Sunday, July 19, 2015

Kabayan Jadi Walikota Bandung Oleh:Wahyu Iryana

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bandung telah mengantongi empat pasangan walikota dan wakil walikota. Sebut saja pasangan calon walikota Edi Siswandi dan Erwan Setiawan yang diusung oleh Partai Demokrat dan tujuh Partai lain seperti PPP, PKB, dan Hanura, pasangan Ayi Vivananda dengan Nani Rosada dengan bendera PDI Perjuangan dan PAN, M Qurdat Iswara dan Asep Dedi yang diusung Partai Golkar dan 15 partai non parlemen, pasangan Ridwan Kamil dan Oded Muhammad Danial yang didukung PKS dan Gerindra.
Hajat besar masyarakat Kota Bandung tersebut menginspirasi Si Kabayan untuk nimbrung ngilu biung meramaikan pemilihan walikota Bandung. Kabayan identik dengan rakyat jelata yang hidup di tengah garis kemiskinan, sosok Kabayan bisa mewakili masyarakat kaum pinggiran yang hidup serba pas-pasan. Pas mau bayar kontrakan pas kantong lagi kering, pas mau bayar tagihan listrik pas anak minta baju baru. Pokoknya Kabayan adalah sosok nyentrik yang dekat dengan keseharian kita.
Terinspirasi oleh tulisan Kang Tandi Skober, Kere Gemple Kandulane Bale dalam tinjauan filosofis kritis transformatif, penulis tergerak untuk mencoba mengurai kembali  tentang pandangan hidup Kabayan dalam kerangka yang lebih luas mengupas kehidupan keseharian masyarakat kecil dalam upaya merebut kuasa yang tak kunjung datang.
Kabayan berupaya keras dengan memandang esensi kelahirannya ke muka bumi. Apa yang diperjuangkan Kabayan untuk menjadi pemimpin adalah suatu kewajaran sebagai manusia didasarkan pada hukum kodrat. Setiap individu dimanapun dia dilahirkan adalah mahluk yang sama oleh karenanya setiap manusia memiliki hak yang sama dalam hidup. Logika yang dipakai manusia kebanyakan seperti halnya Kabayan itulah yang melandasi lahirnya Declaration of Human Right, Logika Kabayan pula yang mendasari klaim internasional atas hak asasi manusia, sebagai hak dasar yang dibawa sejak lahir.
Bandung sebagai bagian tak terpisahkan dari ruang gerak Kabayan tidaklah merujuk pada komunitas etnis, tetapi ia merupakan hasil hubungan etnis. Hubungan dari proses pengidentifikasian simbol-simbol. Masyarakat etnis seperti Kabayan perlu diberdayakan lewat kebebasan berorganisasi dalam mengeksplorasi narasi-narasi keberagaman yang selama ini sesak bernafas. Kita ambil contoh, misalnya dengan menggali unsur-unsur kepemimpinan yang baik, mengangkat kembali perjuangan para pahlawan-pahlawan di tingkat lokal yang bertahun-tahun dikelabui oleh selubung kekuasaan, ataupun sepak terjang perjuangan perempuan. Sejauh apa falsafah Kabayan mengembangkan hidup yang equal terhadap dunia luar bisa digali lewat narasi-narasi yang selama ini selalu dinina-bobokan.
 Si Kabayan yang hidup di bawah garis kemiskinan sering dianggap sebagai korban krisis politik, ekonomi, bahkan sosial pasca Perang Bratayuda (pemilihan kepala daerah) entah siapa yang keluar sebagai pemenangnya, tetap saja yang namanya perang pasti rakyat kecil yang jadi korban.
Kabayan sebagai masyarakat agraris yang hidup menyatu dengan alam selalu berharap hidupnya akan berubah setelah era reformasi, namun apa hendak dikata bagaikan punduk merindukan bulan. Harapan Kabayan yang menginginkan kesejahtraan hidup belum juga terwujud. Kabayan selalu mengingat wejangan para ajengan, untuk saling tolong menolong silih asah, silih asih, silih asuh agar terwujud kerukunan antar sesama untuk mewujudkan persatuan yang tak terpisahkan. Saling bersilaturahmi, temu rasa dan jumpa wajah, saling tolong menolong, saling menitipkan diri, budi, akal pada setiap manusia dimanapun dia berada. (Guk-guk paamprok jongkok, pateupay raray, patepung lawung. Utamana jalma kudu rea batur, keur silih tulungan silih titipkeun nya diri, budi, akal lantaran ti pada jalma).
              Semangat keetnisan dalam budaya Jawa Barat sendiri, misalnya narasi-narasi counter hegemoni bisa diwakili dari tiga hal: budaya pantura dari pesisiran, budaya sunda, dan subvarian Sunda itu sendiri atau budaya yang berkembang dalam sektor-sektor petani seperti petani, buruh makelar atau nelayan dan lain-lain counter hegemonik dari budaya pinggiran memang harus diakui mereaksi feodalisme. Budaya High Culture perlu terbuka terhadap nilai-nilai counter hegemonik, karena hal ini penting bagi survivalitas etnis Sunda secara kolektif. Sunda harus melakukan dekonstruksi nilai-nilainya yang tidak kondusif terhadap demokrasi, tanpa menghilangkan nilai-nilai khasanah kearifan budaya lokal tentunya.
              Dewasa ini, sejak Abah (ayah Iteung) dinobatkan menjadi kepala desa ditambah lagi dengan gejolak semangat otonomi daerah, semangat keetnisan semakin menggebu-gebu di seluruh tanah air, kini kesadaran kesundaan yang menjelma dalam diri Kabayan secara perlahan menyelinap pada sanubari. Setidaknya dalam keinginannya Kabayan mencoba mendaur ulang revitalisasi untuk menyundakan kembali Sunda. Karena akui tidak diakui banyak sekali masyarakat yang satu kampung dengan Kabayan merasakan dan mengalami secara langsung kehidupan yang hakiki. Kabayan lebih memiliki tacit knowledge, daripada pemahamanan objektif yang diperoleh lewat pengamatan dengan mengambil jarak dari objek kajian yang disebut dengan explicit knowledge. Seperti apa yang dipaparkan oleh Prof. A. Chaedar Alwasilah dalam Konfrensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) yang lalu. Kesadaran etnis secara terdidik dalam konteks globalisasi justru merupakan kuantum kesadaran inter-etnis di Kota Bandung.
             Dalam detik-detik sejarah balebet zaman sekarang ini, Kabayan lahir kembali dalam berbagai wajah Ki Sunda. Kabayan yang menuntut keadilan karena masih banyak orang yang mempertahankan tradisi high culture sangat ingin diperhitungkan sebagai keluarga yang terpandang. Walaupun Kabayan telah mengetahui dari para ajengan bahwa tradisi high culture seperti itu dipakai untuk menutup-nutupi kecendrungan penguasa melakukan koropsi, kolusi dan nepotisme. Mentalitas memperkaya diri para penguasa tanpa disadari akan menambah ketidakadilan masyarakat kecil seperti Kabayan.
              Makna demokrasi yang diusulkan Kabayan kepada junjunannya dari mulai tingkat RT, RW, Kepala Desa, Camat, Bupati, Walikota, Gubernur dan Presiden sekali pun menyebabkan kalangan rakyat kelas proletar seperti Kabayan selamanya tidak bisa merasakan nikmatnya suasana hidup di istana. Padahal Kabayan, yang mewakili rakyat jelata sudah siap untuk survival dan bersaing melakukan perubahan nilai tradisinya. Akibatnya kelompok dari low cuture dipandang tidak mampu melestarikan tradisi dan kelompok etnis lain dipandang mengancam komunitasnya. dalam hal ini Kabayan berupaya keras untuk menghindari konflik atau aksi massa untuk melawan junjunannya, Kabayan lebih senang bertani dan bercocok tanam, menggiring kerbau di sawah ataupun mencari ikan di laut dari pada menjadi pejabat negara yang menjadi buronan karena korupsi uang rakyat.
            Kabayan telah berupaya untuk menelisik dan mencoba mengingatkan akan keluhan dirinya dan masyarakat lain yang senasib dengannya untuk mengoreksi kemuraman dan kebuntuan sosial, budaya dan politik, akibat asumsi keliru para elite (junjunan) yang selalu mencoba berbuat egois mengikuti kehendak nafsunya dan menampik kapasitasnya untuk berbagi dan saling merasakan secara rasional.
Bagi Kabayan dan masyarakat-masyarakat yang dimiskinkan oleh zamannya, dapat memajukan kesejahtraan dari anggota-anggotanya dengan cara menerima komitmen sosial, dan mempunyai kehangatan pencerahan seperti kata wong Cerbon; Dlupak murub, mamayu hayuning buwana.


Dipublikasikan Harian Tribun Jabar,  20 Maret 2013

No comments:

Post a Comment