Keindahan dan keistimewaan bulan Ramadhan bukan saja
karena seluruh umat muslim berpuasa sebulan lamanya, namun juga di bulan
Ramadhan ini kita di suguhi tontonan perang bintang dalam piala dunia di
Brazil, bukan itu saja di bulan Ramadhan juga kita harus menentukan pilihan
dalam pilpres 9 juli 2014 nanti. Subhannalloh hiburan sekaligus pendidikan
politik yang sangat berharga.
Debat capres-cawapres sabtu malam minggu, 5 juli 2014
mengakhiri seluruh rangkaian kampanye Pilpres 2014. Ada baiknya kita manfaatkan
untuk mengevalusi kampanye secara kesuruhan, termasuk para sikap pendukung
kedua pasangan untuk perbaikan bersama, bukan untuk kepuasan diri. Menyimak
para penanggap di media sosial sejak debat pertama, kebanyakan kita tidak
terlalu berkepentingan dengan isi, yang mestinya menjadi bahan penilaian utama.
Orang-orang lebih memusatkan diri pada kesalahan ‘lawan’. Apabila menemukan
kesalahan pada calon pesaing, sekecil apa pun, segera jadi topik utama. Apbila
kesalahan itu ‘besar’, seperti menemukan emas atau amunisi untuk menyerang
membabi buta lawan.
Simak di luar acara debat,
masing-masing pendukung rajin mencari cela lawan. Ada beberapa teman yang rajin
mencari berita negatif calon pesaing, dan menyebarkannya. Tentu tidak ingin
melihat berita negatif tentang calon yang didukung. Dan mereka, kebanyakan
muda-muda, begitu trampil mengeskpoitasi kekurangan ‘kubu sebelah’, sehingga
kurang mendapat keuntungan dari menyimak isi perdebatan, berupa pengetahuan dan
penalaran. Tetapi mereka ini cerminan dari lapisan atasnya, para ‘intelektual’,
pengamat dan politisi senior. Cukup mengherankan bahwa kaum ‘intelektual’ pun
begitu mudah mengelompok dalam kubu pro-kontra. Nyaris tidak ada yang berperan
di tengah – saya tidak menyebutnya netral. Yang selama ini terlanjur disebut
‘intelektual’, seperti Mahfud MD, Anies Baswedan, Amin Rais, dan Herman
Sulistyo, ternyata tidak berbeda dengan kelas pengrame: Cuma mencari-cari dan
membuat pernyataan yang menjelekkan lawan, sembari membela pihak yang
didukungnya habis-habisan.
Wahai bangsaku, kemanakah para bijak bestari negeri
ini? Para guru bangsa? Indonesia rindu cendikiawan sekelas Nurcholis Majid,
Abdurrahman Wahid, Romo Mangun Wijaya. Bahkan posisi mahasiswa sebagai penengah
dalam idealisme? Pertanyaan ini penting untuk membangunkan kembali kesadaran
politik berbangsa yang cerdas dan positif.
Menyepakati pernyataan Kafeel Yamin mereka yang
golput, lebih banyak sinis ketimbang memberi pandangan yang berimbang. Polarisasi
ini sangat tercermin pada penonton di studio, di setiap acara debat. Mereka bukan
pentonton debat atau diskusi, lebih tampak sebagai penonton konser dangdut atau
sepakbola liga kecamatan. Bagaimana dengan media? Mungkin kita sudah perlu
mengucapkan innalillahi wainnailahi
rajiun kepada prinsip keberimbangan dalam jurnalistik di Indonesia. Koran nasional
bahkan media televisi swasta pun sudah memihak dan menegaskan pemihakannya. Lihatlah
perdebatan terakhir, yang ditanggapi berbeda oleh kedua kubu pendukung.
Masing-masing mengaku pihaknya menang, berkonsentrasi menunjukkan kesalahan
lawan, bukan isi.
Sekali lagi, di Indonesia, isi
perdebatan tidak begitu penting – kecuali bagi beberapa gelintir orang pemilih
rasional. Namun secara keseluruhan, ada yang lebih penting dari isi, yakni
sikap dan perilaku yang ditunjukkan masing-masing pasangan: cara berreaksi,
cara menanggapi dan kata-kata yang digunakan. Saya mendukung para pembaca dan
pemirsa media bersikap kritis dan berani mengajukan gugatan kepada media, dan
media harus dihukum bila terbukti melanggar undang-undang. Demikian pula
pihak-pihak lain yang melanggar hukum.
Sebagai bahan otokritik kepada semua peserta debat Pilpres
Prabowo, Hatta, Jokowi dan JK – adalah, mereka pelit sekali tersenyum, sejak
debat pertama. Semuanya tegang, kaku. Tidak terlihat suasana akrab. Kalau ada
satu yang berinisiatif mengakrabi yang lain, media dan pedukung yang berprinsip
prasangka buruk, segera mengahikimi: “Itu
sikap dibuat-buat. Sikap di depan publik.”Maklumlah suhu politik sudah
semakin memanas.
Figur Calon Pemimpin Indonesia
Teringat perkataan Moeflih Hasbullah dalam jejaring
sosial bahwa kita sudah saatnya merenungkan kembali dan analisis secara
mendalam tentang pilihan kita dalam pilpres setelah semua kegiatan kampanye
dilakukan, masing-masing pendukung harus bisa menerima kalau ternyata yang
didukungnya nanti ada yang kalah. Ini penting agar semua mengetahui sejauh mana
batasan koridor berdemokrasi. Kalau kita cermati
sosok dan level berfikirnya keempat capres/cawapres dalam debat terakhir tadi
malam, ada beberapa catatan yang harus disimak.
Probowo Seobianto, sosok negarawan. Cara
berfikirnya pas seperti dikriteriakan dalam kepemimpinan modern: konsep,
kebijakan, strategi, implementasi dan prediksi hasil. Semuanya relatif jelas
dalam narasi Prabowo. Apalagi kalau melalui indepth-interview
seperti banyak dirasakan wartawan asing. Dibesarkan oleh Soemitro Joyokusoemo,
begawan Ekonomi masa Orde Baru, darah militernya mengalir deras, yang menuntut
untuk bersikap tegas dan berdisiplin tingi. Di closing ceremony, dalam debat terakhir kemarin Prabowo pun menyebut
ia ingin membangun negaranya seperti semangat dan pesan-pesan the founding fathers. Jiwa
kenegarawanannya sangat kuat yang tampaknya terpupuk sejak kecil sebagai
seorang partiotik yang kharismatik.
Hatta Rajasa sosok teknokrat.
Pembicaraannya jelas sistematis apalagi waktu awal pemaparan visi misi.
Sistematikanya runtut, teratur dan bahasanya rapih. Penguasaan materinya
mendalam dengan berbagai istilah-istilahnya. Pengalamanya sebagai menteri
membentuknya. Nampaknya, memang tak salah ia dilekatkan dengan sosok Bung
Hatta, sudah namanya sama, wawasan, pemikiran dan style-nya juga mirip. Prabowo
juga sangat jelas mewakili sosok Bung Karno dan itu tidak dibuat-buat tapi
memang penjiwaannnya. Kebesaran Soekarno-Hatta dipersonifikasikan dan
dihadirkan kembali lewat pasangan ini.
Joko Widodo (Jokowi) sosok jujur,
pekerja dan sederhana. Modalnya cukup bagus. Dalam debat tadi malam, dari usia,
pengalaman, wawasan, kematangan keempat sosok, Jokowi yang paling yunior. Dari
debat pertama, jawaban-jawaban Jokowi sifatnya praktis dan lokalistis yang
terkesan sederhana. Dalam konteks pembicaaan kenegaraan, ini menjadi kelemahan,
tetapi dalam konteks popularitas dan kerakyatan ini menguntungkan. Disinilah
hokinya Jokowi, ia menjadi sosok kepemimpinan alternatif. Visi kerakyatan
menjadi pas dalam sosoknya yang sederhana dan ndeso, karenanya pendukungnya
kuat dari kalangan bawah. Bahasanya yang sederhana menjadi mudah ditangkap dan
difahami. Karenanya tidak salah bila sebuah survei menemukan bahwa mayoritas
pendukungnya adalah para masyarakat kelas bawah. Wajah ndeso dan
kesederhanaannya menjadi simbol kerakyatan yang sangat menguntungkan sebagai
komoditas dan pencitraan politik.
Jusuf Kalla (JK) adalah seorang
teknokrat ulung, usianya senior dan pengalamannya banyak, berfikir dan
tindakannya cepat. Menjadi ketua Palang Merah Indonesia, dan Dewan Kemakmuran
Masjid. Sudah terdidik sebagai seorang aktivis sejak dibangku kuliah, mantan ketua
umum Himpunan Mahasiswa Islam dua periode. Berpengalaman dipemerintahan.
Diluar semua catatan ini, suara
rakyatlah yang akan menentukan siapa yang akan menjadi presiden. Maka
bersuaralah dan pilihlah tanggal 9 Juli nanti sesuai keinginan dan kecendrungan
Anda masing-masing. Terakhir, di bulan Ramadhan ini, mari
sempatkan banyak-banyak istigfhar
dan berdoa agar Piplres terpilih nanti membawa berkah, bukan madharat bagi
seluruh masyarakat Indonesia. Wallahu’alam.
Dipublish Radar Cirebon
No comments:
Post a Comment