Sunday, July 19, 2015

Keadilan Berbangsa Oleh: Wahyu Iryana

Mengakuti proses pemberitaan di media masa tentang kasus pengrusakan dan penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiah Indonesia, menggugah rasa miris penulis. Maraknya kekerasan yang berbuntut dari konflik sara perlu segera disikapi serius oleh pemerintah, pada masa krisis nasionalisme dewasa ini, penulis mengeja gejala gerakan radikalisme dan sikap main hakim sendiri adalah dampak dari kurangnya rasa kesadaran bangsa yang berbhineka tunggal ika sebagai pernyataan kolektif para pendiri negeri, sehingga menghakimi saudara sebangsa menjadi pemandangan yang biasa. Pelajaran sejarah dapat ditarik dari napak tilas perjalan hidup sang kiai desa, sekaliber Gusdur yang pernah menyatakan “Tuhan tidak perlu dibela tetapi mereka yang tertindas yang harus kita bela.”
Kasus pengrusakan Jamaat Ahmadiah di Tasikmalaya, di Parung Bogor, dan di Kuningan, termasuk hak suara politik warga Ahmadiah di NTB adalah sepenggal kasus ketidakadilan bagi kaum minoritas yang perlu mendapat perlindungan sebagai manusia. Terlepas benar dan salah faktanya sekarang, elite dalam panggung sejarah Indonesia mengharuskan kita untuk menerima kenyataan bahwa pertarungan dan perebutan kekuasaan yang terjadi mengakibatkan kelalaian dan tugas suci untuk melayani publik. Para elite lebih senang membicarakan jumlah proyek tiap tahun, bahkan dalam hitungan bulan, daripada memikirkan nasib rakyat kecil yang tertindas oleh jiwa zamannya (zeitgest), tindak kekerasan dan pengrusakan atas nama sara, upah buruh yang dizalimi para pengusaha nakal, pedagang kaki lima yang digusur paksa, petani yang gagal panen, nelayan yang susah melaut karena solar mahal adalah “PR” besar pemerintah.
Rasanya kita harus sepakat dengan argumen-argumen para pakar politik di negeri ini bahwa pemerintah harus melakukan terobosan baru (new breakthrough) atau bahkan ledakan besar (big bang) berupa kebijakan di luar kebiasaan. Tidak tebang pilih dalam proses hukum, menggenjot ekonomi kerakyatan, meredam dan mengatasi konflik sara, perluas lapangan kerja, hubungan internasional yang elegan demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam perspektif etika dan budaya komunikasi, pesan sesuatu komunikasi akan senantiasa berhimpit secara timbal balik dengan nilai-nilai budaya yang dianut para pelakunya. Para pelaku politik pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk tidak berdusta. Ia terikat pada etika untuk selalu mengatakan bahwa yang benar itu adalah benar, dan bahwa yang salah itu adalah salah. Jika sewaktu-waktu berdusta, maka perbuatan dustanya itu akan mendapat perlawanan nurani rakyat. Dan pesan perlawanan ini dapat pula ditangkap lensa nurani melalui isyarat bahasa tubuh, termasuk makna paralinguistik yang pada umumnya tampak pada raut muka para pelaku tindak kekerasan.
Dialog Keagamaan
Meminjam Istilah Emha Ainun Nadjib bahwa agama kini sedang digadang-gadang memprioritaskan visi untuk memperbaiki masa depan umat manusia, khususnya di Indonesia. Ia bagaikan pelita kecil dihiruk-pikuk kelalaian buramnya wajah kehidupan dunia. Kecemasan para ilmuan pemerhati sejarah terhadap keseluruhan hidup berbangsa di negeri kita dari mulai soul kemanusiaan di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan serta muatan perilaku sejarah ummat manusia, akhirnya semuanya bersandar pada muara peran agama. Dan mau tidak mau ini harus dipikul bersama agar rasa berat tidak dirasa oleh salah satu dari kita karena sesungguhnya manusia itu sendiri yang menjadi objek dari problem di negara ini. Di dalam kenyataan sejarah, ketika alam pikiran dan alam perilaku manusia telah sedemikian jauh mengalami pemiskinan dari apa yang secara potensial sebenarnya bisa digali dari agama. Namun yang harus diingat agama bukan ritus-ritus dan simbol-simbol untuk membidani lahirnya super hero pembebas untuk mengentaskan problem yang ada di negeri ini.(Emha Ainun Najib, 1995:115-121).
Meningkatnya absolutisme korupsi dalam elite penguasa, berbarengan dengan sikap hedonisme, melonggarnya keberpihakan terhadap rakyat, Maraknya aksi kekerasan, konflik sara dan dari semua itu kemudian akan bermuara pada meningkatnya disintegrasi sosial dan politik. Di sinilah perlunya revitalisasi dengan melakukan koreksi total terhadap berbagai aspek budaya peradaban. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah agama-agama yang diakui di Indonesia secara konstitusional atau organisasi yang bernafaskan keagamaan cukup serius dan sungguh-sungguh untuk melakukan koreksi total tersebut? Jika tidak, proses disintegrasi sosial dan politik di Indonesia akan terbuka lebar dan semakin sulit diatasi.
Belum terwujudnya kontrol sosial yang menyeluruh dalam lapisan masyarakat mengharuskan setiap individu dalam bingkai keanekaragaman berbangsa, harus sadar akan pentingnya kesamaan visi keadilan di negeri ini. Di lain pihak jika agama tidak mempunyai fungsi vital dalam proses penyegeraan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, sementara hampir semua mata rakyat Indonesia melihat bahwa proses mengawal reformasi masih merupakan babak baru dalam mengubah haluan sejarah perpolitikan, maka dalam jangka panjang agama akan kehilangan legitimasinya untuk berperan dalam politik apabila agama-agama tidak mampu menggenggam arah perjuangan bangsa yang diinginkan rakyat Indonesia.
Meminjam konsep Robert Hafner (1998) Democratic Civility bahwa untuk mengatur jalannya pemerintahan, negara harus kuat tetapi sekaligus self-limiting dalam arti tidak memonopoli seluruh kekuasaan masyarakat dan sekaligus menguasai sumber daya alam dan sumber daya manusia. Diperlukan pengembangan budaya politik yang pro rakyat, yang mampu mewadahi orientasi politik para pemimpin dan warga negara. Karena seperti dikemukakan Hafner, pengembangan keadaban demokratis sangat tergantung pada perubahan dan penyesuaian kultural dan institusional. Jangan sampai kemudian agama menjadi instrumen partikularistik gerakan-gerakan agama dan kebangkitan kelompok, yang kemudian mendapatkan angin segar dari suara-suara internasional yang menginginkan perpecahan di dunia Islam. Hal ini yang diperlukan oleh negara, agar agama dijadikan perekat pada level society. Jika perekat itu hilang dan diganti oleh ikatan kepentingan salah satu golongan, maka konsep kenegaraan yang memiliki budaya democratic civility akan lenyap secara perlahan.
Dilema atas ambiguitas keberagaman tersebut di atas harus terus menerus diperbaiki. Karena untuk membuat bangsa Indonesia bangkit dari keterpurukan, selain kesalehan sosial yang harus dibangun, juga kesalehan struktural yang terkait erat dengan sistem dan penyelenggaraan bernegara. Momentum menegakkan kesalehan struktur tentu saja sangat tepat untuk konteks saat ini. Karena dalam catatan Transparancy International Indonesia (TII) yang membeberkan data tentang indeks persepsi korupsi Indonesia tahun 2012, belum mengalami perubahan yang signifikan. Indonesia menduduki peringkat 100 dari 178 negara korup di dunia dengan Indek Persepsi Korupsi (IPK) sebesar 3,0.
Rekonstruksi akhir, kiranya tentu akan lebih baik jika persoalan yang tengah melilit bangsa Indonesia segera diselesaikan. Tanda tanya masyarakat terhadap berbagai kasus di negeri ini perlu segera diakhiri. Pemerintah harus bersikap tegas, terutama untuk memberikan perlindungan hukum warganya yang tertindas, mendamaikan dan memberikan ketenangan dalam menjalankan hidup. Jika tidak, hal ini akan menambah potret buram wajah bangsa. Wallahu a’lam.
.
.
 Dipublish Tribun Jabar, Rabu 29 Mei 2013

No comments:

Post a Comment