Sejak
ayahnya meninggal dunia, Durahman hidup berdua dengan Emaknya Surti Ngantiwani
sebagai seorang buruh tani. Hanafi ayah Durahman meninggal ketika meluku di sawah. Empat tahun lamanya mereka
berkabung. Ya, memang Hanafi adalah lelaki tangguh dan bertanggungjawab, ia
adalah tulang punggung keluarga, sejak memberanikan diri melamar Surti Ngantiwani
sebagai turunan ningrat Kasultanan Cirebon, ia bertekad selama hidupnya akan
membahagiakan Surti Ngantiwani. Anaknya Syarief Durahman ia sekolahkan sampai
lulus sekolah rakyat selebihnya Durahman habiskan waktu di Pesantren Babakan
Ciwaringin Cirebon asuhan Kiai Sanusi Murid dari pendiri Pesantren Babakan, Ki
Jatira. Asar menjelang Surti Ngantiwani pulang ke rumah dengan membawa segedeng
padi hasil gegemet di sawah Haji
Dulgani. Nampak jelas lelah diwajahnya yang semakin menua. Sifat
kesederhanaannya mencerminkan ciri khas darah biru Kasultanan Cirebon. Ya,
memang Surti Ngantiwani masih memiliki darah biru, sejak menikah dengan Hanafi
seorang petani yang hidup sebagai rakyat biasa darah ningrat Surti Ngantiwani
luntur, mungkin inilah pilihan seorang wanita sejati yang rela hidup sebagai wong cilik. Sudah menjadi pepakem
apabila seorang keluarga keraton wanita menikah dengan pemuda biasa maka darah
ningratnya terhapus dengan sendirinya.
“Mak
kenapa sih hidup kita sengsara, katanya Emak masih keturunan ningrat,” Celetuk
Durahman membuka pembicaraan.
Surti
Ngantiwani tertegun mendengar pertanyaan anaknya, lamunannya menerawang jauh,
terbayang kembali masa-masa kecil di
Kraton Kesultanan, dahulu ia masih dipanggil Nyi Mas Ratu Kusuma Ayu Surti
Ngantiwani Diningrat.
“Cung, hidup iku aja ngoyo, kudu
bersyukur Gusti Allah iku maha weruh lan ngandita”
Jawab Surti Ngantiwani menasehati anaknya.
Tak
ada yang tahu semenjak Durahman pulang dari acara Panjang Jimat malam Muludan Kraton
Kasepuhan ia mendadak menjadi pendiam. Nanar matanya, tidak bisa membohongi ada
kegundahan hati yang disembunyikan. Benar saja, semenjak ia melihat wajah cantik
Putri Sekar Kedaton Sultan Sepuh Cirebon. Durahman selalu mengurung diri
dikamar, terkadang Durahman tertawa-tawa sendiri, selang waktu yang lain bercakap-cakap
dengan bantal guling, persis seperti orang gila.
Durahman
akhirnya memberanikan diri untuk bercerita yang sesungguhnya kepada Emaknya,
bahwa ia sedang mencintai anak dari Sultan Sepuh Cirebon, Putri Sekar Kedaton
yang cantik jelita. Sejak pertemuan dalam acara panjang jimat muludan di Kraton
Kesultanan Cirebon, wajah sang putri selalu mengihasi segala hidupnya, ketika
sedang makan terbayang wajah sang putri, ketika sedang tidur terbayang wajah
sang putri. Durahman selalu ingat rambut panjang sang putri bak mayang terurai,
bibirnya kepundung merekah, pokoknya semua tentang Putri Kedaton Cirebon adalah
surga bagi Durahman.
“Cung,
kamu lagi jatuh cinta? Tiap hari dandan terus, kaya dalang sandiwara Cablek, rambut
leles, clana glombrang persis mirip raja
dangdut. Bicara saja anak mana? Anaknya
Mang Sarman tah, Cucunya Bi Wasniti tah penjual surabi, atau anaknya Mang
Kardipan yang punya gilingan padi?” ”Perkataan Emak menyadarkan lamunan
Durahman.
“Bukan
Mak, anaknya Mang Sarman kakinya pengkor, cucue Bi Wasniti gagu, anaknya Mang
Kardipan bibirnya sumbing”
“Lah
terus sapa cung, biar nanti Emak akan
lamarkan, tenang saja kan kita habis panen padi.”
“Anu
Mak, mmmm Putri Sekar Kedaton Cirebon.”
Surti
Ngantiwani tertegun ia teringat kakeknya, Elang Cerbon yang pernah berucap, “Ndo...Surti
Ngantiwani, walaupun anakmu nanti terlahir di tengah desa yang jauh dari
keraton, anakmu akan tetap menjadi satria pinandita sebab masih ketetesan darah
Sinuhun Kanjeng Sunan Gunung Jati.” Sesaat ucapan Elang Cerbon lenyap, yang nampak
dihadapannya hanyalah wajah Syarief
Durahman.
“Durahman
kalau kamu masih tetap ingin melamar Putri Kedaton Kasepuhan Cirebon, lebih
baik kau pergi dari rumah ini, Emak tidak sudi menjadi ibumu.” Suara Surti
Ngantiwani laksana petir di siang bolong memecah kesunyian. Durahman pun pergi
meninggalkan rumah ngarayana entah
kemana tak tahu rimbanya.
Sementara
di Kraton Cirebon, Sultan Sepuh sedang diseba para pinangeran Kraton. Wajahnya
murung memikirkan Putri kesayanganya yang sakit parah, banyak tabib di datangkan
dari berbagai daerah seperti Rajagaluh, Luragung, Banten, Kawali, Sumedang
Larang, Trowulan, Demak, Sunda Kelapa dan daerah lainnya tetapi tidak ada yang
mampu mengobatinya. Sultan panik karena satu minggu lagi sang putri akan
dinikahkan dengan putra mahkota Kerajaan Paseh.
Sultan
akhirnya mengambil keputusan untuk membuat sayembara siapa yang bisa menyembuhkan
putrinya, apabila ia perempuan akan dijadikan anak, dan apabila laki-laki akan
dinikahkan dengan Putri Sekar Kedaton. Berita pun tersebar luas.
Di
dalam Keraton hilir mudik tamu dari belbagai kerajaan berdatangan, diyakini
mereka adalah orang-orang yang gagal mengikuti sayembara. Di depan gerbang kraton
tampak hulubalang yang beringas. Matanya
memandangi kedatangan Durahman yang berperawakan ceking memakai iket wulung, celana
kombor, baju batik mega mendung dan kain sarung di pinggangnya.
“Pengemis
dilarang masuk” bentak salah satu hulubalang yang tinggi besar.
Ribut
adu mulut di gerbang kraton terdengar sampai ke telinga Sultan. Beliau menanyakan
duduk perkara yang terjadi. Jelas kiranya maksud pemuda yang disangka pengemis
oleh hulubalang berniat untuk ikut sayembara. Setalah dipersilahkan masuk, sang
pemuda meminta segelas air putih, untuk dicampurkan dengan ramuan yang telah ia
racik. sang pemuda meminumkan dua tiga tegukan ke mulut sang putri.
Lima
menit kemudian, keringat dingin keluar dari tubuh sang putri. Ia bangkit dari
tidurnya, sesaat sang putri meminta untuk diantar ke belakang puri keraton.
Sekonyong-konyong sang putri ingin buang air besar.
Sultan
menjadi semakin panik, “Hai pemuda apabila terjadi yang tidak-tidak dengan
putriku kau akan dihukum pancung di alun-alun.” Sultan berkerut kening.
Karena
Sang Putri tidak keluar-keluar dari puri Istana. Sultan semakin gelisah ia
menggap sang pemuda meracun sang putri, karena buang air besar terus menerus.
“Pengawal tangkap pemuda itu.”
“Tunggu,
tunggu sebentar...Pemuda itu telah menyelamatkan nyawa hamba dia tidak
bersalah” Sela sang putri yang baru keluar dari puri keraton.
“Lepaskan
dia prajurit!” Hardik Sultan.
“Kau
pemenang sayembara, anak muda!”
Seminggu
setelah itu datanglah rombongan dari Paseh membawa lamaran yang dahulu sudah
disepakati Sultan Cirebon dengan Kerajaan Paseh. Sudah jatuh tertimpa tangga
pula, kebingungan Sultan semakin menjadi.
“Nak
Mas Durahman saya memohon maaf, karena sebenarnya Putri Sekar Kedaton sudah
saya jodohkan dengan Pangeran Paseh. Sebagai penggantinya silahkan mintalah
apapun keinginanmu, karena nak mas telah menyembuhkan putri saya.”
Dengan
wajah penuh hormat Durahman berucap “Saya hanya orang biasa Kanjeng Sultan,
saya merasa bangga sudah memberikan yang terbaik untuk Kesultanan Cirebon,
hamba tidak meminta apa-apa, saya hanya berdoa semoga Putri Sekar Kedaton hidup
bahagia.”Ucap Durahman sembari memohon pamit.
Indramayu,
13 September 2013.
Keterangan:
Elang:
gelar kebangsawan Keraton Cirebon. Meluku:
Membajak sawah memakai kerbau. Gegemet:Mengais
padi yang tercecer. Ngarayana:
Mengembara.
Kabar Cirebon, 03 Oktober 2013
No comments:
Post a Comment