Peristiwa
penembakan Aris, Sabtu (31/8) oleh salah seorang anggota Sabara Polrestabes
Bandung di Saritem seolah menjadi tanda, bahwa aktivitas prostitusi di
Kecamatan Andir Kota Bandung masih beroprasi. Padahal Walikota Bandung Dada
Rosada pada april 2007 secara resmi menutup lokasi tersebut.
Apakah
prostitusi itu? Prostitusi adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh wanita
dengan sadar untuk memperoleh uang dari hasil menjajakan atau menjual tubuhnya
sebagai pemuas seks laki-laki. Wanita yang berprofesi sebagaimana tersebut,
biasanya dipanggil pelacur atau Wanita Tuna Susila (ANRI, 2001: XV).
Problematika
prostitusi di Indonesia ternyata sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda.
Perempuan dianggap sebagai barang dagangan dan sistem pemerintahan pada saat
itu telah membentuk landasan bagi perkembangan industri seks yang ada sekarang.
Sistem perbudakan tradisional dan perseliran yang dilakukan kaum kolonial
sangat nampak untuk memenuhi kebutuhan pemuas seks masyarakat Eropa dalam hal
ini Belanda. Umumnya aktivitas pelacuran berkembang di daerah-daerah pelabuhan
hampir di seluruh wilayah Hindia Belanda (Indonesia). Seks dijadikan isu utama
para imigran yang akan datang di Indonesia termasuk para serdadu dan opsir
Belanda, para pedagang dan para utusan duta besar yang datang ke Indonesia.
Lagi-lagi yang dirugikan adalah masyarakat pribumi. Banyaknya lelaki bujangan
yang dibawa kolonial Belanda ke Indonesia, telah mengakibatkan perminataan pelayanan
seks. Kondisi tersebut ditunjang pula oleh masyarakat pribumi yang menjual anak
perempuannya untuk mendapat imbalan materi dari para sinyo-sinyo Belanda.
Prostitusi
sejak zaman Kolonial Belanda bisa ditemui hampir disemua kota-kota besar, baik
di Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa, di pelabuhan-pelabuhan, di
garnisun-garnisun, di perkebunan-perkebunan, bahkan di penjara-penjara. Para
pekerja seks bukan hanya pribumi saja, tetapi juga keturan Eropa, orang-orang
Jepang dan orang-orang Cina. Sampai Akhirnya Pemerintahan Kolonial Belanda
mendirikan Panti Perbaikan Perempuan
atau Crouwen-Tuchthuis pada
tahun 1650 yang didirikan oleh Antonio Van Diemen, tujuan didirikannya Crouwen-Tuchthuis adalah untuk
merehabilitasi para perempuan yang bekerja sebagai pemuas kebutuhan seks bangsa
Eropa dan melindungi mereka dari kecaman masyarakat pribumi.
Pada
tanggal 15 Juli 1852, Gubernur Jendreral pemerintah Kolonial Belanda
mengeluarkan surat keputusan mengenai peraturan penanganan prostitusi.
Disebutkan bahwa ditetapkan keuangan dari kas Hindia Belanda sebesar F. 20.000
untuk menangulangi pemberantasan terhadap penyakit Siphilis. Surat Keputusan
ini juga menetapkan mengenai peraturan penangulangan penybaran prostitusi (Bt.
15 Juli 1852 N0.I.).
Usaha-usaha
yang dilakukan pemerintah Belanda dengan dikeluarkan peraturan dan
perundang-undangan hukum tidak pernah berhasil memberantas prostitusi. Dari
semua usaha itu yang tetap ada sampai sekarang adalah pengawasan kesehatan,
pencegahan menularnya penyakit kelamin, melalui selebaran koran-koran,
televisi, radio. Pertanyaannya sekarang adalah mengapa prostitusi sulit
diberantas? Pertanyaan tersebut pasti akan selalu muncul dalam benak kita,
karena permasalahan prostitusi sangat kompleks. Banyak hal yang menjadi alasan
mengapa wanita melakukan prostitusi dan biasanya selalu dengan alasan klasik,
seperti masalah ekonomi, dittinggal suami tanpa diberi nafkah, sakit hati
karena ternoda oleh mantan pacar, bahkan yang lebih parah karena hobby. Namun
yang pasti prostitusi tidak akan muncul, tidak akan berkembang dan marak jika
tidak ada lelaki hidung belang yang
datang ke tempat-tempat pelacuran. Sebab lain mengapa prostitusi sulit sekali
dimusnahkan adalah tempat-tempat pelacuran biasanya didukung oleh oknum
tertentu yang mempunyai “power” bahkan oknum inilah yang biasanya mengusahakan
pelacur-pelacur muda baik dari dalm maupun dari luar negeri hal ini pun bukan
hanya terjadi masa penjajahan Belanda sampai detik ini pun bisa jadi seperti
itu.
Pemerintahan
Hindia Belanda memang tidak menutup mata melihat maraknya praktik prostitusi,
karena sebagian besar yang terkena penyakit kelamin adalah para serdadu
Belanda. Hal ini membuktikan bahwa lelaki hidung belang yang menggunakan jasa
seks pada masa Kolonial Belanda adalah orang Belanda sendiri. Hal ini bisa
ditemukan pada Arsip Bt. 10 Agustus 1891 No. 4; Burgelijk Geneeskundige Dienst van 260 tanggal 8 April 1891, data
mulai tahun 1870-1890, Dinas Kesehatan Hindia Belanda menerangkan bahwa pada
tahun 1870 tercatat 575 serdadu Belanda menderita Siphilis dan 5105 serdadu
Belanda terkena Morbi Veneris. Hingga tahun 1882 jumlah penderita penyakit
kelamin dari pihak serdadu Belanda semakin meningkat penyakit Siphilis menjadi
1290 orang. Sedangkan Morbi Veneris pada tahun 1887 berjumlah 10108 orang.
Usaha
para pegawai kesehatan Kolonial Belanda tidak sia-sia para ahli dan dokter
telah menemukan obat untuk penyait Siphilis dan Gonnorhoe. Namun sejalan dengan
semakin maju dan modernnya peradaban masyarakat dunia, ternyata muncul pula
suatu penyakin kelamin lainnya yang sampai detik ini belum ada obatnya yaitu
penyakit Aids. Penyakit ini menular dan banyak mengakibatkan banyak penderita
meninggal dunia. Mungkin bagi penulis sendiri Aids adalah azab dari Allah untuk
para pelaku zina.
Pengawasan
tentang praktik prostitusi akhirnya dilimpahkan dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah, hal ini sesuai dengan dikeluarkannya Memory van Toelichting tanggal 1 Januari 1873. Harapan pemerintahan
Kolonial Belanda adalah adanya tanggungjawab pengawasan terhadap tempat
prostitusi, sebagai upaya agar setiap lingkungan pemukiman memantau dan membuat
sendiri peraturan untuk mengendalikan aktivasi prostitusi setempat.
Direktur
Pendidikan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda tanggal 3 September 1900 No.
11451 mengeluarkan resolusi yang berisi usulan penanggulangan para penderita
penyakit kelamin akibat merebaknya prostitusi. Hal ini juga bisa dilihat dalam
naskah Kl. 8 September 1900 No. 206652 Mgs 31 Januari 1901 No. 283;Bt. 13
Agustus 1912 No. 12 tentang penyebaran penyakit kelamin dan penangulangannya.
Pada tanggal 17-19 April 1940 Perkumpulan Pembasmian Perdagangan Perempuan dan
Anak (PPPPA). Perkumpulan tersebut menuntut agar dibentuk suatu peraturan
prostitusi yang harus dijalankan dengan benar dan peraturan tersebut harus
selalu diperbaiki, hingga pelaksanaannya bisa berjalan dengan baik sesuai
dengan sistem yang telah ditetapkan. `
Harus
diingat bahwa perbuatan prostitusi sejak zaman Kolonial Belanda dicela oleh
masyarakat, ada anggapan yang mengatakan bahwa pelacur adalah drakula yang
menghisap, meracuni dan menghancurkan kehidupan laki-laki muda dan bahkan laki-laki
yang mempunyai keluarga. pelakunya akan dikucilkan karena dianggap sampah masyarakat
mungkin sampai detik ini pun masih tetap sama. Prostitusi adalah perbuatan yang
dilarang agama. Semoga saja dengan
adanya tulisan ini dapat menambah wawasan kajian tentang masalah-masalah sosial
kemasyarakatan di Bandung yang perlu disikapi serius, demikian juga dengan penerbitan-penerbitan
naskah sumber primer, masih banyak informasi yang memerlukan penelitian lebih
lanjut secara lebih mendalam untuk dikembangkan dan disumbangkan bagi
masyarakat dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan, masalah prostitusi pada
masa sekarang menjadi masalah yang masih menggurita serta harus ditindaklanjuti
penanggulangannya dengan membandingkan prostitusi yang ada pada masa kolonial
Belanda.
Dipublikasikan Tribun Jabar, Kamis 15 September 2013
No comments:
Post a Comment