Bertolak dari Pikiran Rakyat
Online Rabu, 25 Mei 2011 tentang berita Sintren di Cirebon penulis coba
menjelaskan bagaimana sebenarnya pertunjukan Sintren dilakukan. Cirebon sebagai
kota yang terletak di wilayah Pantai Utara Tanah Jawa, merupakan jalur
perlintasan transportasi kendaraan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Cirebon
yang berjuluk Kota Udang, duhulu merupakan pusat penyebaran Islam di Jawa Barat
oleh Sunan Gunung Jati. Cirebon juga terkenal memiliki keragaman budaya, yang
kuat bernuansa religi dan kaya akan kesenian tradisionalnya, di antaranya
Tarling, Tari Topeng, Barok, Rudat, Mapag Sri, Sintren. Kesenian Cirebonan
berkaitan erat dengan nilai-nilai budaya dan mempunyai fungsi yang
berbeda-beda, seperti halnya Sintren.
Kebudayaan Cirebon yang sekarang
ada merupakan bagian budaya hasil pengaruh perkembangan budaya masa lampau.
Dalam perkembangan budaya dan agama sebenarnya memiliki suatu benang merah.
Kebudayaan pada dasarnya merupakan manifestasi sistem gagasan manusia yang
dilatar belakangi ilmu pengetahuan, kepercayaan, norma, dan nilai-nilai sosial
budaya yang dianutnya. Wujud kebudayaan adalah tindakan seseorang pada sistem
budaya tersebut. Maka wajar para pelaku seni tidak mempermasalahkan apakan
pertunjukan Sintren musrik atau bukan. Sementara agama secara praktis adalah
pengamalan norma dan nilai-nilai keprcayaan berdasarkan pengetahuan yang
diterima seseorang pada titik yang sama yakni tindakan seseorang berdasarkan
kepercayaan, norma-norma, pengetahuan, dan nilai-nilai yang diyakininnya.
Meskipun demikian, di antara keduanya bisa berbeda, karena kebudayaan hasil
pemikiran dan gagasan manusia, sedangkan Agama adalah ide atau gagasan yang
berumber dari wahyu Tuhan.
Dari segi asal bahasa
(etimologi) Sintren berasal dari dua suku kata Si dan Tren. “Si” dalam bahasa
Jawa Cirebon berarti “Dia” atau “Ia” dan “Tren” berarti “ Tri” panggilan buat
kata putri, yang menjadi pemeran utama dalam kesenian Sintren (Sugiarto
1989:15). Pada awalnya pagelaran Sintren disajikan pada waktu malam sunyi dalam
malam bulan purnama, tempat yang digunakan adalah arena terbuka biasanya di
tengah-tengah pertunjukan Sintren dipasang Oncor sebagai alat penerang dan
penonton mengelilingi arena pertunjukan tanpa ada jarak dengan penari, hal ini
dilakukan agar penonton bisa melakukan saweran dengan melemparkan sapu tangan
yang telah di isi dengan uang.
Alat musik yang khas mengiringi
pertunjukan tari Sintren pada mulanya hanya memakai alat musik sederhana.
Pertama, Buyung alat musik yang terbuat dari tanah liat yang atasnya ditutup
lembar karet berfungsi sebagai gendang. Kedua, Tutukan alat musik yang terbuat
dari bambu panjang besar sebagai pengganti alat musik bas. Ketiga, Bumbung ruas
bambu yang berukuran kecil yang berfungsi sebagai melodi. Keempat, Kendi yang
terbuat dari tanah liat berfungsi sebagai gong, dan yang Kelima, Kecrek sebagai
pengatur ritme nada. Karena perkembangan jaman, alat musik pada setiap
pagelaran Sintren di tambah alat musik Gamelan.
Busana yang digunakan pada waktu
pertunjukan Sintren dulunya berupa kain kebaya, sekarang penari Sintren
menggunakan baju golek baju yang digunakan pada pertunjukan tari golek. Adapaun
busana tambahan sebagai pelangkap pada pertunjukan tari Sintren dari duhulu
sampai sekarang hampir sama. Seperti, Kain Batik Liris untuk bawahan, Celana
Cinde yaitu celana yang panjangnya sampai lutut, Jamang atau hiasan rambut yang
dipakai dikepala, kaos kaki, dan kaca mata hitam.
Turun-turun SintrenSintrene widadari
Nemu kembang ning ayunan
Nemu kembang ning ayunan
Kembange siti mahendara
Widadari temurunan ngaranjing ning awak ira
Lantunan lagu yang khas yang
dinyanyikan oleh seorang sinden pada pertunjukan Sintren sebagai pembuka acara
akan terasa sejuk dan menenangkan jiwa ketika para penonton mendengarnya.
Tembang Turun Sintren dijadikan sebagai tembang pembuka dalam pertunjukan
Sintren, pada prosesi ini Mulandang (Pawang Sintren) membacakan mantra agar roh
sulasih masuk ke dalam tubuh penari Sintren. Dan kemudian lagu sulasih
dinyanyikan berulang-ulang menunggu penari Sintren di dalam kurungan, Tembang
Sih Solasih adalah tembang permohonan agar tali yang mengikat pada penari
Sintren dapat terlepas, Adapun syair lagu Sih Solasih adalah sebagai berikut:
Sih solasih sulandanaMenyan putih pengundang dewa
Ala dewa saking sukma
Widadari temurunan
Pertunjukan Sintren kemudian
disusul dengan lagu Kembang Gewor sebagai penyambutan pada penari pengiring
atau bodoran yang mengelilingi Sintren di dalam kurungan. Syair lagu kembang
gewor adalah sebagai berikut:
Turun-turun sintren sintrene
widadariNemu kembang yun ayunan
Nemu kembang yun ayunan
Kembange si jaya Indra
Widadari temurunan
Kang manjing ning awak ira
Turun-turun sintren sintrene widadari
Nemu kembang yun ayunan
Nemu kembang yun ayunan
Kembange si jaya Indra
Widadari temurunan
Kembang gewor bumbung kelapa lumeor
Geol-geol bu sintren garepan njaluk bodor
Bumbune kelapa muda
Goyang-goyang nyi sintern minta bodor
Pada pertunjukan Sintren iringan lagu hiburan di sesuaikan dengan keadaan masyarakat sekarang, dan lagu penutup di akhiri dengan tembang Kembang Jae Laos dan tembang Kembang Kilaras, iringan turun Sintren sebagai petanda permainan Sintren akan usai, tembang piring kedawung untuk melepas roh dewi sulasih dan Sintren berganti busana keseharian. Adapun syair lagu Kembang Kilaras adalah sebagai berikut:
Kembang kates gandul
Pinggire kembang kenanga
Kembang kates gandul
Pinggire kembang kenanga
Arep ngalor garep ngidul
Wis mana gageya lunga
Kembang kenanga
Pinggire kembang melati
Kembang kenanga pinggire
Kembang melati
Wis mana gageya lunga
Aja gawe lara ati
Kembang jahe laos
Lempuyang kembange kuning
Kembang jahe laos
Lempuyang kembange kuning
Ari balik gage elos sukiki menea maning
Perkembangan Sintren
Sintren pada masa sekarang mengalami pergeseran budaya, bukan hanya pada pertunjukan Sintrennya saja tetapi juga pada profil penari Sintren. Penari Sintren jaman duhulu harus melalui seleksi super ketat, untuk menjadi penari Sintren harus melakukan puasa sehari semalam (Matigeni) dan dalam pertunjukan Sintren harus dilakukan oleh seorang gadis remaja yang masih perawan, sedangkan pada masa sekarang remaja putri lebih senang duduk di depan televisi dibandingkan untuk melestarikan budaya tradisonalnya sendiri. Selain itu para remaja sekarang sangat jarang yang mau melakukan ritual puasa seperti halnya yang dilakukan penari Sintren jaman dahulu.
Sintren pada masa sekarang mengalami pergeseran budaya, bukan hanya pada pertunjukan Sintrennya saja tetapi juga pada profil penari Sintren. Penari Sintren jaman duhulu harus melalui seleksi super ketat, untuk menjadi penari Sintren harus melakukan puasa sehari semalam (Matigeni) dan dalam pertunjukan Sintren harus dilakukan oleh seorang gadis remaja yang masih perawan, sedangkan pada masa sekarang remaja putri lebih senang duduk di depan televisi dibandingkan untuk melestarikan budaya tradisonalnya sendiri. Selain itu para remaja sekarang sangat jarang yang mau melakukan ritual puasa seperti halnya yang dilakukan penari Sintren jaman dahulu.
Perubahan pertunjukan Sintren
disebabkan beberapa hal di antaranya adalah karena kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang berkembang pesat, hal ini berpengaruh kuat terhadap Sintren
Cirebonan. Dengan adanya media elektronik, seperti televisi, radio bahkan yang
sedang nge-pop adalah internet, bagi sebagian masyarakat hal ini memudahkan
untuk mengakses hiburan, mereka tidak perlu lagi untuk pergi ke pertunjukan
seni atau tempat-tempat yang mempertunjukan hiburan seperti dulu, hal inilah
yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan seni tradisional, khususnya
Sintren. Dengan adanya pergeseran minat masyarakat terhadap Sintren. Semoga
saja pemerintah daerah Jawa Barat, beserta dinas-ninas terkait dan seluruh
lapisan masyarakat, selalu berupaya keras untuk melestarikan khazanah budaya
tradisional.
Dimuat di Koran Pikiran Rakyat, 12 Juni
2011
No comments:
Post a Comment