Saturday, July 18, 2015

Elite Anti Kemakmuran Rakyat Oleh: Wahyu Iryana

Dalam pidato politik tanggal 10 Oktober 1933, salah satu faunding fathers kita, Muhammad Hatta, mengatakan bahwa politik kemakmuran tidak akan mengurai dengan apa kita dapat hidup, tetapi dengan berapa jiwa manusia mestinya kita dapat hidup selamat. Politik kemakmuran senantiasa mesti ditujukan supaya tercapai kenaikan standar penghidupan bagi rakyat karena syarat hidup tidak cukup kalau orang hanya dapat makan supaya jangan mati (Muhammad Hatta, 1953:261).
Manusia pada dasaranya memiliki cita-cita dan keinginan hidup yang tinggi. Alfred Marshall, pakar ekonomi Inggris, dalam bukunya Principles of Ekonomics mengatakan bahwa kemajuan dalam perhiasan hidup akan meninggalkan standar penghidupan, dan kalau hal ini yang terjadi maka keadaan ekonomi rakyat akan bertambah baik.
Faktanya sekarang, pemerintah dalam panggung sejarah Indonesia mengharuskan kita untuk menerima kenyataan bahwa pertarungan dan perebutan kekuasaan yang terjadi mengakibatkan kelalaian dan tugas suci untuk melayani publik. Pemerintah lebih senang mengurus partainya masing-masing, daripada memikirkan nasib rakyat kecil yang tertindas oleh jiwa zamannya (zeitgest). Coba kita perhatikan disekitar kita, berapa upah buruh yang dizalimi para pengusaha nakal, pedagang kaki lima yang diusir paksa, petani yang gagal panen, nelayan yang susah melaut karena solar mahal, harga-harga yang semakin membumbung tinggi ke langit dan kaum miskin kota yang tiap tahun bertambah.
Sekarang pemimpin negera kita lebih senang curhat mengenai manuver-manuver politik oleh lawan-lawan politiknya. Rupanya propaganda politik terhadap SBY tersebut cukup berhasil. Setidaknya ini terlihat dari hasil Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menyatakan bahwa citra SBY melorot turun secara signifikan. Dalam  survei  yang dilakukan pada kurun waktu 1-7 Juni 2011, tingkat kepuasan masyarakat atas kinerja SBY turun 9% dari 56,7% (hasil survey periode Januari 2011) menjadi 47,7%.  Survei LSI tersebut dilakukan secara nasional dengan metode multi-stage random sampling dengan 1.200 responden yang dipilih secara acak di 33 provinsi dengan margin of erros 2,9 (www.lsi.or.id).
Terlepas dari hasil survei tersebut, memang saat ini citra SBY sedang redup. Merosotnya kepuasaan atas kinerja SBY ini diindikasikan atas berbagai dinamika yang terjadi, baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun hukum. Yang menarik, bidang politik dan hukumlah yang menjadi sorotan atas penurunan citra SBY tersebut. Di antaranya, banyak kasus korupsi yang tidak jelas juntrungnya. Dari masalah Kasus Bailout Bank Century yang semakin tenggelam hingga, yang terbaru, kasus suap di Sekmenpora berkaitan dengan pembangunann Wisma Atlet SEA Games di Palembang yang diduga melibatkan para pejabat teras Partai Demokrat (PD).  Di satu sisi SBY dalam forum terbuka selalu berjanji akan memimpin sendiri perang terhadap korupsi, namun di sisi lain ketika ada kasus korupsi yang hinggap di rumahnya sendiri (baca: Partai Demokrat), SBY seolah lemah, tidak berdaya menghadapinya.
Pseudo Politik Gaya Baru
Dalam buku saku Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berjudul Panduan untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa pemberian hadiah (gratifikasi) kepada penyelenggara negara dan berhubungan dengan jabatannya, jika tidak dilaporkan ke KPK, menjadi salah satu bentuk tindak pidana korupsi. Menurut catatan Pacific Economic and Risk Concultacy (PERC), pada 2005 silam Indonesia menempati urutan pertama sebagai negara terkorup di wilayah Asia. Korupsi sudah menjadi penyakit akut dan harus dibasmi sampai ke akarnya.
Konferensi Tahunan Advokat Internasional, International Bar Association (IBA) Annual Conference 2011, di Dubai, Uni Emirat Arab, membahas gerakan bersama memerangi penyuapan, korupsi, dan pencucian uang. Di situ, advokat sedunia pun membangun kesadaran bahwa korupsi sangat menyengsarakan rakyat. Hoyer E Mayer, Wakil Ketua Komisi Antikorupsi IBA, menyatakan, sanksi apa pun bagi pelaku korupsi harus gencar dipublikasikan sehingga lebih banyak orang yang mengetahuinya. Hal ini akan memberikan efek malu bagi pelakunya (Kompas, 07/11/11).
Nah, di Indonesia, dalam kasus Nasarudin, SBY hingga kini belum mengeluarkan jurus pamungkasnya terkait masalah hukum. Dalam posisinya sebagai Dewan Pembina Parta Demokrat, setidaknya SBY harus turun tangan. Sebab, jika kasus ini dibiarkan menggelinding bak bola salju, yang dipertaruhkan bukan saja kehormatan SBY sebagai presiden, namun juga PD secara institusional.
Hal inilah yang menyebabkan adanya saling sandera antarelite politik. Lalu pertanyaanya sekarang, di manakah posisi (kepentingan) rakyat? Apakah para elite politik antikemakmuran rakyat? Apakah mereka hanya mementingkan pencitraan golongannya masing-masing? Bagaimanakah nasib generasi penerus bangsa ke depan?
Gaya politik SBY yang serba hati-hati dan cenderung lamban, seharusnya sudah mulai ditinggalkan. Sebab, alih-alih untuk pencitraan, hal itu justru membuat masyarakat gregetan. Tak aneh jika kemudian muncul persepsi sosial bahwa apa yang dilakukan SBY hari-hari ini hanya bagian dari pseudo politik belaka.
Rasanya kita harus sepakat dengan argumen-argumen para pakar politik di negeri ini bahwa SBY harus melakukan terobosan baru (new breakthrough) atau bahkan ledakan besar (big bang) berupa kebijakan di luar kebiasaan guna menaikkan citra kepemimpinannya. Tidak tebang pilih dalam proses hukum, menggenjot ekonomi kerakyatan, perluas lapangan kerja, hubungan internasional yang elegan, dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Apabila hal ini tidak dilakukan, pemerintahan SBY tidak akan happy ending dalam detik-detik akhir pemerintahannya.
Dalam perspektif etika dan budaya komunikasi, pesan sesuatu komunikasi akan senantiasa berhimpitan secara timbal balik dengan nilai-nilai budaya yang dianut para pelakunya. Para pelaku komunikasi pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk tidak berdusta. Ia terikat pada etika untuk selalu mengatakan bahwa yang benar itu adalah benar, dan bahwa yang salah itu adalah salah. Jika sewaktu-waktu berdusta, maka perbuatan dustanya itu akan mendapat perlawanan nurani. Dan pesan perlawanan ini dapat pula ditangkap lensa nurani melalui isyarat bahasa tubuh, termasuk makna paralinguistik yang pada umumnya tampak pada raut muka para pelakunya.
Meminjam bahasa Asep Samuh, kejujuran bahasa tubuh ini ditulis Anna Joskolka dalam sebuah buku, The Picture Book of Body Language. Joskolka menegaskan kejujuran bahasa tubuh itu dalam anak judul bukunya, “The Only Language in which people Can’t Lie”. Kejujuran dapat dilihat dalam bahasa tubuh para pelakunya, bukan semata-mata dari ungkapan verbal yang kerap hanya bisa mengundang perdebatan.
Rekonstruksi akhir, kiranya tentu akan lebih baik jika persoalan yang tengah melilit bangsa Indonesia segera diselesaikan. Tanda tanya masyarakat terhadap berbagai kasus di negeri ini perlu segera diakhiri. Pemerintah harus segera melakukan klarifikasi, terutama untuk memberikan kepastian hukum dan informasi sebagai bagian dari pembelajaran politik masyarakat. Jika tidak, hal ini akan membekas pada memori politik masyarakat Indonesia sehingga dapat mendorong sikap apatis yang berakibat pada disintegrasi bangsa. Wallahu a’lam.



Dimuat di Koran Duta Masyarakat 22 Februari 2012

No comments:

Post a Comment