mgs 31 Januari 1901 No. 283;Bt. 13 Agustus 1912 No. 12 tentang penyebaran penyakit kelamin dan penangulangannya. Pada tanggal 17-19 April 1940 Perkumpulan Pembasmian Perdagangan Perempuan dan Anak (PPPPA). Perkumpulan tersebut menuntut agar dibentuk suatu peraturan prostitusi yang harus dijalankan dengan benar dan peraturan tersebut harus selalu diperbaiki, hingga pelaksanaannya bisa berjalan dengan baik sesuai dengan sistem yang telah ditetapkan. `
Harus diingat bahwa perbuatan prostitusi sejak zaman Kolonial Belanda dicela oleh masyarakat, ada anggapan yang mengatakan bahwa pelacur adalah drakula yang menghisap, meracuni dan menghancurkan kehidupan laki-laki muda dan bahkan laki-laki yang mempunyai keluarga. pelakunya akan dikucilkan karena dianggap sampah masyarakat mungkin sampai detik ini pun masih tetap sama. Prostitusi adalah perbuatan yang dilarang agama.  Semoga saja dengan adanya tulisan ini dapat menambah wawasan kajian tentang masalah-masalah sosial kemasyarakatan di Bandung yang perlu disikapi serius, demikian juga dengan penerbitan-penerbitan naskah sumber primer, masih banyak informasi yang memerlukan penelitian lebih lanjut secara lebih mendalam untuk dikembangkan dan disumbangkan bagi masyarakat dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan, masalah prostitusi pada masa sekarang menjadi masalah yang masih menggurita serta harus ditindaklanjuti penanggulangannya dengan membandingkan prostitusi yang ada pada masa kolonial Belanda.


Dipublikasikan Tribun Jabar, Kamis 15 September 2013

No comments:

Post a Comment