Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bandung telah mengantongi empat pasangan walikota
dan wakil walikota. Sebut saja pasangan calon walikota Edi Siswandi dan Erwan
Setiawan yang diusung oleh Partai Demokrat dan tujuh Partai lain seperti PPP,
PKB, dan Hanura, pasangan Ayi Vivananda dengan Nani Rosada dengan bendera PDI
Perjuangan dan PAN, M Qurdat Iswara dan Asep Dedi yang diusung Partai Golkar
dan 15 partai non parlemen, pasangan Ridwan Kamil dan Oded Muhammad Danial yang
didukung PKS dan Gerindra.
Hajat besar masyarakat Kota Bandung tersebut menginspirasi Si Kabayan untuk
nimbrung ngilu biung meramaikan pemilihan walikota Bandung. Kabayan
identik dengan rakyat jelata yang hidup di tengah garis kemiskinan, sosok Kabayan
bisa mewakili masyarakat kaum pinggiran yang hidup serba pas-pasan. Pas mau
bayar kontrakan pas kantong lagi kering, pas mau bayar tagihan listrik pas anak
minta baju baru. Pokoknya Kabayan adalah sosok nyentrik yang dekat dengan
keseharian kita.
Terinspirasi
oleh tulisan Kang Tandi Skober, Kere
Gemple Kandulane Bale dalam tinjauan filosofis kritis transformatif, penulis tergerak untuk mencoba mengurai kembali
tentang pandangan hidup Kabayan dalam kerangka yang lebih luas mengupas
kehidupan keseharian masyarakat kecil dalam upaya merebut kuasa yang tak kunjung datang.
Kabayan berupaya
keras dengan memandang esensi kelahirannya ke muka bumi. Apa yang diperjuangkan
Kabayan untuk menjadi pemimpin
adalah suatu kewajaran sebagai manusia
didasarkan pada hukum kodrat. Setiap individu dimanapun dia dilahirkan adalah
mahluk yang sama oleh karenanya setiap manusia memiliki hak yang sama dalam
hidup. Logika yang dipakai manusia kebanyakan seperti halnya Kabayan itulah
yang melandasi lahirnya Declaration of
Human Right, Logika Kabayan pula yang mendasari klaim internasional atas hak asasi manusia, sebagai hak dasar yang dibawa sejak lahir.
Bandung sebagai bagian tak terpisahkan dari ruang gerak Kabayan tidaklah merujuk pada komunitas etnis, tetapi ia merupakan hasil hubungan etnis. Hubungan dari proses pengidentifikasian simbol-simbol. Masyarakat etnis seperti Kabayan perlu diberdayakan lewat kebebasan berorganisasi dalam mengeksplorasi narasi-narasi keberagaman yang selama ini sesak bernafas. Kita ambil contoh, misalnya dengan menggali unsur-unsur kepemimpinan yang baik, mengangkat kembali perjuangan para pahlawan-pahlawan di tingkat lokal yang bertahun-tahun dikelabui oleh selubung kekuasaan, ataupun sepak terjang perjuangan perempuan. Sejauh apa falsafah Kabayan mengembangkan hidup yang equal terhadap dunia luar bisa digali lewat narasi-narasi yang selama ini selalu dinina-bobokan.
Bandung sebagai bagian tak terpisahkan dari ruang gerak Kabayan tidaklah merujuk pada komunitas etnis, tetapi ia merupakan hasil hubungan etnis. Hubungan dari proses pengidentifikasian simbol-simbol. Masyarakat etnis seperti Kabayan perlu diberdayakan lewat kebebasan berorganisasi dalam mengeksplorasi narasi-narasi keberagaman yang selama ini sesak bernafas. Kita ambil contoh, misalnya dengan menggali unsur-unsur kepemimpinan yang baik, mengangkat kembali perjuangan para pahlawan-pahlawan di tingkat lokal yang bertahun-tahun dikelabui oleh selubung kekuasaan, ataupun sepak terjang perjuangan perempuan. Sejauh apa falsafah Kabayan mengembangkan hidup yang equal terhadap dunia luar bisa digali lewat narasi-narasi yang selama ini selalu dinina-bobokan.
Si Kabayan
yang hidup di bawah garis kemiskinan sering dianggap sebagai korban krisis
politik, ekonomi, bahkan sosial pasca Perang Bratayuda (pemilihan kepala daerah) entah siapa yang
keluar sebagai pemenangnya, tetap saja yang namanya perang pasti rakyat kecil
yang jadi korban.
Kabayan sebagai
masyarakat agraris yang hidup menyatu dengan alam selalu berharap hidupnya akan
berubah setelah era reformasi, namun apa hendak dikata bagaikan punduk
merindukan bulan. Harapan Kabayan yang menginginkan kesejahtraan hidup belum
juga terwujud. Kabayan selalu mengingat wejangan para ajengan,
untuk
saling tolong menolong silih asah, silih
asih, silih asuh agar terwujud kerukunan antar sesama untuk mewujudkan
persatuan yang tak terpisahkan. Saling bersilaturahmi,
temu rasa dan jumpa wajah, saling tolong menolong, saling menitipkan diri,
budi, akal pada setiap manusia dimanapun dia berada. (Guk-guk paamprok jongkok, pateupay raray, patepung lawung. Utamana
jalma kudu rea batur, keur silih tulungan silih titipkeun nya diri, budi, akal
lantaran ti pada jalma).
Semangat keetnisan dalam
budaya Jawa Barat sendiri, misalnya narasi-narasi counter hegemoni bisa
diwakili dari tiga hal: budaya pantura dari pesisiran, budaya sunda, dan
subvarian Sunda itu sendiri atau budaya yang berkembang dalam sektor-sektor
petani seperti petani, buruh makelar atau nelayan dan lain-lain counter
hegemonik dari budaya pinggiran memang harus diakui mereaksi feodalisme. Budaya
High Culture perlu terbuka terhadap nilai-nilai counter hegemonik, karena hal
ini penting bagi survivalitas etnis Sunda secara kolektif. Sunda harus melakukan dekonstruksi
nilai-nilainya yang tidak kondusif terhadap demokrasi, tanpa menghilangkan
nilai-nilai khasanah kearifan budaya lokal tentunya.
Dewasa
ini, sejak Abah (ayah Iteung) dinobatkan
menjadi kepala desa ditambah lagi dengan
gejolak semangat otonomi daerah, semangat keetnisan semakin menggebu-gebu di
seluruh tanah air, kini kesadaran kesundaan yang menjelma dalam diri Kabayan
secara perlahan menyelinap
pada sanubari. Setidaknya dalam keinginannya Kabayan
mencoba mendaur ulang revitalisasi untuk menyundakan kembali Sunda. Karena akui
tidak diakui banyak sekali masyarakat yang satu kampung dengan Kabayan merasakan
dan mengalami secara langsung kehidupan yang hakiki. Kabayan lebih memiliki tacit knowledge, daripada pemahamanan
objektif yang diperoleh lewat pengamatan dengan mengambil jarak dari objek
kajian yang disebut dengan explicit
knowledge. Seperti apa yang dipaparkan oleh Prof. A. Chaedar Alwasilah dalam Konfrensi Internasional Budaya
Sunda (KIBS) yang lalu. Kesadaran etnis secara
terdidik dalam konteks globalisasi justru merupakan kuantum kesadaran inter-etnis
di Kota Bandung.
Dalam
detik-detik sejarah balebet zaman sekarang ini, Kabayan lahir kembali dalam
berbagai wajah Ki Sunda. Kabayan yang menuntut keadilan karena masih banyak
orang yang mempertahankan tradisi high
culture sangat ingin diperhitungkan sebagai keluarga yang terpandang.
Walaupun Kabayan telah mengetahui dari para ajengan bahwa tradisi high culture
seperti itu dipakai untuk menutup-nutupi kecendrungan penguasa melakukan koropsi,
kolusi dan nepotisme. Mentalitas
memperkaya diri para penguasa tanpa
disadari akan menambah ketidakadilan masyarakat kecil seperti Kabayan.
Makna
demokrasi yang diusulkan Kabayan kepada junjunannya dari mulai tingkat RT,
RW, Kepala Desa, Camat,
Bupati, Walikota, Gubernur dan Presiden sekali pun menyebabkan kalangan rakyat kelas
proletar seperti Kabayan selamanya tidak bisa merasakan nikmatnya suasana hidup
di istana. Padahal Kabayan, yang mewakili rakyat jelata
sudah siap untuk survival dan bersaing melakukan
perubahan nilai tradisinya. Akibatnya kelompok dari low cuture dipandang tidak mampu melestarikan tradisi dan kelompok
etnis lain dipandang mengancam komunitasnya. dalam hal ini Kabayan berupaya
keras untuk menghindari konflik atau aksi massa untuk melawan junjunannya, Kabayan
lebih senang bertani dan bercocok tanam, menggiring kerbau
di sawah ataupun
mencari ikan di laut dari pada menjadi pejabat negara yang menjadi buronan
karena korupsi uang rakyat.
Kabayan telah
berupaya untuk menelisik dan mencoba mengingatkan akan keluhan dirinya dan
masyarakat lain yang senasib dengannya untuk mengoreksi kemuraman dan kebuntuan
sosial, budaya dan politik, akibat asumsi keliru para elite (junjunan) yang selalu mencoba berbuat
egois mengikuti kehendak nafsunya dan menampik kapasitasnya untuk berbagi dan
saling merasakan secara rasional.
Bagi Kabayan dan
masyarakat-masyarakat yang dimiskinkan oleh zamannya, dapat memajukan
kesejahtraan dari anggota-anggotanya dengan cara menerima komitmen sosial, dan
mempunyai kehangatan pencerahan seperti kata wong Cerbon; Dlupak murub, mamayu hayuning buwana.
Dipublikasikan Harian Tribun Jabar, 20 Maret 2013
No comments:
Post a Comment