Bukan mau
mencampuri konsep Prof. Dr. Dede Mariana mengenai analisis politik di Jawa
Barat, untuk itu saya bukan pakarnya. Bukan mau berbicara mengenai gubahan
lansir budaya Sunda Kang Tjetje H. Padmadinata dalam Menembus Sekat-Sekat Budaya (2011), untuk itu saya termasuk kaum ignoramus, kami yang tiada tahu suatu apa.
Kendati bukan
orang yang terlahir di tanah Pasundan, namun karena hidup di Bandung walau “emak” saya membesarkan di Pesisir Pantai
Utara Jawa Barat, saya toh ikut nimbrung dan menulis sedikit tentang
pemilihan Calon Legislatif (Caleg). Ini disebabkan saya terinspirasi tulisan
Tandi Skober tentang “Sastrawi Politik’’ yang digubah apik dengan bahasa
energik ala Cirebonan-Dermayon.
Bandung hereudang euy, suara itu spontan keluar dari mulut penjual koran di Bunderan
Cibiru Bandung, menyikapi suasana alam Bandung yang tidak ramah seperti dahulu,
mungkin karena cuaca yang tidak menentu disebabkan polusi udara atau pun
ekspoloitasi alam. Seperti halnya pemilihan wali kota Bandung yang sedang masa
menebar janji-janji atau musim menebar angin surga. Sejak dimulainya pemaparan
visi misi calwakot 6 Juni 2013 kemarin, masing-masing pasangan calon berlomba mencari
simpati warga Bandung, untuk berebut popularitas dan elektabilitas Bandung
satu.
Warga Bandung
tanggal 23 Juni 2013 akan menjadi raja dalam pesta demokrasi memilih wali kota
Bandung. Sebagai pengingat bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bandung telah
mengantongi delapan pasangan wali kota dan wakil wali kota. Sebut saja pasangan
calon wali kota Edi Siswandi dan Erwan Setiawan yang diusung oleh Partai
Demokrat dan tujuh Partai lain seperti PPP, PKB, dan Hanura, pasangan Ayi
Vivananda dengan Nani Rosada dengan bendera PDI Perjuangan dan PAN, M Qurdat
Iswara dan Asep Dedi yang diusung Partai Golkar dan 15 partai non parlemen,
pasangan Ridwan Kamil dan Oded Muhammad Danial yang didukung PKS dan Gerindra.
Ditambah empat pasangan independen yakni Wahyudin Karnadinata dan Tonny
Apriliani, Wawan Dewanta dan HM Sayogo, Budi Setiawan dan Rizal Firdaus,
Bambang Setiadi dan Alex Tahsin Ibrahim.
Penulis memahami
bahwa pembangunan yang kita sedang laksanakan sekarang pada hakekatnya merupakan
proses perubahan sosial (social chenge)
dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Namun dalam melakukan
proses perubahan itu, kita sering kehilangan arah yang menimbulkan belbagai
dampak negatif dalam kehidupan sehari-hari. Sebut aja masalah tata kota yang
semakin semrawut, macet, kriminalitas, pelacuran, apatis, frustasi,
pengangguran, kerusakan alam akibat eksploitasi berlebih, banjir, sampah dan
terjadinya kepincangan ekonomi (pathologi
social) antara si kaya dan si miskin dan sebagainya. Ungkapan tersebut setidaknya
mewakili keinginan masyarakat Bandung sebagai calon pemilih dalam pilwakot,
agar para kandidat pasangan calwakot bisa mengatasi problem kompleks Kota
Bandung.
Manusia pada dasarnya memiliki cita-cita dan keinginan hidup yang
tinggi. Alfred Marshall, pakar ekonomi Inggris, dalam bukunya Principles of Ekonomics mengatakan bahwa
kemajuan dalam perhiasan hidup akan meninggalkan standar penghidupan, dan kalau
hal ini yang terjadi maka keadaan ekonomi rakyat akan bertambah baik. Begitu kiranya
warga Bandung inginkan seperti dalam ulasan Naskah Siksa Kandang Karasian Yun suda yun suka yun mungguh yun luput. Nya
mana sakitu kahayang jalma sareyana. (ingin sehat, ingin kaya, ingin masuk
suraga, ingin moksa, ya hanya itulah macam keinginan manusia). Inilah
sesungguhnya keinginan mendasar masyarakat Bandung, keinginan hidup yang
bersifat jasmani dan ruhaniah. Mungkin karena itu pula, masing-masing calwakot
masih dominan menyoroti aspek kesehatan dan pendidikan dalam kampanye.
Faktanya sekarang, pemerintah mengharuskan kita untuk menerima kenyataan bahwa pertarungan dan
perebutan kekuasaan yang terjadi mengakibatkan kelalaian dan tugas suci untuk
melayani publik. Pemerintah
lebih senang mengurus partainya masing-masing, daripada memikirkan nasib rakyat kecil yang tertindas oleh jiwa
zamannya (zeitgest). Asep Salahudin (2011) pernah menegaskan bahwa idealnya seorang pemimpin
harus memiliki sifat yang khodimul ummah (pelayan
masyarakat) dalam makna yang tuntas, bukan sekadar wacana. Politik tidak
dimaknai sebagai meraih kekuasaan dengan “menjual” masyarakat, tetapi politik
sebagai katup kebudayaan guna meraih keadaban hidup.
Isu Korupsi
Mengutip data
dari Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia bahwa saat ini ada 21 Gubernur,
7 Wakil Gubernur, 156 Bupati, 46 Wakil Bupati, 41 Wali Kota, dan 20 wakil Wali
Kota terjerat kasus korupsi data ini dimungkinkan akan bertambah. Ditambah lagi
1.221 aparatur negara, 185 sudah menjadi tersangka menunggu vonis hukum, 122
terdakwa, 877 terpidana, 44 orang sebagai saksi kasus korupsi (29/5/2013).
Meningkatnya absolutisme korupsi dalam elite
penguasa, berbarengan dengan sikap hedonisme, melonggarnya keberpihakan
terhadap rakyat, maraknya aksi kekerasan, konflik SARA dan dari semua itu
kemudian akan bermuara pada meningkatnya disintegrasi sosial dan politik. Di sinilah
perlunya revitalisasi dengan melakukan koreksi total terhadap berbagai aspek
budaya peradaban. Proses itu bisa di mulai melalui pembenahan Pemilu yang lebih
serius agar tidak melahirkan pemimpin yang koruptif, warga Bandung sebagai
pemilih juga harus cerdas dan faham mana calon wali kota yang layak dipilih
untuk menjadi pemimpin lima tahun ke depan.
Belum
terwujudnya kontrol sosial yang menyeluruh dalam lapisan masyarakat
mengharuskan setiap individu dalam bingkai keanekaragaman berbangsa, harus
sadar akan pentingnya kesamaan visi keadilan, karena wong agung di negeri ini tidak mempunyai fungsi vital dalam proses
penyegeraan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, sementara hampir semua mata
rakyat melihat bahwa proses mengawal reformasi masih merupakan babak baru dalam
mengubah haluan sejarah perpolitikan, maka dalam jangka panjang bukan tidak
mungkin pemerintah akan kehilangan legitimasi kebijakan kesejahtraan kolektif.
Dilema atas isu
korupsi harus disikapi serius oleh setiap pasangan pilwakot Bandung dalam tema
kampanye, karena untuk bangkit dari keterpurukan, selain kesalehan sosial yang
harus dibangun, juga kesalehan struktural yang terkait erat dengan sistem dan
penyelenggaraan bernegara juga harus kuat. Momentum menegakkan kesalehan
struktur tentu saja sangat tepat untuk konteks saat ini. Karena dalam catatan Transparancy International Indonesia
(TII) yang membeberkan data tentang indeks persepsi korupsi Indonesia tahun
2012, belum mengalami perubahan yang signifikan. Indonesia menduduki peringkat
100 dari 178 negara korup di dunia dengan Indek Persepsi Korupsi (IPK) sebesar
3,0.
Sebagai penutup
penulis meminjam konsep Robert Hafner (1998) Democratic Civility bahwa untuk mengatur jalannya pemerintahan,
pemimpin harus kuat sekaligus self-limiting
dalam arti tidak memonopoli seluruh kekuasaan masyarakat dan sekaligus menguasai
sumber daya alam dan sumber daya manusia. Diperlukan pengembangan budaya
politik yang pro rakyat, yang mampu mewadahi orientasi politik sehat. Karena pengembangan
keadaban demokratis sangat tergantung pada penyesuaian kultural dan
institusional. Selamat berkampanye damai, semoga Bandung tetap aman dan
kondusif.
Dipublish Kabar Cirebon
No comments:
Post a Comment