Mengakuti proses
pemberitaan di media masa tentang kasus pengrusakan dan penyerangan terhadap
Jemaat Ahmadiah Indonesia, menggugah rasa miris penulis. Maraknya kekerasan
yang berbuntut dari konflik sara perlu segera disikapi serius oleh pemerintah,
pada masa krisis nasionalisme dewasa ini, penulis mengeja gejala gerakan
radikalisme dan sikap main hakim sendiri adalah dampak dari kurangnya rasa
kesadaran bangsa yang berbhineka tunggal ika sebagai pernyataan kolektif para
pendiri negeri, sehingga menghakimi saudara sebangsa menjadi pemandangan yang
biasa. Pelajaran sejarah dapat ditarik dari napak tilas perjalan hidup sang
kiai desa, sekaliber Gusdur yang pernah menyatakan “Tuhan tidak perlu dibela tetapi mereka yang tertindas yang harus kita
bela.”
Kasus
pengrusakan Jamaat Ahmadiah di Tasikmalaya, di Parung Bogor, dan di Kuningan,
termasuk hak suara politik warga Ahmadiah di NTB adalah sepenggal kasus
ketidakadilan bagi kaum minoritas yang perlu mendapat perlindungan sebagai
manusia. Terlepas benar dan salah faktanya sekarang, elite dalam panggung
sejarah Indonesia mengharuskan kita untuk menerima kenyataan bahwa pertarungan
dan perebutan kekuasaan yang terjadi mengakibatkan kelalaian dan tugas suci
untuk melayani publik. Para elite lebih senang membicarakan jumlah proyek tiap
tahun, bahkan dalam hitungan bulan, daripada memikirkan nasib rakyat kecil yang
tertindas oleh jiwa zamannya (zeitgest),
tindak kekerasan dan pengrusakan atas nama sara, upah buruh yang dizalimi para
pengusaha nakal, pedagang kaki lima yang digusur paksa, petani yang gagal
panen, nelayan yang susah melaut karena solar mahal adalah “PR” besar
pemerintah.
Rasanya kita
harus sepakat dengan argumen-argumen para pakar politik di negeri ini bahwa pemerintah
harus melakukan terobosan baru (new breakthrough)
atau bahkan ledakan besar (big bang)
berupa kebijakan di luar kebiasaan. Tidak tebang pilih dalam proses hukum,
menggenjot ekonomi kerakyatan, meredam dan mengatasi konflik sara, perluas
lapangan kerja, hubungan internasional yang elegan demi keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam perspektif
etika dan budaya komunikasi, pesan sesuatu komunikasi akan senantiasa berhimpit
secara timbal balik dengan nilai-nilai budaya yang dianut para pelakunya. Para
pelaku politik pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk tidak berdusta. Ia
terikat pada etika untuk selalu mengatakan bahwa yang benar itu adalah benar,
dan bahwa yang salah itu adalah salah. Jika sewaktu-waktu berdusta, maka
perbuatan dustanya itu akan mendapat perlawanan nurani rakyat. Dan pesan
perlawanan ini dapat pula ditangkap lensa nurani melalui isyarat bahasa tubuh,
termasuk makna paralinguistik yang pada umumnya tampak pada raut muka para
pelaku tindak kekerasan.
Dialog Keagamaan
Meminjam Istilah
Emha Ainun Nadjib bahwa agama kini sedang digadang-gadang memprioritaskan visi
untuk memperbaiki masa depan umat manusia, khususnya di Indonesia. Ia bagaikan
pelita kecil dihiruk-pikuk kelalaian buramnya wajah kehidupan dunia. Kecemasan
para ilmuan pemerhati sejarah terhadap keseluruhan hidup berbangsa di negeri
kita dari mulai soul kemanusiaan di
bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan serta muatan
perilaku sejarah ummat manusia, akhirnya semuanya bersandar pada muara peran
agama. Dan mau tidak mau ini harus dipikul bersama agar rasa berat tidak dirasa
oleh salah satu dari kita karena sesungguhnya manusia itu sendiri yang menjadi
objek dari problem di negara ini. Di dalam kenyataan sejarah, ketika alam
pikiran dan alam perilaku manusia telah sedemikian jauh mengalami pemiskinan
dari apa yang secara potensial sebenarnya bisa digali dari agama. Namun yang
harus diingat agama bukan ritus-ritus dan simbol-simbol untuk membidani
lahirnya super hero pembebas untuk mengentaskan problem yang ada di negeri ini.(Emha
Ainun Najib, 1995:115-121).
Meningkatnya
absolutisme korupsi dalam elite penguasa, berbarengan dengan sikap hedonisme,
melonggarnya keberpihakan terhadap rakyat, Maraknya aksi kekerasan, konflik
sara dan dari semua itu kemudian akan bermuara pada meningkatnya disintegrasi
sosial dan politik. Di sinilah perlunya revitalisasi dengan melakukan koreksi
total terhadap berbagai aspek budaya peradaban. Pertanyaan selanjutnya adalah,
apakah agama-agama yang diakui di Indonesia secara konstitusional atau organisasi
yang bernafaskan keagamaan cukup serius dan sungguh-sungguh untuk melakukan
koreksi total tersebut? Jika tidak, proses disintegrasi sosial dan politik di
Indonesia akan terbuka lebar dan semakin sulit diatasi.
Belum
terwujudnya kontrol sosial yang menyeluruh dalam lapisan masyarakat
mengharuskan setiap individu dalam bingkai keanekaragaman berbangsa, harus
sadar akan pentingnya kesamaan visi keadilan di negeri ini. Di lain pihak jika
agama tidak mempunyai fungsi vital dalam proses penyegeraan keadilan bagi
seluruh rakyat Indonesia, sementara hampir semua mata rakyat Indonesia melihat
bahwa proses mengawal reformasi masih merupakan babak baru dalam mengubah
haluan sejarah perpolitikan, maka dalam jangka panjang agama akan kehilangan
legitimasinya untuk berperan dalam politik apabila agama-agama tidak mampu
menggenggam arah perjuangan bangsa yang diinginkan rakyat Indonesia.
Meminjam konsep
Robert Hafner (1998) Democratic Civility
bahwa untuk mengatur jalannya pemerintahan, negara harus kuat tetapi sekaligus self-limiting dalam arti tidak
memonopoli seluruh kekuasaan masyarakat dan sekaligus menguasai sumber daya
alam dan sumber daya manusia. Diperlukan pengembangan budaya politik yang pro
rakyat, yang mampu mewadahi orientasi politik para pemimpin dan warga negara.
Karena seperti dikemukakan Hafner, pengembangan keadaban demokratis sangat
tergantung pada perubahan dan penyesuaian kultural dan institusional. Jangan
sampai kemudian agama menjadi instrumen partikularistik gerakan-gerakan agama
dan kebangkitan kelompok, yang kemudian mendapatkan angin segar dari
suara-suara internasional yang menginginkan perpecahan di dunia Islam. Hal ini
yang diperlukan oleh negara, agar agama dijadikan perekat pada level society.
Jika perekat itu hilang dan diganti oleh ikatan kepentingan salah satu
golongan, maka konsep kenegaraan yang memiliki budaya democratic civility akan
lenyap secara perlahan.
Dilema atas
ambiguitas keberagaman tersebut di atas harus terus menerus diperbaiki. Karena
untuk membuat bangsa Indonesia bangkit dari keterpurukan, selain kesalehan
sosial yang harus dibangun, juga kesalehan struktural yang terkait erat dengan
sistem dan penyelenggaraan bernegara. Momentum menegakkan kesalehan struktur
tentu saja sangat tepat untuk konteks saat ini. Karena dalam catatan Transparancy International Indonesia
(TII) yang membeberkan data tentang indeks persepsi korupsi Indonesia tahun
2012, belum mengalami perubahan yang signifikan. Indonesia menduduki peringkat
100 dari 178 negara korup di dunia dengan Indek Persepsi Korupsi (IPK) sebesar
3,0.
Rekonstruksi
akhir, kiranya tentu akan lebih baik jika persoalan yang tengah melilit bangsa
Indonesia segera diselesaikan. Tanda tanya masyarakat terhadap berbagai kasus
di negeri ini perlu segera diakhiri. Pemerintah harus bersikap tegas, terutama
untuk memberikan perlindungan hukum warganya yang tertindas, mendamaikan dan
memberikan ketenangan dalam menjalankan hidup. Jika tidak, hal ini akan
menambah potret buram wajah bangsa. Wallahu
a’lam.
.
.
Dipublish Tribun Jabar, Rabu 29 Mei 2013
No comments:
Post a Comment