Di rumah Semar Kudapawana di
daerah Karang Tumaritis, Desa Pecantilan terdengar ribut-ribut bahwa Cepot
pergi dari rumah. Ketika semar menanyakan kepada Dawala, ia hanya geleng-geleng
kepala. Begitupun ibu Cepot, Dewi Sudiragen yang menangis tidak hentinya,
merasakan kehilangan anak kesayangannya.
Selidik punya selidik,
ternyata Cepot sedang mencari padepokan peguron untuk sabdaguru (menuntut
ilmu), Cepot bercita-cita pengen jadi orang berpangkat seperti gusti Arjuna sebagai
orang yang dianggap berhasil membangun negeri karena mengutamakan pendidikan.
Memang peristiwa penting yang harus disorot dewasa ini adalah tentang maraknya
penerimaan mahasiswa baru dibelbagai peguron. Seperti Peguron Sokalima pimpinan
Rektor Dorna Begawan Sokalima, Peguron Tebala Suket pimpinan Begawan Wanayasa,
Peguron Manikloka pimpinan Rektor Resi Manikmaya dan masih banyak peguron lain
yang tak kalah bagusnya di Negara Amarta yang di pimpin Prabu Yudistira
tersebut.
Cepot yang pergi dari rumah
satu tahun yang lalu, hanya berbekal peluit di tangannya, ia tidak minta uang
saku dari Semar ayahnya, ataupun sebungkus nasi untuk bekal diperjalanan yang
ia minta hanya doa dari Semar dan ibunya Dewi Sudiragen.
Berbekal peluit cepot
mendapatkan uang yang sangat banyak dari jerih payahnya menjadi tukang palkir.
Uangnya ia sisihkan untuk menabung demi cita-citanya masuk peguron yang di
cita-citakan. Maklum, Cepot adalah satu dari sekian banyak orang yang tidak
beruntung di Negeri Amarta. Ayah Cepot hanya berpenghasilan pas-pasan tidak
cukup untuk membiayai sekolah anak-anaknya, bahkan untuk makan sehari-hatipun
sangat sulit.
Cepot yang terlahir dalam
lingkungan keluarga miskin serba kekurangan, telah membuka mata kita semua,
bahwa perjuangan hidup itu harus disertai dengan pengorbanan Jer Besuki Mawa
Bea. pada waktu Cepot masih aktif mengabdi di keraton Amarta mengikuti Semar,
ia telah melakukan terobosan-terobosan yang progresif salah satu yang dilakukan
Cepot ketika berada dilingkungan Keraton Amarta adalah membentuk Desa Siaga,
dan membentuk Forum Silaturahim Rakyat Raja (FSRJ) yang dibentuk pada era akhir
kepemimpinan Pandawa sebagai media komunikasi masyarakat kecil dengan rajanya,
walaupun kemudian Cepot lebih memilih untuk pulang ke desa kelahirannya di
Karang Tumaritis untuk kembali bertani dan berladang, terakhir Cepot
bercita-cita ingin menuntut ilmu kembali.
Zeitgest benar-benar
memberikan persiapan kepada Cepot untuk memenuhi panggilan zamannya Hal
tersebut merupakan bukti apa yang telah dilakukan Cepot merupakan legitimasi
perjuangan rakyat kecil yang ingin mengubah taraf hidupnya menjadi lebih baik.
Dalam nalar kaum pinggirin
seperti Cepot, minimal ada dua arti penting perlunya mengenyam pendidikan dalam
konteks pergumulan dunia pendidikan mutakhir. Pertama, pendidikan adalah wujud
kongkrit dari upaya menggiring masyarakat awam ke ruang wahana pembelajaran
ilmu pengetahuan berkarakter, Selama 32 tahun, rezim Korawa Astina, dunia
pendidikan telah dihegemoni sebagai anak tiri dengan mengurangi anggaran negara
ke Departemen Pendidikan, dampaknya nasib Umar Bakri yang selalu di nomer
duakan, padahal pendidikan adalah ujung tombak lahirnya generasi penerus
bangsa. Ternyata pengebirian dunia pendidikan itu gagal. Menjamurnya
perguron-perguron baru di dunia pendidikan turut menyemarakkan eforia
pendidikan pasca tumbangnya rezim Korawa Astina. Maka, banyak munculnya
peguron-peguron baru dalam ruang public adalah suatu keniscayaan yang sulit
untuk dihindari. Kedua, pendidikan juga berarti partisipasi public dalam rangka
ikut berperan aktif dalam rangka ikut membantu memecahkan persoalan bangsa.
Orang kecil, Seperti Cepot bisa mengenyam dunia pendidikan juga sudah bersyukur,
setidaknya dengan menuntut ilmu (sabdaguru), hidupnya dapat berubah ke arah
yang lebih baik. Permasalahannya sekarang, keinginan orang-orang seperti Cepot
yang mempunyai keinginan tinggi untuk mengubah nasibnya, acapkali paradoksal
dengan realitas pendidikan bangsa saat ini. Terjadi kontradiksi antara aspek
potensial yang hendak dikembangkan dengan aspek riil yang berkembang di
lapangan. Apabila itu yang terjadi cita-cita Cepot untuk menjadi orang
berpangkat seperti junjunannya Raden Arjuna dan Prabu Pandu Dewanata, ibarat
kata hanya punduk merindukan bulan.
Sangat naïf jika ritual
penerimaan mahasiswa baru dijadikan proses ceremony belaka tanpa memberikan
arah yang jelas bagi peserta didik ke depan. Karena itu, layak diingatkan dan
dipertanyakan proses ajang penerimaan mahasiswa baru apabila menyimpang dari
tujuan dan visi pendidikan.
Kewajiban
Menuntut Ilmu
Menuntut ilmu wajib hukumnya
bagi laki-laki dan perempuan, kata-kata gusti Pandawa itu yang selalu ternyiang
dalam diri Cepot. Di lihat dari watak intrinsik maupun realitas di lapangan,
dunia pendidikan adalah variable penting dan harus diintegrasikan ke dalam
proyek-proyek pengembangan yang berkelanjutan.
Dalam konteks masyarakat
kecil, seperti Cepot, kenyataan perlunya rekonstruksi pendidikan untuk memainkan
peran yang urgen dalam mengawal bangsa adalah suatu yang mutlak harus
dilakukan. Dalam pendidikan terdapat pemberdayaan civil society yang dapat
memperkokoh norma-norma karakter berbangsa dalam menstimulasi dan memberikan
nilai positif bagi tumbuh kembangnya ilmu pendidikan yang maju berstandar
internasional. Karena sejatinya partisipasi masyarakat arus bawah terhadap
pendidikan sangat bergantung pada pengetahuan dan pemahaman akan proses-proses,
fungsi, dan peran serta tingkat penghasilan. Seperti penelitian yang dilakukan
oleh Verba (1995) yang dilakukan terhadap masyarakat Amerika menunjukan, warga
yang paling banyak terlibat dalam partisipasi politik adalah mereka dari
kalangan yang menikmati pendidikan lebih baik (better educated classes).
Harus diperhatikan sosok Cepot
bukan hanya bertahan sebagai seorang yang hidup berharap belas kasih orang
lain, namun Cepot juga dari waktu ke waktu berupaya Keras agar hidupnya
berubah, tentunya kea rah yang lebih baik. Masyarakat kecil; seperti Cepot,
akan selalu mendambakan kesejahtaraan hidup untuk mencetuskan gagasan-gagasan
idiologi yang bebas tanpa tedeng aling-aling. Bahwa dalam gagasan pemikirannya,
masyarakat kecil selalu menegaskan semangat kebersamaan, gotong royong dan
prinsip kesatuan silih asah, silih asih, silih asuh. Artinya apa ini semua?
Pada masa krisis nasionalisme dewasa ini, penulis berpendapat bahwa gejala
gerakan radikalisme dan separatisme adalah dampak dari kurangnya rasa kesatuan
dan persatuan bangsa, sehingga gerakan radikalisme tersebut membutuhkan ruang
gerak beremansipasi. Yang dibutuhkan rakayat kecil, seperti Cepot bukan tanda
jasa bukan pula segenggam emas. Namun, keseriusan pemerintah untuk mewujudkan
kedamaian, ketentraman hidup, dan kesejahtraan untuk kejayaan negeri.
Ritual perhelatan penerimaan
mahasiswa baru di berbagai perguron, yang menghadirkan para siswa dari berbagai
daerah yang tujuannya sangat mulia, baiknya harus ditopang dengan penyambutan
yang baik pula, layaknya seorang pengantin. Untuk itu bagaimana media pendidikan
dibelbagai kampus dapat berimplikasi positif bagi perkembangan dunia pendidikan
dalam kerangka yang lebih luas secara bersamaan dengan pengentaskan problem
bangsa yang semakin carut marut. Semua kalangan berharap bahwa dunia pendidikan
dapat menjadi mediasi untuk menyembuhkan sakit yang diderita bangsa ini, menuju
suasana kondusif di segala bidang. Dalam hati Cepot hanya berujar mugi jembar
pangaweruh. Waallahua’lam.
Dipublikasikan Harian Galamedia, Senin, 29 September 2014.
Sukiki mah gawe judul semar munggah haji ser
ReplyDeleteSukiki mah gawe judul semar munggah haji ser
ReplyDelete