Ditahannya Anas
Urbaningrum mantan ketua umum partai pemenang pemilu oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dan banjir Jakarta menjadi isu yang sedang marak dibincangkan di
belbagai media, pasalnya hal ini merupakan memontum untuk mengganyang lawan
politik. Memanasnya isu politik bukan tanpa sebab, dalam analisis masyarakat
awam sekalipun semuanya akan bermuara pada suksesi pemilu para wakil rakyat dan
pemilihan presiden sebagai orang nomer wahid di negeri ini. Hal inilah yang menyebabkan
adanya saling sandera antar elite politik. Lalu pertanyaanya sekarang, di
manakah posisi (kepentingan) rakyat? Apakah para elite politik anti kemakmuran
rakyat? Apakah mereka hanya mementingkan pencitraan golongannya masing-masing?Maka marilah
kita tonton saja bagaimana ending akhir dari pertunjukan nostalgila politik di
tahun politik ini.
Bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang besar, sejak dahulu sudah berjibaku untuk
berjuang merebut kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan dan sekarang saatnya
untuk mengisi kemerdekaan. Sakang jauh apabila kita membandingkan perjuangan
para faunthing Father dengan para pelaku politik praktis sekarang ini. Bisa
jadi karena jiwa zaman (Zeitgest) yang sudah berbeda. Kegilaan berpolitik di negeri ini terlalu
serius untuk diterjemahkan dalam berbagai dimensi. Ya, tahun 2014 adalah tahun
politik, masyarakat akan disuguhkan dengan pemilihan anggota legislatif dan
pemilihan Presiden.
Bukan mau mencampuri konsep Kang Dede Mariana
mengenai analisis politik di Jawa Barat, untuk itu saya bukan pakarnya. Bukan
mau berbicara mengenai gubahan lansir budaya Sunda Kang Tjetje H. Padmadinata
dalam Menembus Sekat-Sekat Budaya
(2011), untuk itu saya termasuk kaum ignoramus, kami yang tiada tahu suatu
apa.
Penulis memahami
bahwa pembangunan yang kita sedang laksanakan sekarang pada hakekatnya
merupakan proses perubahan sosial (social
chenge) dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Namun dalam
melakukan proses perubahan itu, kita sering kehilangan arah yang menimbulkan
belbagai dampak negatif dalam kehidupan sehari-hari. Sebut aja masalah tata
kota yang semakin semrawut, macet, kriminalitas, pelacuran, apatis, frustasi,
pengangguran, kerusakan alam akibat eksploitasi berlebih, banjir, sampah,
pengangguran, mahalnya biaya rumah sakit dan terjadinya kepincangan ekonomi (pathologi social) antara si kaya dan si
miskin dan sebagainya. Ungkapan tersebut setidaknya mewakili keinginan rakyat
Indonesia sebagai raja dalam pemilu di tahun politik ini.
Manusia pada dasarnya memiliki cita-cita dan keinginan hidup yang
tinggi. Alfred Marshall, pakar ekonomi Inggris, dalam bukunya Principles of Ekonomics mengatakan bahwa
kemajuan dalam perhiasan hidup akan meninggalkan standar penghidupan, dan kalau
hal ini yang terjadi maka keadaan ekonomi rakyat akan bertambah baik. Begitu kiranya yang
masyarakat inginkan seperti dalam ulasan Naskah Siksa Kandang Karasian Yun suda yun suka yun mungguh yun luput. Nya
mana sakitu kahayang jalma sareyana. (ingin sehat, ingin kaya, ingin masuk
suraga, ingin moksa, ya hanya itulah macam keinginan manusia). Inilah
sesungguhnya keinginan mendasar masyarakat setidaknya dari sudut manusia Sunda,
keinginan hidup yang bersifat jasmani dan ruhaniah. Mungkin karena itu pula,
masing-masing calon anggota dewan masih dominan menyoroti aspek kesehatan dan
pendidikan dalam kampanye.
Faktanya sekarang, pemerintah mengharuskan kita untuk menerima kenyataan bahwa pertarungan dan
perebutan kekuasaan yang terjadi mengakibatkan kelalaian dan tugas suci untuk
melayani publik. Pemerintah
lebih senang mengurus partainya masing-masing, daripada memikirkan nasib rakyat kecil yang tertindas oleh jiwa
zamannya (zeitgest). Asep Salahudin (2011) pernah menegaskan bahwa idealnya seorang pemimpin
harus memiliki sifat yang khodimul ummah (pelayan
masyarakat) dalam makna yang tuntas, bukan sekadar wacana. Politik tidak
dimaknai sebagai meraih kekuasaan dengan “menjual” masyarakat, tetapi politik
sebagai katup kebudayaan guna meraih keadaban hidup.
Isu Korupsi
Mengutip data
dari Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia bahwa saat ini ada 21 Gubernur,
7 Wakil Gubernur, 156 Bupati, 46 Wakil Bupati, 41 Wali Kota, dan 20 wakil Wali
Kota terjerat kasus korupsi data ini dimungkinkan akan bertambah. Ditambah lagi
1.221 aparatur negara, 185 sudah menjadi tersangka menunggu vonis hukum, 122
terdakwa, 877 terpidana, 44 orang sebagai saksi kasus korupsi (29/5/2013).
Meningkatnya absolutisme korupsi dalam elite
penguasa, berbarengan dengan sikap hedonisme, melonggarnya keberpihakan
terhadap rakyat, maraknya aksi kekerasan, konflik SARA dan dari semua itu
kemudian akan bermuara pada meningkatnya disintegrasi sosial dan politik. Di
sinilah perlunya revitalisasi dengan melakukan koreksi total terhadap berbagai
aspek budaya peradaban. Proses itu bisa di mulai melalui pembenahan Pemilu yang
lebih serius agar tidak melahirkan pemimpin yang koruptif, warga masyarakat
sebagai pemilih juga harus cerdas dan faham mana calon wakil rakyat dan figur
pemimpin yang layak dipilih untuk menjadi pemimpin lima tahun ke depan.
Belum
terwujudnya kontrol sosial yang menyeluruh dalam lapisan masyarakat
mengharuskan setiap individu dalam bingkai keanekaragaman berbangsa, harus
sadar akan pentingnya kesamaan visi keadilan, karena wong agung di negeri ini tidak mempunyai fungsi vital dalam proses
penyegeraan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, sementara hampir semua mata
rakyat melihat bahwa proses mengawal reformasi masih merupakan babak baru dalam
mengubah haluan sejarah perpolitikan, maka dalam jangka panjang bukan tidak
mungkin pemerintah akan kehilangan legitimasi kebijakan kesejahtraan kolektif.
Dilema atas isu
korupsi harus disikapi serius oleh setiap kandidat wakil dakyat dan calon
pemimpin dalam tema kampanye, karena untuk bangkit dari keterpurukan, selain
kesalehan sosial yang harus dibangun, juga kesalehan struktural yang terkait
erat dengan sistem dan penyelenggaraan bernegara juga harus kuat. Momentum
menegakkan kesalehan struktur tentu saja sangat tepat untuk konteks saat ini.
Karena dalam catatan Transparancy
International Indonesia (TII) yang membeberkan data tentang indeks persepsi
korupsi Indonesia tahun 2012, belum mengalami perubahan yang signifikan.
Indonesia menduduki peringkat 100 dari 178 negara korup di dunia dengan Indek
Persepsi Korupsi (IPK) sebesar 3,0.
Karena sesungguhnya kuasa
politik akan senantiasa berhimpitan secara timbal balik dengan nilai-nilai
budaya yang dianut para pelakunya. Para pelaku politik pada dasarnya memiliki
kecenderungan untuk tidak berdusta. Ia terikat pada etika untuk selalu
mengatakan bahwa yang benar itu adalah benar, dan bahwa yang salah itu adalah
salah. Jika sewaktu-waktu berdusta, maka perbuatan dustanya itu akan mendapat
perlawanan nurani. Dan pesan perlawanan ini dapat pula ditangkap lensa nurani
melalui makna paralinguistik.
Robert Hafner
(1998) Democratic Civility mengatakan
bahwa untuk mengatur jalannya pemerintahan, pemimpin harus kuat sekaligus self-limiting dalam arti tidak
memonopoli seluruh kekuasaan masyarakat sekaligus tidak menguasai sumber daya
alam dan sumber daya manusia. Diperlukan pengembangan budaya politik yang pro
rakyat, yang mampu mewadahi orientasi politik sehat. Karena pengembangan
keadaban demokratis sangat tergantung pada penyesuaian kultural dan
institusional. Selamat bernostalgila politik, mari ciptakan rasa aman, tentram
dan damai.
Dipublish Kabar Cirebon
No comments:
Post a Comment