Saturday, July 18, 2015

Cepot Sabdaguru Oleh: Wahyu Iryana

Di rumah Semar Kudapawana di daerah Karang Tumaritis, Desa Pecantilan terdengar ribut-ribut bahwa Cepot pergi dari rumah. Ketika semar menanyakan kepada Dawala, ia hanya geleng-geleng kepala. Begitupun ibu Cepot, Dewi Sudiragen yang menangis tidak hentinya, merasakan kehilangan anak kesayangannya.
Selidik punya selidik, ternyata Cepot sedang mencari padepokan peguron untuk sabdaguru (menuntut ilmu), Cepot bercita-cita pengen jadi orang berpangkat seperti gusti Arjuna sebagai orang yang dianggap berhasil membangun negeri karena mengutamakan pendidikan. Memang peristiwa penting yang harus disorot dewasa ini adalah tentang maraknya penerimaan mahasiswa baru dibelbagai peguron. Seperti Peguron Sokalima pimpinan Rektor Dorna Begawan Sokalima, Peguron Tebala Suket pimpinan Begawan Wanayasa, Peguron Manikloka pimpinan Rektor Resi Manikmaya dan masih banyak peguron lain yang tak kalah bagusnya di Negara Amarta yang di pimpin Prabu Yudistira tersebut.
Cepot yang pergi dari rumah satu tahun yang lalu, hanya berbekal peluit di tangannya, ia tidak minta uang saku dari Semar ayahnya, ataupun sebungkus nasi untuk bekal diperjalanan yang ia minta hanya doa dari Semar dan ibunya Dewi Sudiragen.
Berbekal peluit cepot mendapatkan uang yang sangat banyak dari jerih payahnya menjadi tukang palkir. Uangnya ia sisihkan untuk menabung demi cita-citanya masuk peguron yang di cita-citakan. Maklum, Cepot adalah satu dari sekian banyak orang yang tidak beruntung di Negeri Amarta. Ayah Cepot hanya berpenghasilan pas-pasan tidak cukup untuk membiayai sekolah anak-anaknya, bahkan untuk makan sehari-hatipun sangat sulit.
Cepot yang terlahir dalam lingkungan keluarga miskin serba kekurangan, telah membuka mata kita semua, bahwa perjuangan hidup itu harus disertai dengan pengorbanan Jer Besuki Mawa Bea. pada waktu Cepot masih aktif mengabdi di keraton Amarta mengikuti Semar, ia telah melakukan terobosan-terobosan yang progresif salah satu yang dilakukan Cepot ketika berada dilingkungan Keraton Amarta adalah membentuk Desa Siaga, dan membentuk Forum Silaturahim Rakyat Raja (FSRJ) yang dibentuk pada era akhir kepemimpinan Pandawa sebagai media komunikasi masyarakat kecil dengan rajanya, walaupun kemudian Cepot lebih memilih untuk pulang ke desa kelahirannya di Karang Tumaritis untuk kembali bertani dan berladang, terakhir Cepot bercita-cita ingin menuntut ilmu kembali.
Zeitgest benar-benar memberikan persiapan kepada Cepot untuk memenuhi panggilan zamannya Hal tersebut merupakan bukti apa yang telah dilakukan Cepot merupakan legitimasi perjuangan rakyat kecil yang ingin mengubah taraf hidupnya menjadi lebih baik.
Dalam nalar kaum pinggirin seperti Cepot, minimal ada dua arti penting perlunya mengenyam pendidikan dalam konteks pergumulan dunia pendidikan mutakhir. Pertama, pendidikan adalah wujud kongkrit dari upaya menggiring masyarakat awam ke ruang wahana pembelajaran ilmu pengetahuan berkarakter, Selama 32 tahun, rezim Korawa Astina, dunia pendidikan telah dihegemoni sebagai anak tiri dengan mengurangi anggaran negara ke Departemen Pendidikan, dampaknya nasib Umar Bakri yang selalu di nomer duakan, padahal pendidikan adalah ujung tombak lahirnya generasi penerus bangsa. Ternyata pengebirian dunia pendidikan itu gagal. Menjamurnya perguron-perguron baru di dunia pendidikan turut menyemarakkan eforia pendidikan pasca tumbangnya rezim Korawa Astina. Maka, banyak munculnya peguron-peguron baru dalam ruang public adalah suatu keniscayaan yang sulit untuk dihindari. Kedua, pendidikan juga berarti partisipasi public dalam rangka ikut berperan aktif dalam rangka ikut membantu memecahkan persoalan bangsa. Orang kecil, Seperti Cepot bisa mengenyam dunia pendidikan juga sudah bersyukur, setidaknya dengan menuntut ilmu (sabdaguru), hidupnya dapat berubah ke arah yang lebih baik. Permasalahannya sekarang, keinginan orang-orang seperti Cepot yang mempunyai keinginan tinggi untuk mengubah nasibnya, acapkali paradoksal dengan realitas pendidikan bangsa saat ini. Terjadi kontradiksi antara aspek potensial yang hendak dikembangkan dengan aspek riil yang berkembang di lapangan. Apabila itu yang terjadi cita-cita Cepot untuk menjadi orang berpangkat seperti junjunannya Raden Arjuna dan Prabu Pandu Dewanata, ibarat kata hanya punduk merindukan bulan.
Sangat naïf jika ritual penerimaan mahasiswa baru dijadikan proses ceremony belaka tanpa memberikan arah yang jelas bagi peserta didik ke depan. Karena itu, layak diingatkan dan dipertanyakan proses ajang penerimaan mahasiswa baru apabila menyimpang dari tujuan dan visi pendidikan.
Kewajiban Menuntut Ilmu
Menuntut ilmu wajib hukumnya bagi laki-laki dan perempuan, kata-kata gusti Pandawa itu yang selalu ternyiang dalam diri Cepot. Di lihat dari watak intrinsik maupun realitas di lapangan, dunia pendidikan adalah variable penting dan harus diintegrasikan ke dalam proyek-proyek pengembangan yang berkelanjutan.
Dalam konteks masyarakat kecil, seperti Cepot, kenyataan perlunya rekonstruksi pendidikan untuk memainkan peran yang urgen dalam mengawal bangsa adalah suatu yang mutlak harus dilakukan. Dalam pendidikan terdapat pemberdayaan civil society yang dapat memperkokoh norma-norma karakter berbangsa dalam menstimulasi dan memberikan nilai positif bagi tumbuh kembangnya ilmu pendidikan yang maju berstandar internasional. Karena sejatinya partisipasi masyarakat arus bawah terhadap pendidikan sangat bergantung pada pengetahuan dan pemahaman akan proses-proses, fungsi, dan peran serta tingkat penghasilan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Verba (1995) yang dilakukan terhadap masyarakat Amerika menunjukan, warga yang paling banyak terlibat dalam partisipasi politik adalah mereka dari kalangan yang menikmati pendidikan lebih baik (better educated classes).
Harus diperhatikan sosok Cepot bukan hanya bertahan sebagai seorang yang hidup berharap belas kasih orang lain, namun Cepot juga dari waktu ke waktu berupaya Keras agar hidupnya berubah, tentunya kea rah yang lebih baik. Masyarakat kecil; seperti Cepot, akan selalu mendambakan kesejahtaraan hidup untuk mencetuskan gagasan-gagasan idiologi yang bebas tanpa tedeng aling-aling. Bahwa dalam gagasan pemikirannya, masyarakat kecil selalu menegaskan semangat kebersamaan, gotong royong dan prinsip kesatuan silih asah, silih asih, silih asuh. Artinya apa ini semua? Pada masa krisis nasionalisme dewasa ini, penulis berpendapat bahwa gejala gerakan radikalisme dan separatisme adalah dampak dari kurangnya rasa kesatuan dan persatuan bangsa, sehingga gerakan radikalisme tersebut membutuhkan ruang gerak beremansipasi. Yang dibutuhkan rakayat kecil, seperti Cepot bukan tanda jasa bukan pula segenggam emas. Namun, keseriusan pemerintah untuk mewujudkan kedamaian, ketentraman hidup, dan kesejahtraan untuk kejayaan negeri.
Ritual perhelatan penerimaan mahasiswa baru di berbagai perguron, yang menghadirkan para siswa dari berbagai daerah yang tujuannya sangat mulia, baiknya harus ditopang dengan penyambutan yang baik pula, layaknya seorang pengantin. Untuk itu bagaimana media pendidikan dibelbagai kampus dapat berimplikasi positif bagi perkembangan dunia pendidikan dalam kerangka yang lebih luas secara bersamaan dengan pengentaskan problem bangsa yang semakin carut marut. Semua kalangan berharap bahwa dunia pendidikan dapat menjadi mediasi untuk menyembuhkan sakit yang diderita bangsa ini, menuju suasana kondusif di segala bidang. Dalam hati Cepot hanya berujar mugi jembar pangaweruh. Waallahua’lam.


Dipublikasikan Harian Galamedia, Senin, 29 September 2014.

2 comments: