Oyod
dalam bahasa Dermayu-Cirebon (Derbon) dapat diartikan dengan akar (pohon),
sedangkan Mingmang dapat diartikan
gamang, stagnan, kebingungan, buntu dan tidak bisa berbuat (diam). Pembahasan Oyod Mingmang penulis temukan pada
Naskah Sulaiman Sulediningrat dalam menafsir kisah dakwah Sunan Gunung Jati ketika
menaklukan daerah sekitar Cirebon, termasuk di dalamnya kisah Arya Kemuning yang
tidak bisa menemukan wilayah Indramayu, karena Raden Indra Wijaya sang adipati
Indramayu menanam oyod mingmang. Singkatnya
oyod mingmang merupakan platform
kearifan lokal yang menggambarkan kebingungan bersikap.
Pasca
terpilihnya Joko Widodo (Jokowi) menjadi Presiden Repubik Indonesia, rakyat
menjadi gamang karena pemberitaan media yang simpangsiur. Kebenaran adalah
milik para penguasa belaka, timpangnya trias politika di negeri ini adalah
suatu problem yang jelas tidak sehat untuk kehidupan berbangsa. Ada komunikasi
yang tersendat antar para elite di negeri ini, dalam bahasa Asep Salahudin
diejawantakan dengan komunikasi heurin ku letah.
Menurut Asep Salahudin bahwa sikap heurin ku letah merupakan komunikasi
naif sehingga tidak perlu dipertahankan. Sikap tersebut merupakan komunikasi
inferior yang semakin menyebabkan seseorang kian terpuruk.
Sebagai warga yang baik tentu kita sepakat bahwa tugas para pemimpin sehingga
mereka terpilih oleh rakyat, tentu dengan ongkos pemilihan yang mahal, namun
demikian kiranya tujuan bijak yang hendak dituju adalah untuk menciptakan
negara kesejahtraan, sehingga jelas tujuan akhirnya adalah kemakmuran rakyat.
Emplementasi seorang pemimpin yang dipilih rakyat setidaknya berupaya
meresapkan rasa keadilan merata kepada semua pihak apapun bendera partainya,
budaya, suku, bahasa dan agamanya. Pemimpin dalam literatur Derbon bermakna “wong agung” yang idealnya mampu memberi
rasa nyaman siapapun, Tarub berteduh
dimana kontrak sosial diakadkan dengan tujuan utama bersama membangun keadaban
masyarakat domakratis.
Kerangka imajinasi kita hendaknya harus mampu menembus sekat-sekat
peradaban yang menghegomoni kesejahtraan rakyat, walaupun wong agung yang diharapkan sebagai pengayom pada praktiknya
ternyata kerap mengalami pasang surut karena terjerat belenggu oyod mingmang, kerap terjangkit kegaulan
bersikap bijak, dan kebuntuan mengambil peran-peran urgen yang menentukan nasib
rakyat yang memilihnya. Dalam literasi nalar imajinatif masyarakat
Dermayu-Cirebon berganti wujud untuk
menjadi orang lain, merupakan strategi politik untuk mengelabui lawan agar
mendapatkan kemulyaan. (Tan hana sawiji
wiji sejatining manusa sinatria malih rupa, ngongkrod jebol wawanen kamulyan).
Namun di sisi yang lain menjadi naif karena pada akhirnya seorang pejabat yang
sudah berubah baju dan bendera sekalipun tidak mampu berbuat banyak karena
sistem yang sudah massif bagaikan Oyod
Mingmang yang membelengu.
Khasanah literasi politik manusia Derbon bisa disematkan dalam Wong asih ora kurang pengalem, wong sengit
ora kurang penyacad (orang yang pengasih tidak kurang pujian, orang yang
pemarah tidak kurang celaaan). Agar target untuk menjalankan roda pemerintahan
setelah terpilih bisa dioptimalkan. Karena pada akhirnya yang kita temui adalah
wong becik ketitik, wong ala ketara
(manusia baik ketauan, manusia jahat kelihatan). Makna yang lebih luas apabila
dikaitkan dengan nalar positip para pemimpin agar menjadi pepakem adalah
kebaikan dan kejelekan seorang pemimpin tidak akan bisa ditutup-tutupi, karena
suatu saat apabila ia berbuat kesalahan ataupun kebaikan rakyat akan
mengetahui.
Kenyataan yang sejati menyadarkan kita bahwa perilaku politik di negeri ini
masih jauh dari dambaan rakyat pada umumnya. Politisi busuk yang berakar pada
laku lampah sesat, saling mencaci dan membeci, menebar fitnah, bekerja untuk
populeritas, melakukan kejahatan kolusi, korupsi dan nepotisme yang mendasari
gerbang candradimuka buatan sengkuni yang oleh Stanislav Andreski (1968). disebut Kleptocracy
or Corruption as a System of Government, Negara Kleptokrasi; praktik
korupsi dilakukan secara terorganisir yang dimainkan empat aktor intelektual:
pejabat negara, aparat birokrasi, anggota parlemen, dan sektor swasta yang
dimainkan oleh para pengusaha. Teringat pernyataan Imam Ali bin Abu Thalib yang
mengatakan kejahatan yang terorganisir mengalahkan kebaikan yang tidak
terorganisir.
Jangan-jangan negara kita terjangkit sindrom obor blarak, terjebak pada kekayaan alam yang tak terhingga, namun
angka kemiskinan semakin menampakkan grafik menaik, menjadi bangsa yang berada
di halaman belakang dari lembaran bangsa-bangsa Dunia. Tentu saja kekayaan
khasanah kearifan lokal masyarakat Indonesia di seluruh penjuru tanah air mesti
dijadikan modal sosial agar menjadi darah segar yang memompa keseluruh jasad
manusia Indonesia untuk meraih keadaban hidup berkesejahtraan yang
sesungguhnya. Hal ini harus difahami sebagai kepentingan universal yang
mendesak karena budaya High Culture
harus tetap terbuka terhadap nilai-nilai counter hegemonik, karena hal ini penting bagi survivalitas antar etnis secara kolektif. Kearifan lokal harus
melakukan dekonstruksi nilai-nilainya yang tidak kondusif terhadap demokrasi,
tanpa menghilangkan nilai-nilai luhur
tata hidup berbangsa.
Manusia pada
dasarnya memiliki cita-cita dan keinginan hidup yang tinggi. Alfred Marshall,
pakar ekonomi Inggris, mengatakan bahwa kemajuan dalam perhiasan hidup akan
meninggalkan standar penghidupan, dan kalau hal ini yang terjadi maka keadaan
ekonomi rakyat akan bertambah baik. Faktanya sekarang, pemerintah dalam panggung
sejarah Indonesia mengharuskan kita untuk menerima kenyataan bahwa pertarungan
dan perebutan kekuasaan yang terjadi mengakibatkan kelalaian dan tugas suci
untuk melayani publik. Pemerintah
lebih senang mengurus partainya masing-masing, daripada
memikirkan nasib rakyat kecil yang tertindas oleh jiwa zamannya (zeitgest).
Kerangka
seorang sinden dalam pepakem pawayangan bersenandung” Sun besuk
mariya eman/Yen wonten grananing sasi/Srengenge kembar lima/Lintang alit
gumilar sing/Sawiji tan hana urip/Mung sira kelawan isun/Matiya munggah suwarga/ (Esok, ketika diriku dihentikan kasih sayang/saat
gerhana bulan/matahari kembar lima/terhampar bintang bercahaya/tak satupun ada
yang hidup/hanya kamu dan aku/wafat menaiki langit-langit surga). Karena
sesungguhnya kuasa politik akan senantiasa berhimpitan secara timbal balik
dengan nilai-nilai budaya yang dianut para pelakunya. Para pelaku politik pada
dasarnya memiliki kecenderungan untuk tidak berdusta. Ia terikat pada etika
untuk selalu mengatakan bahwa yang benar itu adalah benar, dan bahwa yang salah
itu adalah salah. Jika sewaktu-waktu berdusta, maka perbuatan dustanya itu akan
mendapat perlawanan nurani. Dan pesan perlawanan ini dapat pula ditangkap lensa
nurani melalui isyarat bahasa tubuh, termasuk makna paralinguistik yang pada
umumnya tampak pada raut muka para pelakunya.
Kiranya tentu akan lebih baik jika persoalan
yang tengah melilit bangsa Indonesia segera diselesaikan. karena rakyat awam
sekalipun akan selalu memberikan isarat tanda tanya terhadap berbagai kerisauan
berdemokrasi di negeri ini perlu segera diakhiri. Pemerintah, dalam hal ini
Jokowi beserta jajaran kabinetnya, serta para anggota dewan dari manapun
partainya harus segera melakukan kerja-kerja kolektif, terutama untuk
memberikan solusi sebagai bagian dari pembelajaran politik masyarakat. Jika
tidak, hal ini akan membekas pada memori politik masyarakat Indonesia sehingga
dapat mendorong sikap apatis yang berakibat pada disintegrasi bangsa dalam
rotasi oyod mingmang. Wallahualam.
Dipublish Kabar Cirebon
No comments:
Post a Comment