Saturday, July 18, 2015

Imsak dalam Kesadaran Berbangsa Oleh:Wahyu Iryana

Di bulan Ramadhan ini, sebelum azan subuh biasanya kita mengenal istilah imsak. Sebagian besar orang Indonesia masih beranggapan bahwa waktu imsak adalah 10 menit menjelang azan subuh yang ditandai dengan bunyi sirine di beberapa radio atau televisi. Sebenarnya, ini kurang tepat. Imsak artinya menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa (makan, minum, hubungan intim, dan hal lain yang membatalkan) dari waktu subuh hingga waktu magrib. Jadi, ketika kita bangun untuk makan sahur namun sangat dekat dengan waktu azan subuh, dan dari radio atau televisi terdengar sirine atau lagu, tidak perlu khawatir. Kita masih punya waktu sepuluh menit untuk makan sahur. Rasulullah SAW bersabda, “Bersahurlah kamu karena sesungguhnya sahur itu berbarokah.” Merujuk pada firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 187 bahwasannya Puasa dimulai dari terbit fajar, yaitu berbarengan dengan masuknya waktu subuh dan berakhir saat terbenam matahari yaitu berbarengan dengan masuknya waktu magrib. Saat azan subuh berkumandang, berarti pada waktu itu juga kita harus menghentikan makan, minum dan segala sesuatu yang bisa membatalkan puasa.
Ramadhan sebagai kawah candradimuka umat Islam untuk melatih diri bersikap sabar, mampu menahan diri dari perbuatan tercela dan sadar sosial. Konsep puasa dalam Islam sangat ideal untuk difahami bukan hanya dalam balutan simbol belaka, namun hendaknya ada implikasi yang positif bagi karakter individu dan kesadaran berbangsa.
Momentum Ramadhan patut kiranya untuk mengkritisi dan menata ulang kedirian negara kita dalam menanggulangi kasus korupsi yang semakin akut. Mental para pemimpin kita harus selalu diberi sirine agar ‘‘imsak’’terhadap perbuatan tercela yang merugikan negara dan mengkorup uang rakyat. Salah satu kasus yang berdasarkan data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adanya indikasi sejumlah penyelewengan anggaran perjalanan dinas sebesar 30 sampai 40 persen dari biaya perjalanan dinas Rp18 triliun yang ditetapkan rata-rata per tahun dalam APBN. Kita sebagai rakyat sangat menyayangkan indikasi kerugian negara sebesar Rp. 34, 592 miliar dari 180 kasus untuk biaya perjalanan dinas pada Semester II Tahun 2011, seperti dilansir dari hasil audit pemeriksaan BPK.
Dalam tayangan forum interaktif di salah satu stasiun televisi swasta Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), misalnya, menyoroti pembengkakan anggaran perjalanan dinas. Pada APBN tahun 2009, anggaran perjalanan dinas tercatat sebesar Rp 2,9 triliun. Namun dalam APBN Perubahan di tahun sama jumlahnya bengkak menjadi Rp 12,7 triliun. Bahkan membengkak menjadi Rp 15,2 triliun pada realisasinya. Hal sama terjadi pada 2010. Di APBN, pemerintah menetapkan anggaran perjalanan dinas sebesar Rp 16,2 triliun, dan pada APBNP 2010 membengkak menjadi Rp 19,5 triliun. Sementara, pembengkakan belanja pada perjalanan dinas tahun 2011 juga semakin besar. Pada RAPBN dialokasikan Rp 20,9 triliun, tetapi pemerintah dan DPR justru menetapkan menjadi Rp 24,5 triliun pada APBN 2011 (detik.com, 2012).
Di sisi lain Islam yang di daulat oleh umatnya sebagai agama rahmatan lil alamin, memang memiliki doktrin yang bersifat “sentrifugal” dan “sentrifental”. Dalam bahasa sederhana, Islam yang dihayati dengan kesungguhan dapat menciptakan kekuatan moral dalam diri serta mampu mengubah kondisi bangsa-negara (nation-state) ke arah lebih baik. Negeri kita, Indonesia, membutuhkan aktus bermoral yang selalu diejawantahkan seorang pemimpin.
Inilah mengapa kemudian rakyat tidak percaya lagi kepada para pemimpin di negeri ini. karena, moralitas para pemimpinnya telah mengalami pergeseran paradigmatis: bukan untuk mengabdi kepada rakyat, akan tetapi mengabdi pada berhala kekuasaan, mendewakan kepentingan golongan, dan membanggakan diri untuk hidup hedonis. Jangan heran kalau ke depan negeri ini harus absen  pemimpin yang memiliki komitment kuat untuk memajukan negara dan bangsa.  Akui atau tidak realitas kepolitikan di negeri ini mengindikasikan disintegrasi bangsa.
Relevansinya justru terletak ketika sejarah pengalaman keberagamaan sekarang jauh panggang dari api dengan nilai-nilai universal dan pesan substansial yang diajarkan sang Nabi dan para sahabatnya. Imsak tidak lagi di artikan sebagai sirine dan warning untuk menghentikan perbuatan-perbuatan yang negatif dan perbuatan tercela lainnya seperti melakukan korupsi uang negara yang sejatinya milik rakyat Indonesia. Hal ini kemudian menjadi semacam interupsi dari sikap “anomali” kita, dari perilaku keseharian yang semakin jauh dari khittah agama yang otentik, dan menegaskan kembali elite kita sebenarnya anti kemakmuran akan rakyatnya.
Tentu saja khittah keislaman yang diemban Nabi Muhammad SAW, menanamkan keinsafan tentang fitrah kemanusiaan untuk berserah diri secara total hanya kepada sang Khaliq (transendensi) dan terlibat aktif membangun bumi manusia yang santun berkeadaban. Hikayat kelahiran agama selalu dimulai ketika masyarakat sudah jatuh dalam kutub ekstrem penghambaan terhadap kekuasaan otoriter, pendewaan terhadap uang, dan kuasa lain yang bersifat duniawi. Islam sebagai Agama rahmatan lil alamin sewajarnya selalu memberi sirine di pagi menjelang manusia beraktifitas sebagai tanda untuk melakuan aktifitas kebaikan dan memberikan “imsak” permanen terhadap perbuatan-perbuatan yang rentan merugikan manusia dan Tuhannya. Sesungguhnya Imsak dalam saur menjelang subuh adalah memorandum bagi umat untuk melakukan kritik sekaligus menawarkan hidup yang berjangkar pada haluan moralitas agar kehidupan menemukan marwahnya di dunia dan di akherat.
Imsak sebagai Perisai Diri

Meminjam Istilah Emha Ainun Nadjib bahwa agama kini sedang digadang-gadang untuk memperbaiki masa depan umat manusia, khususnya di Indonesia. Ia bagaikan pelita kecil dihiruk-pikuk kelalaian buramnya wajah kehidupan dunia. Kecemasan para ilmuan pemerhati sejarah bangsa terhadap keseluruhan hidup berbangsa di negeri kita dari mulai soul kemanusiaan di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan serta muatan perilaku sejarah ummat manusia, akhirnya semuanya bersandar pada muara peran agama. Dan mau tidak mau ini harus dipikul bersama agar rasa berat tidak dirasa oleh salah satu dari kita karena sesungguhnya manusia itu sendiri yang menjadi objek dari problem di negara ini. Di dalam kenyataan sejarah, ketika alam pikiran dan alam perilaku manusia telah sedemikian jauh mengalami pemiskinan dari apa yang secara potensial sebenarnya bisa digali dari agama. Namun yang harus diingat agama bukan ritus-ritus dan simbol-simbol untuk membidani lahirnya super hero pembebas untuk mengentaskan problem yang ada di negeri ini.(Emha Ainun Najib, 1995:115-121).
Rutinitas puasa kita di bulan Ramadhan bukan hanya memacu kita berlomba dalam kebaikan untuk mendapatkan pundi-pundi pahala dari Sang Pencipta namun diharapkan ada tantangan yang bersifat universal dan mengkritisi watak kedirian kita yang memuja keduniawian. Negara ini hendaknya segara melakukan “Imsak”menyeluruh di segala bidang yang terjangkit kasus korupsi, untuk segera berpasrah diri melakukan ritual kebajikan ketika suara azan subuh berkumandang, sejatinya tubuh kenegaraan kita idealnya suci kembali dari noda.

Dimuat pada Koran Republika, 10 Agustus 2012

Tulisan Ini bisa ditemukan juga di Buku Kumpulan Tulisan Artikel Jejak Dari Cipadung

No comments:

Post a Comment