Di bulan Ramadhan ini, sebelum azan
subuh biasanya kita mengenal istilah imsak. Sebagian besar orang Indonesia
masih beranggapan bahwa waktu imsak adalah 10 menit menjelang azan subuh yang
ditandai dengan bunyi sirine di beberapa radio atau televisi. Sebenarnya, ini
kurang tepat. Imsak artinya menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa
(makan, minum, hubungan intim, dan hal lain yang membatalkan) dari waktu subuh
hingga waktu magrib. Jadi, ketika kita bangun untuk makan sahur namun sangat
dekat dengan waktu azan subuh, dan dari radio atau televisi terdengar sirine
atau lagu, tidak perlu khawatir. Kita masih punya waktu sepuluh menit untuk
makan sahur. Rasulullah SAW bersabda, “Bersahurlah kamu karena sesungguhnya
sahur itu berbarokah.” Merujuk pada firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat
187 bahwasannya Puasa dimulai dari terbit fajar, yaitu berbarengan dengan
masuknya waktu subuh dan berakhir saat terbenam matahari yaitu berbarengan
dengan masuknya waktu magrib. Saat azan subuh berkumandang, berarti pada waktu
itu juga kita harus menghentikan makan, minum dan segala sesuatu yang bisa
membatalkan puasa.
Ramadhan sebagai kawah candradimuka umat
Islam untuk melatih diri bersikap sabar, mampu menahan diri dari perbuatan
tercela dan sadar sosial. Konsep puasa dalam Islam sangat ideal untuk difahami
bukan hanya dalam balutan simbol belaka, namun hendaknya ada implikasi yang
positif bagi karakter individu dan kesadaran berbangsa.
Momentum Ramadhan patut kiranya untuk
mengkritisi dan menata ulang kedirian negara kita dalam menanggulangi kasus
korupsi yang semakin akut. Mental para pemimpin kita harus selalu diberi sirine
agar ‘‘imsak’’terhadap perbuatan tercela yang merugikan negara dan mengkorup
uang rakyat. Salah satu kasus yang berdasarkan data Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) adanya indikasi sejumlah penyelewengan anggaran perjalanan dinas sebesar
30 sampai 40 persen dari biaya perjalanan dinas Rp18 triliun yang ditetapkan
rata-rata per tahun dalam APBN. Kita sebagai rakyat sangat menyayangkan
indikasi kerugian negara sebesar Rp. 34, 592 miliar dari 180 kasus untuk biaya
perjalanan dinas pada Semester II Tahun 2011, seperti dilansir dari hasil audit
pemeriksaan BPK.
Dalam tayangan forum interaktif di salah
satu stasiun televisi swasta Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
(Fitra), misalnya, menyoroti pembengkakan anggaran perjalanan dinas. Pada APBN
tahun 2009, anggaran perjalanan dinas tercatat sebesar Rp 2,9 triliun. Namun
dalam APBN Perubahan di tahun sama jumlahnya bengkak menjadi Rp 12,7 triliun.
Bahkan membengkak menjadi Rp 15,2 triliun pada realisasinya. Hal sama terjadi
pada 2010. Di APBN, pemerintah menetapkan anggaran perjalanan dinas sebesar Rp
16,2 triliun, dan pada APBNP 2010 membengkak menjadi Rp 19,5 triliun.
Sementara, pembengkakan belanja pada perjalanan dinas tahun 2011 juga semakin
besar. Pada RAPBN dialokasikan Rp 20,9 triliun, tetapi pemerintah dan DPR
justru menetapkan menjadi Rp 24,5 triliun pada APBN 2011 (detik.com, 2012).
Di sisi lain Islam yang di daulat oleh
umatnya sebagai agama rahmatan lil alamin, memang memiliki doktrin yang
bersifat “sentrifugal” dan “sentrifental”. Dalam bahasa sederhana, Islam yang
dihayati dengan kesungguhan dapat menciptakan kekuatan moral dalam diri serta
mampu mengubah kondisi bangsa-negara (nation-state) ke arah lebih baik. Negeri
kita, Indonesia, membutuhkan aktus bermoral yang selalu diejawantahkan seorang
pemimpin.
Inilah mengapa kemudian rakyat tidak
percaya lagi kepada para pemimpin di negeri ini. karena, moralitas para
pemimpinnya telah mengalami pergeseran paradigmatis: bukan untuk mengabdi
kepada rakyat, akan tetapi mengabdi pada berhala kekuasaan, mendewakan
kepentingan golongan, dan membanggakan diri untuk hidup hedonis. Jangan heran
kalau ke depan negeri ini harus absen pemimpin yang memiliki komitment
kuat untuk memajukan negara dan bangsa. Akui atau tidak realitas
kepolitikan di negeri ini mengindikasikan disintegrasi bangsa.
Relevansinya justru terletak ketika
sejarah pengalaman keberagamaan sekarang jauh panggang dari api dengan
nilai-nilai universal dan pesan substansial yang diajarkan sang Nabi dan para
sahabatnya. Imsak tidak lagi di artikan sebagai sirine dan warning untuk
menghentikan perbuatan-perbuatan yang negatif dan perbuatan tercela lainnya
seperti melakukan korupsi uang negara yang sejatinya milik rakyat Indonesia.
Hal ini kemudian menjadi semacam interupsi dari sikap “anomali” kita, dari
perilaku keseharian yang semakin jauh dari khittah agama yang otentik, dan
menegaskan kembali elite kita sebenarnya anti kemakmuran akan rakyatnya.
Tentu
saja khittah keislaman yang diemban Nabi Muhammad SAW, menanamkan keinsafan
tentang fitrah kemanusiaan untuk berserah diri secara total hanya kepada sang
Khaliq (transendensi) dan terlibat aktif membangun bumi manusia yang santun
berkeadaban. Hikayat kelahiran agama selalu dimulai ketika masyarakat sudah
jatuh dalam kutub ekstrem penghambaan terhadap kekuasaan otoriter, pendewaan
terhadap uang, dan kuasa lain yang bersifat duniawi. Islam sebagai Agama
rahmatan lil alamin sewajarnya selalu memberi sirine di pagi menjelang manusia
beraktifitas sebagai tanda untuk melakuan aktifitas kebaikan dan memberikan
“imsak” permanen terhadap perbuatan-perbuatan yang rentan merugikan manusia dan
Tuhannya. Sesungguhnya Imsak dalam saur menjelang subuh adalah memorandum bagi
umat untuk melakukan kritik sekaligus menawarkan hidup yang berjangkar pada
haluan moralitas agar kehidupan menemukan marwahnya di dunia dan di akherat.
Imsak sebagai
Perisai Diri
Meminjam Istilah Emha Ainun Nadjib bahwa agama kini sedang digadang-gadang untuk memperbaiki masa depan umat manusia, khususnya di Indonesia. Ia bagaikan pelita kecil dihiruk-pikuk kelalaian buramnya wajah kehidupan dunia. Kecemasan para ilmuan pemerhati sejarah bangsa terhadap keseluruhan hidup berbangsa di negeri kita dari mulai soul kemanusiaan di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan serta muatan perilaku sejarah ummat manusia, akhirnya semuanya bersandar pada muara peran agama. Dan mau tidak mau ini harus dipikul bersama agar rasa berat tidak dirasa oleh salah satu dari kita karena sesungguhnya manusia itu sendiri yang menjadi objek dari problem di negara ini. Di dalam kenyataan sejarah, ketika alam pikiran dan alam perilaku manusia telah sedemikian jauh mengalami pemiskinan dari apa yang secara potensial sebenarnya bisa digali dari agama. Namun yang harus diingat agama bukan ritus-ritus dan simbol-simbol untuk membidani lahirnya super hero pembebas untuk mengentaskan problem yang ada di negeri ini.(Emha Ainun Najib, 1995:115-121).
Dimuat pada Koran Republika, 10 Agustus 2012
Tulisan Ini bisa ditemukan juga di Buku Kumpulan Tulisan Artikel Jejak Dari Cipadung
Tulisan Ini bisa ditemukan juga di Buku Kumpulan Tulisan Artikel Jejak Dari Cipadung
No comments:
Post a Comment