Desa budaya sampai saat ini masih bisa
kita temui di belbagai penjuru tanah air, termasuk di Jawa Barat sebut saja
Kampung Naga (Tasikmalaya), Kampung Kuta (Ciamis), dan Kampung Kasepuhan
Ciptagelar (Sukabumi). Gagasan Tiwi Purwitasari peneliti di Balai Arkeologi
Bandung menyatakan bahwa komunitas yang masih teguh melaksanakan belbagai
upacara adat dan tradisi, biasa disebut dengan masyarakat budaya. Sedangkan
desa tempat tinggal mereka disebut dengan desa budaya. (Tiwi Purwitasari,
2010:119).
Sejalan dengan pemikiran Melville J.
Herkovits dan Bronislow Malinowski yang menggagas teori mengenai Cultural
Determinism (Determinasi Budaya), Dalam teorinya Melville J. Herkovits dan
Bronislow Malinowski mengatakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam
masyarakat ditentukan oleh adanya kebudayaan yang dimiliki masyarakat tersebut.
Pernyataan ini dipertegas oleh Soejono Soekamto yang menyatakan bahwa
masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan
demikian tidak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan dan sebaliknya
tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai bingkai dari potret budaya
tersebut. (Soejono Soekanto, 1987:154).
Bertolak dari hal tersebut di atas
penulis mencoba mengurai kembali mengenai desa budaya di daerah Jawa Barat,
yang notabene masyarakat adat Jawa Barat biasa disebut dengan masyarakat Sunda
tentunya dengan tidak menampikan masyarakat pantura Cirebonan. Ada banyak
wilayah di Jawa Barat yang kehidupan masyarakatnya masih melakukan tata cara
dan budaya Sunda, sebut saja Kampung Naga (Tasikmalaya) yang memegang prinsip
hidup kesederhanaan mereka ‘’teu saba teu soba, teu banda teu boga, teu weduk
teu bedas, teu gagah teu pinter’’ (tidak kemana-mana, tidak menguasai siapapun,
tidak berharta tidak punya apa-apa, tidak kebal tidak kuat, tidak gagah tidak
pintar). Jika di artikan lebih dalam, maka kalimat di atas menyatakan bahwa
masyarakat Kampung Naga tidak memiliki kelebihan apapun yang merupakan pangkal
dari sikap sederhana mereka, yang mereka punya adalah cinta, dari pada hidup
bermewah-mewahan punya segalanya tapi sengsara seperti para koruptor. Begitupun
masyarakat Kampung Kuta (Ciamis) mereka memiliki pepakem sendiri untuk tunduk
patuh pada hukum sebagai bentuk taat aturan di adat mereka dalam “ngancik di
keramat Kuta Jero” ungkapan tradisonal berupa tabu atau pamali merupakan adat
yang harus ditaati, dipatuhi, dan diyakini keberadaanya baik bagi masyarakat
pendukungnya maupun bagi masyarakat di luar pendukungnya. Hukum memang
idealnya, dibuat bukan untuk dilanggar. Potret lain dari desa budaya bisa kita
lihat dari masyarakat Kampung Kasepuhan Ciptagelar (Sukabumi) yang menghormati
leluhurnya dalam konsep Pancer Pangawinan sebagai ketaatan pada orang tua dan
pendiri Kampung. Contoh di atas merupakan bagian dari protipe orang Sunda yang
hidup sederhana penuh cinta damai, tidak menjajah, tidak korupsi, taat pada
aturan hukum, menghormati para pejuang, leluhur dan orang tua.
Bentuk perkampungan pada masyarakat di
suatu desa budaya juga biasanya masih mempertahankan bentuk fisik dengan ciri
bangunan berarsitektur tradisional dan pola pemukiman yang relatif tetap atau
tidak mengalami perubahan bentuk yang mencolok dari waktu ke waktu, secara
filosifis dinisbatkan sebagai sikap hidup yang ajeg, tetap dan konsisten
mempertahankan keyakinan. Ciri bangunan tersebut, terdapat pula di Kampung Naga
(Tasikmalaya), Kampung Kuta (Ciamis), dan Kampung Kasepuhan Ciptagelar
(Sukabumi). Tanda spesifik bentuk bangunan rumah masyarakat desa budaya adalah
bentuk rumah tempat tinggal yang menyatu dengan alam karena mengunakan bahan
baku yang bersumber dari alam seperti kayu, bambu, ijuk, dan dedaunan dalam
makna yang lebih luas diartikan dengan bentuk penyatuan diri bertabur dengan
alam dalam konsep kosmis penyatuan simbolik dengan sang pencipta.
Pepakem
Cagar Budaya
Dewasa ini seiring laju roda zaman,
eksistensi desa-desa budaya yang ada di Nusantara khususnya di Jawa Barat
dipertanyakan kembali tentang kearifan adat istiadat, unggah-ungguh bahasa dan
keasrian prinsip-prinsip yang menjadi dasar kehidupan keseharian mereka dalam
membentuk individu yang bermoral. Apakah kini sudah kikis oleh perkembangan
zaman modern ataukah masih tetap asri mempertahankan kearifan budaya lokal
tersebut?Pertanyaan ini penting bagi kita manusia yang hidup di era masyarakat
mesin yang menjastifikasi diri lebih modern dan lebih maju dari mereka. Akui
atau tidak manusia sebagai mahluk sosial masih membutuhkan panduan dalam konsep
tatakrama hidup bersosial, walaupun pada hakekatnya manusia sebagai mahluk
hidup memiliki kelenturan, yang memungkinkan untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya.
Saya membayangkan desa budaya merupakan
bagian dari pepakem Sunda dalam meyudahi problem bangsa dengan solusi tatanan
stuktur budaya yang harmonis dan kesederhanaan hidup yang alami dan indah.
Kalaupun tidak, studi desa budaya dapat dinisbatkan sebagai bagian dari embrio
keadaan bangsa dalam menemukan kembali dirinya dalam cermin khasanah budaya
lokal. Perspektif persoalan yang bersangkutan dengan niat baik dalam konsep
tata ruang, adat istiadat, mata pencaharian, filosofi, dan unsur-unsur
kebudayaan lainnya. Karena para arkeolog dan sejarawan bersepakat bahwa pada
desa budaya, tradisi yang ada dalam suatu masyarakat menjadi suatu pilar yang
berakar kuat serta ditaati secara terus menerus dari suatu generasi ke generasi
berikutnya. Tradisi itu terus berlangsung karena didapat dengan belajar serta
disosialisasikan kepada seluruh anggota masyarakat dan pada akhirnya menjadi
budaya yang mewarnai kehidupan keseharian masyarakat di desa budaya tersebut.
Tidak hanya berkaitan degan pertanyaan kembali pada kebudayaan modern yang
lebih canggih dan menjanjikan, sumbangan berharga dari khasanah kearifan lokal
terhadap hari esok kebudayaan manusia dalam arti yang lebih menusantara justru
lebih menjanjikan.
Lebih jauh lagi kampung atau pemukiman
tradisional yang masyarakatnya masih mempertahankan tradisi, secara rasional
pasti di dalamnya terdapat dimensi kebudayaan yang memegang peranan penting
sebagai nyawa dari kultur kampung. Dalam masyarakat desa budaya nilai-nilai
kearifan lokal dipelajari dengan cara mentansformasikan dari orang tua kepada anaknya.
Masyarakat dalam hal ini harus berperan aktif dan menjadi pendukung
keberlangsungan suatu desa budaya dan tetap harus menjaga dan melestarikan
berbagai tradisi dan kearifan lokal yang berlangsung turun temurun sebagai
warisan budaya yang sakral. Berbagai aspek kehidupan masyarakat desa budaya
merupakan potensi yang harus dikembagkan lebih lanjut, karena merupakan aset
pengembangan pariwisata.
Kehidupan masyarakat desa budaya yag
memegang teguh nilai-nilai adat yang arif sudah seharusnya direalisasikan oleh
masyarakat modern yang jauh dari tatanan moral, sewajarnya apabila
masing-masing kita mengamini sesuatu yang dianggap baik diaktualisasikan dengan
tingkah laku di kehidupan sosal berbangsa. Dengan ini diharapkan
prinsip-prinsip hidup Sunda, yaitu cageur (sehat jasmani rohani), baguer (benar
dalam bertindak dan bertingkah laku) dan pinter (pandai dalam bergaul,
memutuskan sikap, bijaksana, berilmu dan berpengetahuan luas). Semoga dengan
kajian yang lebih mendalam dan dokumentasi yang lebih lanjut tentang keunikan
desa budaya bisa lebih bermanfaat.
Dimuat
Koran Pikiran Rakyat, 22 September 2012
No comments:
Post a Comment