Sunday, July 19, 2015

Bandung Musim Angin Surga Oleh: Wahyu Iryana

Bukan mau mencampuri konsep Prof. Dr. Dede Mariana mengenai analisis politik di Jawa Barat, untuk itu saya bukan pakarnya. Bukan mau berbicara mengenai gubahan lansir budaya Sunda Kang Tjetje H. Padmadinata dalam Menembus Sekat-Sekat Budaya (2011), untuk itu  saya termasuk kaum ignoramus, kami yang tiada tahu suatu apa.
Kendati bukan orang yang terlahir di tanah Pasundan, namun karena hidup di Bandung walau “emak” saya membesarkan di Pesisir Pantai Utara Jawa Barat, saya toh ikut nimbrung dan menulis sedikit tentang pemilihan Calon Legislatif (Caleg). Ini disebabkan saya terinspirasi tulisan Tandi Skober tentang “Sastrawi Politik’’ yang digubah apik dengan bahasa energik ala Cirebonan-Dermayon.
Bandung hereudang euy, suara itu spontan keluar dari mulut penjual koran di Bunderan Cibiru Bandung, menyikapi suasana alam Bandung yang tidak ramah seperti dahulu, mungkin karena cuaca yang tidak menentu disebabkan polusi udara atau pun ekspoloitasi alam. Seperti halnya pemilihan wali kota Bandung yang sedang masa menebar janji-janji atau musim menebar angin surga. Sejak dimulainya pemaparan visi misi calwakot 6 Juni 2013 kemarin, masing-masing pasangan calon berlomba mencari simpati warga Bandung, untuk berebut popularitas dan elektabilitas Bandung satu. 
Warga Bandung tanggal 23 Juni 2013 akan menjadi raja dalam pesta demokrasi memilih wali kota Bandung. Sebagai pengingat bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bandung telah mengantongi delapan pasangan wali kota dan wakil wali kota. Sebut saja pasangan calon wali kota Edi Siswandi dan Erwan Setiawan yang diusung oleh Partai Demokrat dan tujuh Partai lain seperti PPP, PKB, dan Hanura, pasangan Ayi Vivananda dengan Nani Rosada dengan bendera PDI Perjuangan dan PAN, M Qurdat Iswara dan Asep Dedi yang diusung Partai Golkar dan 15 partai non parlemen, pasangan Ridwan Kamil dan Oded Muhammad Danial yang didukung PKS dan Gerindra. Ditambah empat pasangan independen yakni Wahyudin Karnadinata dan Tonny Apriliani, Wawan Dewanta dan HM Sayogo, Budi Setiawan dan Rizal Firdaus, Bambang Setiadi dan Alex Tahsin Ibrahim.
Penulis memahami bahwa pembangunan yang kita sedang laksanakan sekarang pada hakekatnya merupakan proses perubahan sosial (social chenge) dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Namun dalam melakukan proses perubahan itu, kita sering kehilangan arah yang menimbulkan belbagai dampak negatif dalam kehidupan sehari-hari. Sebut aja masalah tata kota yang semakin semrawut, macet, kriminalitas, pelacuran, apatis, frustasi, pengangguran, kerusakan alam akibat eksploitasi berlebih, banjir, sampah dan terjadinya kepincangan ekonomi (pathologi social) antara si kaya dan si miskin dan sebagainya. Ungkapan tersebut setidaknya mewakili keinginan masyarakat Bandung sebagai calon pemilih dalam pilwakot, agar para kandidat pasangan calwakot bisa mengatasi problem kompleks Kota Bandung.
Manusia pada dasarnya memiliki cita-cita dan keinginan hidup yang tinggi. Alfred Marshall, pakar ekonomi Inggris, dalam bukunya Principles of Ekonomics mengatakan bahwa kemajuan dalam perhiasan hidup akan meninggalkan standar penghidupan, dan kalau hal ini yang terjadi maka keadaan ekonomi rakyat akan bertambah baik. Begitu kiranya warga Bandung inginkan seperti dalam ulasan Naskah Siksa Kandang Karasian Yun suda yun suka yun mungguh yun luput. Nya mana sakitu kahayang jalma sareyana. (ingin sehat, ingin kaya, ingin masuk suraga, ingin moksa, ya hanya itulah macam keinginan manusia). Inilah sesungguhnya keinginan mendasar masyarakat Bandung, keinginan hidup yang bersifat jasmani dan ruhaniah. Mungkin karena itu pula, masing-masing calwakot masih dominan menyoroti aspek kesehatan dan pendidikan dalam kampanye.
Faktanya sekarang, pemerintah mengharuskan kita untuk menerima kenyataan bahwa pertarungan dan perebutan kekuasaan yang terjadi mengakibatkan kelalaian dan tugas suci untuk melayani publik. Pemerintah lebih senang mengurus partainya masing-masing, daripada memikirkan nasib rakyat kecil yang tertindas oleh jiwa zamannya (zeitgest). Asep Salahudin (2011) pernah menegaskan bahwa idealnya seorang pemimpin harus memiliki sifat yang khodimul ummah (pelayan masyarakat) dalam makna yang tuntas, bukan sekadar wacana. Politik tidak dimaknai sebagai meraih kekuasaan dengan “menjual” masyarakat, tetapi politik sebagai katup kebudayaan guna meraih keadaban hidup.
Isu Korupsi
Mengutip data dari Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia bahwa saat ini ada 21 Gubernur, 7 Wakil Gubernur, 156 Bupati, 46 Wakil Bupati, 41 Wali Kota, dan 20 wakil Wali Kota terjerat kasus korupsi data ini dimungkinkan akan bertambah. Ditambah lagi 1.221 aparatur negara, 185 sudah menjadi tersangka menunggu vonis hukum, 122 terdakwa, 877 terpidana, 44 orang sebagai saksi kasus korupsi (29/5/2013).
 Meningkatnya absolutisme korupsi dalam elite penguasa, berbarengan dengan sikap hedonisme, melonggarnya keberpihakan terhadap rakyat, maraknya aksi kekerasan, konflik SARA dan dari semua itu kemudian akan bermuara pada meningkatnya disintegrasi sosial dan politik. Di sinilah perlunya revitalisasi dengan melakukan koreksi total terhadap berbagai aspek budaya peradaban. Proses itu bisa di mulai melalui pembenahan Pemilu yang lebih serius agar tidak melahirkan pemimpin yang koruptif, warga Bandung sebagai pemilih juga harus cerdas dan faham mana calon wali kota yang layak dipilih untuk menjadi pemimpin lima tahun ke depan.
Belum terwujudnya kontrol sosial yang menyeluruh dalam lapisan masyarakat mengharuskan setiap individu dalam bingkai keanekaragaman berbangsa, harus sadar akan pentingnya kesamaan visi keadilan, karena wong agung di negeri ini tidak mempunyai fungsi vital dalam proses penyegeraan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, sementara hampir semua mata rakyat melihat bahwa proses mengawal reformasi masih merupakan babak baru dalam mengubah haluan sejarah perpolitikan, maka dalam jangka panjang bukan tidak mungkin pemerintah akan kehilangan legitimasi kebijakan kesejahtraan kolektif.
Dilema atas isu korupsi harus disikapi serius oleh setiap pasangan pilwakot Bandung dalam tema kampanye, karena untuk bangkit dari keterpurukan, selain kesalehan sosial yang harus dibangun, juga kesalehan struktural yang terkait erat dengan sistem dan penyelenggaraan bernegara juga harus kuat. Momentum menegakkan kesalehan struktur tentu saja sangat tepat untuk konteks saat ini. Karena dalam catatan Transparancy International Indonesia (TII) yang membeberkan data tentang indeks persepsi korupsi Indonesia tahun 2012, belum mengalami perubahan yang signifikan. Indonesia menduduki peringkat 100 dari 178 negara korup di dunia dengan Indek Persepsi Korupsi (IPK) sebesar 3,0.

Sebagai penutup penulis meminjam konsep Robert Hafner (1998) Democratic Civility bahwa untuk mengatur jalannya pemerintahan, pemimpin harus kuat sekaligus self-limiting dalam arti tidak memonopoli seluruh kekuasaan masyarakat dan sekaligus menguasai sumber daya alam dan sumber daya manusia. Diperlukan pengembangan budaya politik yang pro rakyat, yang mampu mewadahi orientasi politik sehat. Karena pengembangan keadaban demokratis sangat tergantung pada penyesuaian kultural dan institusional. Selamat berkampanye damai, semoga Bandung tetap aman dan kondusif.

Dipublish Kabar Cirebon 

No comments:

Post a Comment