Ketika
penulis menyambangi rumah dewan suro majelis sastra Bandung Tandi Skober, di
sana sudah ada Ahmad Gibson al-Bustomi (Baba Icon), asap roko yang membumbung
ke langit-langit rumah Tandi Skober seakan berwacana tentang gumpalan ide
Socrates, Plato, Aristoteles hingga Thales, lirih berbisik dengan kidung-kidung
Cerbon Pegot, laras pelong Seribu Masjid Seribu Sujud, mendaras doa-doa Nairem
di tiang gantungan opsir Belanda, meneropong dalam sperma air mata yang dipandu
canda tawa kidung Pantura khas Manukwara
Tandi Skober. Penulis terperanjat sesaat ketika Baba Icon menanyakan pertanggungjawaban akedemis penulis tentang
perjuangan Sunan Gunung Jati yang harus diemban penulis, untuk menyuarakan di
forum-forum resmi atau di media-media sebagai orang yang lahir dari jurusan Sejarah
Peradaban Islam Sunan Gunung Djati, Baba Icon seolah berkata gaung akedemis
Jurusan sejarah Islam yang idealnya harus diemban oleh orang-orang yang lahir
dari almamater yang pernah penulis geluti tidak muncul. Maka dengan itu,
penulis mencoba membuka kembali tabir-tabir khasanah agung Sunan Gunung Djati
sebagai penyebar dakwah Islam di Jawa Barat.
Sunan Gunung Jati yang bernama asli Syarief Hidayatullah
telah memberikan angin segar bagi penyebaran Islam di Tatar Sunda. Legetimasi
politik dan pepayung religi sepenuhnya dimiliki oleh Sunan Gunung jati sebagai
raja pandita di tanah Jawa. Sunan Gunung Jati yang tampil sebagai
pemimpin agama dan politik, telah mengubah sistem dan struktur kenegaraan
pada faham kekuasaan religius.
Sunan
Gunung Jati memiliki genetik darah biru
yang kuat dari Sri Baduga Maharaja atau yang lebih dikenal dengan sebutan Prabu
Siliwangi, pupuhu Kerajaan Pajajaran yang merupakan kerajaan Sunda terbesar di
Nusantara. Apibila diruntut secara vertikal ibu dari Sunan Gunung Djati adalah
Syarifah Mudaim atau Nyi Mas Rarasantang adaah anak Kandung Prabu Siliwangi
dari istri Permaisuri Nyi Subang Larang. Jadi secara legitimasi politik Sunan
Gunung Jati sangat dihormati masyarakat bukan hanya di wilayah pantura tetapi
juga tatar parahyangan. Sunan Gunung
Jati tampil sebagai kepala pemerintahan antara 1479 - 1568 M atau selama
89 tahun, untuk mendukung pemerintahannya, beliau terus membangun sarana
pendukung baik sarana ekonomi, politik maupun agama. Untuk sarana di bidang
agama, Sunan Gunung Jati membangun mesjid (tajug),
yang pembagunannya dibantu oleh dewan wali seperti Raden Sepat sebagai arsitek,
Raden Fatah, Sunan Kalijaga, dan Sunan Ampel.
Cirebon
dijadikan sebagai tempat pusat kegiatan pemerintahan, memang memiliki
kecendrungan wilayah perairan laut yang strategis, proses penyebaran Islam awal
lebih banyak dikisahkan melalui jalur laut. Hal inilah yang menjadi acuan
pengembangan ekonomi, masyarakat pantai Utara Jawa dengan masyrakat luar pulau
jawa, sebut saja Tuban, Pasai, Banten bahkan dari luar negeri seperti Cina,
Mesir, Gujarat (India Selatan), Turki, Baghdad dan negeri-negeri lainnya. Sunan
Gunung Jati mampu memperluas jaringan perdagangan, domistik dan
mancanegara sehingga pertumbuhan ekonomi meningkat tajam. Untuk mendukung
proses perekonomian Sunan Gunung Jati membangun jalan-jalan yang menghubungkan
Kraton Pakungwati dengan pelabuhan Muara Jati. Selain itu. Hal itu diupayakan
sebagai acuan bahan lintasan perdagangan internasional yaitu lintasan
perdagangan jarak jauh (long dintance
trade line) yang dikenal perdagangan Jalur Sutra. Dalam waktu singkat
di bawah kekuasaan Sunan Gunung Jati, Cirebon tumbuh menjadi sebuah kota
metropolis di Wilayah Jawa Barat.
Sumber yang didapat dari Carita Purwaka Caruban
Nagari sendiri menjelaskan selain mengendalikan kekuasaan politik sebagai penguasa kesultanan
Islam Cirebon, Sunan Gunung Jati terus menyebarkan agama Islam ke seluruh
pelosok tatar Sunda. Dalam catatan para sejarawan daerah-daerah yang dijelajahi
oleh Sunan Gunung Jati adalah Ukur Cibaliung (Kabupaten Bandung),
Timbanganten (Kabupaten Garut), Pasir Luhur, Batu Layang, dan Pengadingan
(wilayah Barat dan Selatan Sumedang Larang). Daerah-daerah lain yang berhasil
diislamkan adalah Nagari Talaga, Raja Galuh, Indramayu, Trusmi, Cangkuang dan
Kuningan.
Amanah Sunan Gunung Jati
Misi
dakwah Sunan Gunung Jati sangat lues, bukan hanya dari kalangan para
petinggi dari kerajaan-kerajaan kecil di sepanjang Pantura yang
diislamkan, tetapi juga masyarakat kecil dari semua lapisan. Baik petani,
pedagang, nelayan, tukang dokar, saudagar, syah bandar dan yang lainnya.
Penulis sering mengutip amanah Kanjeng Sunan Gunung Jati “ingsun titip tajug lan fakir miskin” memiliki makna yang dalam,
namun apabila diartikan secara bahasa bermakna saya titipkan tajug (tempat
shalat) dan fakir miskin. Terjemahan yang lebih luas bisa bermakna bahwa Sunan
Gunung Jati dalam kata ‘ingsun titip
tajug” mengajarkan kepada umatnya agar jangan meninggalkan shalat, sebagai
hubungan vertikal kita dengan Sang Maha Pencipta. Sedangkan konsep horizontal
terpatri dalam kata “fakir miskin”, bahwa umat Islam idialnya harus mempunyai
kepekaan terhadap kesadaran sosial terhadap kaum fakir miskin, anak yatim dan
kaum dhuafa. Dalam bahasa yang lebih lugas Sunan Gunung Jati seakan mengajarkan
tentang konsep Hablumminallah dan
Hambuluminannas. Sunan Gunung Jati sebagai umat Nabi Muhammad Saw., tetap
memakai pepayung agama yang ditetapkan Allah dan Rasulnya tentunya landasan Al-Qur’an
dan As-Sunah yang dijadikan patokan dalam berdakwah. Bukan hanya bergelut dalam partikel
kultur lokal saja namun lebih dari itu menembus sekat-sekat budaya yang
terkungkung oleh zaman. Sunan Gunung Jati telah mampu memberikan profit yang
optimal bagi kelangsungan perkembangan Islam di masa yang akan datang. Terbukti
dengan berkembangnya Islam di Jawa Barat, hampir 89% masyarakat Jawa Barat
beragama Islam.
Kita bisa melakukan napak tilas proses penyebaran Islam yang dilakukan
oleh Sunan Gunung Jati dalam menyebarkan agama Islam di Jawa Barat khususnya. Perjalan tapak tilas bisa kita awali dengan wisata
ziarah ke Makam Sunan Gunung Jati di Desa Astana Cirebon, kemudian bisa melanjutkan perjalanan ke Kraton
Kanoman, Pejambon dan Pakungwati (Kasepuhan), yang terdapat Sangkala Buana (alun-alun), Jembatan Kreteg Pangrawit, Mesjid Agung Sang
Cipta Rasa, Tajug Jalagrahan, benda-benda pusaka yaitu terdiri dari
persenjataan tradisional hingga kereta kencana yang terdapat dalam musium kraton. Menurut Halwany Michrob (1995) yang menarik dari peninggalan budaya dari aktivitas Sunan Gunung Jati
adalah bidang Planologi atau Tata Kota. Susunan pusat ibu kota
Kerajaan Cirebon merupakan proto type
awal dari karakteristik kota di Indonesia yang bercorak Islam yang
terdiri dari unsure arsitektur masjid, Istana, Pasar, tembok pertahan
alun-alun, bangunan audiensi dan pelabuhan.
Sunan Gunung
Jati meninggal tahun 1568 Masehi, namun karomahnya sampai saat ini masih
kita rasakan. jasa-jasanya dalam memberi nikmat kedamaian Islami, kepemimpinan yang merakyat, mencintai perdamaian,
menghargai perbedaan akan tetap hidup dalam segala zaman. Pelajaran
sejarah dapat ditarik dari napak tilas perjalan hidup seorang wali, yang
memberi rizqi kepada beribu manusia selama beliau hidup atau pun ketika telah
tiada.
Dipublish
Galamedia, Senin 2 September 2013
No comments:
Post a Comment