“Ibuku sayang
masih terus berjalan, meski telapak kaki penuh darah penuh nanah,
seperti udara
kasih yang engkau berikan,
tak mampu ku
membalas .. ibu.”
(Iwan Fals)
Indonesia adalah negeri yang telah
melahirkan sejumlah tokoh perempuan pemberani, yang telah melawanan mati-matian
penjajah asing. Sebut saja Christina Tiahahu, mutiara dari Maluku, Cut Nya
Dien, Cut Mutiah pejuang perlawanan rakyat Aceh. R.A. Kartini “sang pencerah”
dari Jepara, Maria Walandouw Maramis dari Minahasa, Dewi Sartika dari Tatar Pasundan,
dan lain-lain. Bahkan ada tiga orang perempuan yang pernah berkuasa menjadi
kepala negara yaitu Sultanah Sri Ratu Tadjul Alam Syafiatuddin Johan berdaulat
dari Aceh, Keumalahayati yang berpangkat laksamana pemimpin armada laut
kerajaan Aceh dan Siti Aisah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Mereka adalah grandes dames, perempuan-perempuan hebat
yang berperan penting di kancah politik maupun pertemuran. Begitu menonjolnya
peranan perempuan itu sampai-sampai HC Zentgraff, ilmuan Belanda yang meneliti
terhadap perempuan pejuang di tanah rencong, mengatakan bahwa para perempuanlah
yang merupakan “de leidster van het
verzet”. Pemimpin perlawanan.
Para grandes
dames tak gentar mempertaruhkan jiwa dan raga untuk bangsa dan negara.
Kesulitan Belanda menembus benteng pertahanan Aceh salah satunya karena
perlawanan yang dilakukan oleh kaum perempuan seperti Cut Nya Dien. Tokoh
pejuang Aceh ini memilih hidup di dalam hutan dari pada menyerah terhadap
Belanda. Setelah Teuku Umar, suaminya yang kedua meninggal dalam pertempuran 11
Februari 1899, ia bertekad meneruskan perjuangan.
Tokoh perempuan yang di anggap lambang
emansipasi perempuan di Indonesia adalah R.A. Kartini. Sekalipun dalam hal ini
Harsa Bachtiar memberikan kritik dengan mengatakan bahwa “Kita mengambil
Kartini sebagai lambang emansipasi perempuan dari orang-orang Belanda”. Namun,
semasa orde lama sampai sekarang Kartini tetap dijadikan sumber inspirasi
perjuangan, walaupun pidato-pidato Soekarno juga menyebut nama perempuan lain
seperti Sarinah. Asvi Warman Adam berpandangan bahwa penulisan sejarah
perjuangan Kartini bisa dijadikan kritik membangun dengan catatan: Pertama, tidak mengkultuskan Kartini,
walaupun pemikirannya sangat maju. Kartini tetap perempuan biasa dengan segala
keterbatasannya. Kartini tidak melanjutkan sekolahnya ke Batavia atau ke
Belanda, tetapi memutuskan untuk menjadi istri seorang Bupati yang telah
mempunyai tiga istri. Kedua,
hendaknya tetap mempertimbangkan dan memperhatikan perjuangan pahlawan-pahlawan
perempuan lainnya dalam berbagai bidang seperti saja Christina Tiahahu, Cut Nya
Dien, Cut Mutiah, R.A. Kartini, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad
Dahlan, Rangkayo Rasuna Said. Ketiga,
fokus kajian sejarah yang selama ini terbatas kepada orang-orang besar, perlu dilebarkan dengan mengkaji
masyarakat yang lebih luas.
Grandes Dames
Sunda
Bagi sebagian masyarakat Jawa Barat,
tokoh perempuan yang bernama Dewi Sartika mungkin tidak asing. Dewi Sartika
yang lahir pada tanggal 4 Desember 1884 adalah putri pasangan Raden Somanegara
mantan Patih Bandung dan Raden Ayu Raja Permas. Para sejarawan mengatakan bahwa
Dewi Sartika adalah penerus perjuang R.A. Kartini di wilayah Parahyangan.
Pernyataan ini diperkuat oleh Nani Suwondo (1981), “Dewi Sartika bercita-cita seperti Kartini, tetapi tidak tinggal
berangan-angan saja, melaikan segera dilaksanakan cita-cita itu dengan
pengetahuan yang sudah ada padanya.”
Perjuangan Dewi Sartika diawali ketika,
ia mendirikan sekolah perempuan pada tahun 1904 dengan nama “Sakola Istri”
kemudian berubah menjadi “Sakola Kautamaan Istri”. Pada Tahun 1912 ia mampu mendirikan
sembilan sekolah di berbagai kabupaten di daerah Pasundan. Suaminya Raden Agah
Suriawinata memberikan andil untuk perjuangan dan cita-cita Dewi Sartika.
Hingga akhir hidupnya Dewi Sartika selalu bertekad untuk mengembangkan dunia
pendidikan, dan memperjuangkan kepentingan sekolah-sekolah yang dibangunnya
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Seperti penegasan Marianne Katoppo bahwa
pendidikan adalah mengantarkan orang lain dari kungkungan kebodohan, perangkat
prasangka menuju pencerahan dan kejernihan dalam kebijaksanaan hidup. Dan Hal
itu dilakukan oleh Dewi Sartika dengan mendirikan Sakola Kautamaan Istri untuk mengangkat harkat martabat bangsanya. Dewi
Sartika adalah grandes dames Sunda
yang utama.
Kowani
Fundamen perjuangan perempuan yang sudah
dibangun kokoh oleh para grandes dames
yang tampil pada abad ke-19, dilanjutkan oleh generasi sesudahnya dengan mengadakan Kongres Perempuan Indonesia I pada
22-25 Desember 1928 di Yogyakarta, di gedung yang kemudian dikenal sebagai Mandalabhakti Wanitatama. Hasil dari
kongres tersebut salah satunya adalah membentuk Kongres Perempuan Indonesia
(Kowani).
Peristiwa itu dianggap sebagai salah
satu tonggak penting sejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia. Pemimpin
organisasi perempuan dari berbagai wilayah Nusantara berkumpul menyatukan
pikiran dan semangat untuk berjuang menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum
perempuan. Berbagai isu yang saat itu dipikirkan untuk digarap adalah persatuan
perempuan Nusantara. Presiden Soekarno, melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun
1959, menetapkan bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu. Misi diperingatinya
Hari Ibu pada awalnya untuk mengenang semangat dan perjuangan para perempuan
dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini.
Sebelum kemerdekaan, Kongres Perempuan
ikut terlibat dalam pergerakan internasional dan perjuangan kemerdekaan. Setelah
kemerdekaan 17 Agustus 1945, keterlibatan perempuan dalam pemerintahan
Indonesoa ditandai dengan munculnya Maria Ulfah. Pada tahun 1950 ia diangkat
menjadi Menteri Sosial. Tahun 1973 Kowani menjadi anggota penuh International
Council of Women (ICW). ICW berkedudukan sebagai dewan konsultatif kategori
satu terhadap Perserikatan Bangsa-bangsa.
Kini, Hari Ibu di Indonesia diperingati
untuk mengungkapkan rasa sayang dan terima kasih kepada para ibu dengan
ekspresi yang beragam. Pemberian bunga, pesta kejutan bagi para ibu, aneka
lomba masak dan berkebaya, atau membebaskan para ibu dari beban kegiatan
domestik sehari-hari. Itulah kado istimewa buat para ibu sekali dalam setahun.
Namun, inti dari semuanya bukan dalam bentuk seremonial belaka, tetapi
perjuangan kesejahtraan perempuan, persamaan hak-hak antara perempuan dan pria
di segala bidang, penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan, dan juga good
governance tanpa melupakan kodrat
dan fitrahnya sebagai seorang perempuan.
Kasus penyiksaan tenaga kerja wanita
Indonesia di Arab Saudi adalah catatan hitam dalam peringatan hari ibu tahun 2010
ini. Fakta itu menunjukkan bahwa perempuan Indonesia masih harus terus berjuang
keras untuk mendapat perlakuan yang lebih adil. Seperti kutipan syair lagu Iwan
Fals di atas, perjuangan kaum ibu Indonesia hingga saat ini masih penuh darah penuh nanah. Semoga kasus
semacam itu semakin memicu dan memacu perempuan Indonesia untuk lebih mandiri,
bersatu melawan penindasan. Selamat Hari Ibu!
Diterbitkan di Koran Cakra Bangsa
No comments:
Post a Comment