Dalam pidato
politik tanggal 10 Oktober 1933, salah satu faunding fathers kita, Muhammad
Hatta, mengatakan bahwa politik kemakmuran tidak akan mengurai dengan apa kita
dapat hidup, tetapi dengan berapa jiwa manusia mestinya kita dapat hidup
selamat. Politik kemakmuran senantiasa mesti ditujukan supaya tercapai kenaikan
standar penghidupan bagi rakyat karena syarat hidup tidak cukup kalau orang
hanya dapat makan supaya jangan mati (Muhammad Hatta, 1953:261).
Manusia pada
dasaranya memiliki cita-cita dan keinginan hidup yang tinggi. Alfred Marshall,
pakar ekonomi Inggris, dalam bukunya Principles
of Ekonomics mengatakan bahwa kemajuan dalam perhiasan hidup akan
meninggalkan standar penghidupan, dan kalau hal ini yang terjadi maka keadaan
ekonomi rakyat akan bertambah baik.
Faktanya
sekarang, pemerintah dalam panggung sejarah Indonesia
mengharuskan kita untuk menerima kenyataan bahwa pertarungan dan perebutan
kekuasaan yang terjadi mengakibatkan kelalaian dan tugas suci untuk melayani
publik. Pemerintah lebih senang mengurus partainya masing-masing,
daripada memikirkan nasib rakyat kecil yang tertindas oleh jiwa zamannya
(zeitgest). Coba kita perhatikan disekitar kita,
berapa upah buruh yang dizalimi para pengusaha nakal, pedagang kaki lima yang
diusir paksa, petani yang gagal panen, nelayan yang susah melaut karena solar
mahal, harga-harga yang semakin membumbung tinggi ke langit dan
kaum miskin kota yang tiap tahun bertambah.
Sekarang pemimpin negera kita lebih senang curhat mengenai manuver-manuver
politik oleh lawan-lawan politiknya. Rupanya propaganda politik terhadap SBY
tersebut cukup berhasil. Setidaknya ini terlihat dari hasil Lembaga Survei
Indonesia (LSI) yang menyatakan bahwa citra SBY melorot turun secara
signifikan. Dalam survei yang dilakukan pada kurun waktu 1-7 Juni
2011, tingkat kepuasan masyarakat atas kinerja SBY turun 9% dari 56,7% (hasil
survey periode Januari 2011) menjadi 47,7%. Survei LSI tersebut dilakukan
secara nasional dengan metode multi-stage random sampling dengan 1.200
responden yang dipilih secara acak di 33 provinsi dengan margin of erros 2,9
(www.lsi.or.id).
Terlepas dari
hasil survei tersebut, memang saat ini citra SBY sedang redup. Merosotnya
kepuasaan atas kinerja SBY ini diindikasikan atas berbagai dinamika yang
terjadi, baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun hukum. Yang menarik, bidang
politik dan hukumlah yang menjadi sorotan atas penurunan citra SBY tersebut. Di
antaranya, banyak kasus korupsi yang tidak jelas juntrungnya. Dari masalah
Kasus Bailout Bank Century yang semakin tenggelam hingga, yang terbaru, kasus
suap di Sekmenpora berkaitan dengan pembangunann Wisma Atlet SEA Games di
Palembang yang diduga melibatkan para pejabat teras Partai Demokrat (PD).
Di satu sisi SBY dalam forum terbuka selalu berjanji akan memimpin sendiri
perang terhadap korupsi, namun di sisi lain ketika ada kasus korupsi yang
hinggap di rumahnya sendiri (baca: Partai Demokrat), SBY seolah lemah, tidak
berdaya menghadapinya.
Pseudo Politik Gaya Baru
Dalam buku saku Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berjudul Panduan untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa pemberian hadiah (gratifikasi) kepada penyelenggara negara dan berhubungan dengan jabatannya, jika tidak dilaporkan ke KPK, menjadi salah satu bentuk tindak pidana korupsi. Menurut catatan Pacific Economic and Risk Concultacy (PERC), pada 2005 silam Indonesia menempati urutan pertama sebagai negara terkorup di wilayah Asia. Korupsi sudah menjadi penyakit akut dan harus dibasmi sampai ke akarnya.
Dalam buku saku Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berjudul Panduan untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa pemberian hadiah (gratifikasi) kepada penyelenggara negara dan berhubungan dengan jabatannya, jika tidak dilaporkan ke KPK, menjadi salah satu bentuk tindak pidana korupsi. Menurut catatan Pacific Economic and Risk Concultacy (PERC), pada 2005 silam Indonesia menempati urutan pertama sebagai negara terkorup di wilayah Asia. Korupsi sudah menjadi penyakit akut dan harus dibasmi sampai ke akarnya.
Konferensi Tahunan Advokat
Internasional, International Bar Association (IBA) Annual Conference 2011, di
Dubai, Uni Emirat Arab, membahas gerakan bersama memerangi penyuapan, korupsi,
dan pencucian uang. Di situ, advokat sedunia pun membangun kesadaran bahwa
korupsi sangat menyengsarakan rakyat. Hoyer E Mayer, Wakil Ketua Komisi
Antikorupsi IBA, menyatakan, sanksi apa pun bagi pelaku korupsi harus gencar
dipublikasikan sehingga lebih banyak orang yang mengetahuinya. Hal ini akan
memberikan efek malu bagi pelakunya (Kompas, 07/11/11).
Nah, di Indonesia, dalam kasus
Nasarudin, SBY hingga kini belum mengeluarkan jurus pamungkasnya terkait
masalah hukum. Dalam posisinya sebagai Dewan Pembina Parta Demokrat, setidaknya
SBY harus turun tangan. Sebab, jika kasus ini dibiarkan menggelinding bak bola
salju, yang dipertaruhkan bukan saja kehormatan SBY sebagai presiden, namun
juga PD secara institusional.
Hal inilah yang menyebabkan adanya
saling sandera antarelite politik. Lalu pertanyaanya sekarang, di manakah
posisi (kepentingan) rakyat? Apakah para elite politik antikemakmuran rakyat? Apakah
mereka hanya mementingkan pencitraan golongannya masing-masing? Bagaimanakah
nasib generasi penerus bangsa ke depan?
Gaya politik SBY yang serba hati-hati
dan cenderung lamban, seharusnya sudah mulai ditinggalkan. Sebab, alih-alih
untuk pencitraan, hal itu justru membuat masyarakat gregetan. Tak aneh jika
kemudian muncul persepsi sosial bahwa apa yang dilakukan SBY hari-hari ini
hanya bagian dari pseudo politik belaka.
Rasanya kita harus sepakat dengan
argumen-argumen para pakar politik di negeri ini bahwa SBY harus melakukan
terobosan baru (new breakthrough) atau bahkan ledakan besar (big bang) berupa
kebijakan di luar kebiasaan guna menaikkan citra kepemimpinannya. Tidak tebang
pilih dalam proses hukum, menggenjot ekonomi kerakyatan, perluas lapangan
kerja, hubungan internasional yang elegan, dan keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Apabila hal ini tidak dilakukan, pemerintahan SBY tidak
akan happy ending dalam detik-detik akhir pemerintahannya.
Dalam perspektif etika dan budaya
komunikasi, pesan sesuatu komunikasi akan senantiasa berhimpitan secara timbal
balik dengan nilai-nilai budaya yang dianut para pelakunya. Para pelaku
komunikasi pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk tidak berdusta. Ia
terikat pada etika untuk selalu mengatakan bahwa yang benar itu adalah benar,
dan bahwa yang salah itu adalah salah. Jika sewaktu-waktu berdusta, maka
perbuatan dustanya itu akan mendapat perlawanan nurani. Dan pesan perlawanan
ini dapat pula ditangkap lensa nurani melalui isyarat bahasa tubuh, termasuk
makna paralinguistik yang pada umumnya tampak pada raut muka para pelakunya.
Meminjam bahasa Asep Samuh, kejujuran
bahasa tubuh ini ditulis Anna Joskolka dalam sebuah buku, The Picture Book of
Body Language. Joskolka menegaskan kejujuran bahasa tubuh itu dalam anak judul
bukunya, “The Only Language in which people Can’t Lie”. Kejujuran dapat dilihat
dalam bahasa tubuh para pelakunya, bukan semata-mata dari ungkapan verbal yang
kerap hanya bisa mengundang perdebatan.
Rekonstruksi akhir, kiranya tentu akan
lebih baik jika persoalan yang tengah melilit bangsa Indonesia segera
diselesaikan. Tanda tanya masyarakat terhadap berbagai kasus di negeri ini
perlu segera diakhiri. Pemerintah harus segera melakukan klarifikasi, terutama
untuk memberikan kepastian hukum dan informasi sebagai bagian dari pembelajaran
politik masyarakat. Jika tidak, hal ini akan membekas pada memori politik
masyarakat Indonesia sehingga dapat mendorong sikap apatis yang berakibat pada
disintegrasi bangsa. Wallahu a’lam.
Dimuat di Koran Duta Masyarakat 22 Februari 2012
No comments:
Post a Comment