Sunday, July 19, 2015

Nostalgila Tahun Politik Oleh: Wahyu Iryana

Ditahannya Anas Urbaningrum mantan ketua umum partai pemenang pemilu oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan banjir Jakarta menjadi isu yang sedang marak dibincangkan di belbagai media, pasalnya hal ini merupakan memontum untuk mengganyang lawan politik. Memanasnya isu politik bukan tanpa sebab, dalam analisis masyarakat awam sekalipun semuanya akan bermuara pada suksesi pemilu para wakil rakyat dan pemilihan presiden sebagai orang nomer wahid di negeri ini. Hal inilah yang menyebabkan adanya saling sandera antar elite politik. Lalu pertanyaanya sekarang, di manakah posisi (kepentingan) rakyat? Apakah para elite politik anti kemakmuran rakyat? Apakah mereka hanya mementingkan pencitraan golongannya masing-masing?Maka marilah kita tonton saja bagaimana ending akhir dari pertunjukan nostalgila politik di tahun politik ini.
Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar, sejak dahulu sudah berjibaku untuk berjuang merebut kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan dan sekarang saatnya untuk mengisi kemerdekaan. Sakang jauh apabila kita membandingkan perjuangan para faunthing Father dengan para pelaku politik praktis sekarang ini. Bisa jadi karena jiwa zaman (Zeitgest) yang sudah berbeda.  Kegilaan berpolitik di negeri ini terlalu serius untuk diterjemahkan dalam berbagai dimensi. Ya, tahun 2014 adalah tahun politik, masyarakat akan disuguhkan dengan pemilihan anggota legislatif dan pemilihan Presiden.
 Bukan mau mencampuri konsep Kang Dede Mariana mengenai analisis politik di Jawa Barat, untuk itu saya bukan pakarnya. Bukan mau berbicara mengenai gubahan lansir budaya Sunda Kang Tjetje H. Padmadinata dalam Menembus Sekat-Sekat Budaya (2011), untuk itu  saya termasuk kaum ignoramus, kami yang tiada tahu suatu apa.
Penulis memahami bahwa pembangunan yang kita sedang laksanakan sekarang pada hakekatnya merupakan proses perubahan sosial (social chenge) dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Namun dalam melakukan proses perubahan itu, kita sering kehilangan arah yang menimbulkan belbagai dampak negatif dalam kehidupan sehari-hari. Sebut aja masalah tata kota yang semakin semrawut, macet, kriminalitas, pelacuran, apatis, frustasi, pengangguran, kerusakan alam akibat eksploitasi berlebih, banjir, sampah, pengangguran, mahalnya biaya rumah sakit dan terjadinya kepincangan ekonomi (pathologi social) antara si kaya dan si miskin dan sebagainya. Ungkapan tersebut setidaknya mewakili keinginan rakyat Indonesia sebagai raja dalam pemilu di tahun politik ini.
Manusia pada dasarnya memiliki cita-cita dan keinginan hidup yang tinggi. Alfred Marshall, pakar ekonomi Inggris, dalam bukunya Principles of Ekonomics mengatakan bahwa kemajuan dalam perhiasan hidup akan meninggalkan standar penghidupan, dan kalau hal ini yang terjadi maka keadaan ekonomi rakyat akan bertambah baik. Begitu kiranya yang masyarakat inginkan seperti dalam ulasan Naskah Siksa Kandang Karasian Yun suda yun suka yun mungguh yun luput. Nya mana sakitu kahayang jalma sareyana. (ingin sehat, ingin kaya, ingin masuk suraga, ingin moksa, ya hanya itulah macam keinginan manusia). Inilah sesungguhnya keinginan mendasar masyarakat setidaknya dari sudut manusia Sunda, keinginan hidup yang bersifat jasmani dan ruhaniah. Mungkin karena itu pula, masing-masing calon anggota dewan masih dominan menyoroti aspek kesehatan dan pendidikan dalam kampanye.
Faktanya sekarang, pemerintah mengharuskan kita untuk menerima kenyataan bahwa pertarungan dan perebutan kekuasaan yang terjadi mengakibatkan kelalaian dan tugas suci untuk melayani publik. Pemerintah lebih senang mengurus partainya masing-masing, daripada memikirkan nasib rakyat kecil yang tertindas oleh jiwa zamannya (zeitgest). Asep Salahudin (2011) pernah menegaskan bahwa idealnya seorang pemimpin harus memiliki sifat yang khodimul ummah (pelayan masyarakat) dalam makna yang tuntas, bukan sekadar wacana. Politik tidak dimaknai sebagai meraih kekuasaan dengan “menjual” masyarakat, tetapi politik sebagai katup kebudayaan guna meraih keadaban hidup.
Isu Korupsi
Mengutip data dari Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia bahwa saat ini ada 21 Gubernur, 7 Wakil Gubernur, 156 Bupati, 46 Wakil Bupati, 41 Wali Kota, dan 20 wakil Wali Kota terjerat kasus korupsi data ini dimungkinkan akan bertambah. Ditambah lagi 1.221 aparatur negara, 185 sudah menjadi tersangka menunggu vonis hukum, 122 terdakwa, 877 terpidana, 44 orang sebagai saksi kasus korupsi (29/5/2013).
 Meningkatnya absolutisme korupsi dalam elite penguasa, berbarengan dengan sikap hedonisme, melonggarnya keberpihakan terhadap rakyat, maraknya aksi kekerasan, konflik SARA dan dari semua itu kemudian akan bermuara pada meningkatnya disintegrasi sosial dan politik. Di sinilah perlunya revitalisasi dengan melakukan koreksi total terhadap berbagai aspek budaya peradaban. Proses itu bisa di mulai melalui pembenahan Pemilu yang lebih serius agar tidak melahirkan pemimpin yang koruptif, warga masyarakat sebagai pemilih juga harus cerdas dan faham mana calon wakil rakyat dan figur pemimpin yang layak dipilih untuk menjadi pemimpin lima tahun ke depan.
Belum terwujudnya kontrol sosial yang menyeluruh dalam lapisan masyarakat mengharuskan setiap individu dalam bingkai keanekaragaman berbangsa, harus sadar akan pentingnya kesamaan visi keadilan, karena wong agung di negeri ini tidak mempunyai fungsi vital dalam proses penyegeraan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, sementara hampir semua mata rakyat melihat bahwa proses mengawal reformasi masih merupakan babak baru dalam mengubah haluan sejarah perpolitikan, maka dalam jangka panjang bukan tidak mungkin pemerintah akan kehilangan legitimasi kebijakan kesejahtraan kolektif.
Dilema atas isu korupsi harus disikapi serius oleh setiap kandidat wakil dakyat dan calon pemimpin dalam tema kampanye, karena untuk bangkit dari keterpurukan, selain kesalehan sosial yang harus dibangun, juga kesalehan struktural yang terkait erat dengan sistem dan penyelenggaraan bernegara juga harus kuat. Momentum menegakkan kesalehan struktur tentu saja sangat tepat untuk konteks saat ini. Karena dalam catatan Transparancy International Indonesia (TII) yang membeberkan data tentang indeks persepsi korupsi Indonesia tahun 2012, belum mengalami perubahan yang signifikan. Indonesia menduduki peringkat 100 dari 178 negara korup di dunia dengan Indek Persepsi Korupsi (IPK) sebesar 3,0.
Karena sesungguhnya kuasa politik akan senantiasa berhimpitan secara timbal balik dengan nilai-nilai budaya yang dianut para pelakunya. Para pelaku politik pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk tidak berdusta. Ia terikat pada etika untuk selalu mengatakan bahwa yang benar itu adalah benar, dan bahwa yang salah itu adalah salah. Jika sewaktu-waktu berdusta, maka perbuatan dustanya itu akan mendapat perlawanan nurani. Dan pesan perlawanan ini dapat pula ditangkap lensa nurani melalui makna paralinguistik.

Robert Hafner (1998) Democratic Civility mengatakan bahwa untuk mengatur jalannya pemerintahan, pemimpin harus kuat sekaligus self-limiting dalam arti tidak memonopoli seluruh kekuasaan masyarakat sekaligus tidak menguasai sumber daya alam dan sumber daya manusia. Diperlukan pengembangan budaya politik yang pro rakyat, yang mampu mewadahi orientasi politik sehat. Karena pengembangan keadaban demokratis sangat tergantung pada penyesuaian kultural dan institusional. Selamat bernostalgila politik, mari ciptakan rasa aman, tentram dan damai.

Dipublish Kabar Cirebon

No comments:

Post a Comment