Sunday, July 19, 2015

Catatan Akhir Kampanye Pilpres 2014 Oleh: Wahyu Iryana

Keindahan dan keistimewaan bulan Ramadhan bukan saja karena seluruh umat muslim berpuasa sebulan lamanya, namun juga di bulan Ramadhan ini kita di suguhi tontonan perang bintang dalam piala dunia di Brazil, bukan itu saja di bulan Ramadhan juga kita harus menentukan pilihan dalam pilpres 9 juli 2014 nanti. Subhannalloh hiburan sekaligus pendidikan politik yang sangat berharga.
Debat capres-cawapres sabtu malam minggu, 5 juli 2014 mengakhiri seluruh rangkaian kampanye Pilpres 2014. Ada baiknya kita manfaatkan untuk mengevalusi kampanye secara kesuruhan, termasuk para sikap pendukung kedua pasangan untuk perbaikan bersama, bukan untuk kepuasan diri. Menyimak para penanggap di media sosial sejak debat pertama, kebanyakan kita tidak terlalu berkepentingan dengan isi, yang mestinya menjadi bahan penilaian utama. Orang-orang lebih memusatkan diri pada kesalahan ‘lawan’. Apabila menemukan kesalahan pada calon pesaing, sekecil apa pun, segera jadi topik utama. Apbila kesalahan itu ‘besar’, seperti menemukan emas atau amunisi untuk menyerang membabi buta lawan.
            Simak di luar acara debat, masing-masing pendukung rajin mencari cela lawan. Ada beberapa teman yang rajin mencari berita negatif calon pesaing, dan menyebarkannya. Tentu tidak ingin melihat berita negatif tentang calon yang didukung. Dan mereka, kebanyakan muda-muda, begitu trampil mengeskpoitasi kekurangan ‘kubu sebelah’, sehingga kurang mendapat keuntungan dari menyimak isi perdebatan, berupa pengetahuan dan penalaran. Tetapi mereka ini cerminan dari lapisan atasnya, para ‘intelektual’, pengamat dan politisi senior. Cukup mengherankan bahwa kaum ‘intelektual’ pun begitu mudah mengelompok dalam kubu pro-kontra. Nyaris tidak ada yang berperan di tengah – saya tidak menyebutnya netral. Yang selama ini terlanjur disebut ‘intelektual’, seperti Mahfud MD, Anies Baswedan, Amin Rais, dan Herman Sulistyo, ternyata tidak berbeda dengan kelas pengrame: Cuma mencari-cari dan membuat pernyataan yang menjelekkan lawan, sembari membela pihak yang didukungnya habis-habisan. 
Wahai bangsaku, kemanakah para bijak bestari negeri ini? Para guru bangsa? Indonesia rindu cendikiawan sekelas Nurcholis Majid, Abdurrahman Wahid, Romo Mangun Wijaya. Bahkan posisi mahasiswa sebagai penengah dalam idealisme? Pertanyaan ini penting untuk membangunkan kembali kesadaran politik berbangsa yang cerdas dan positif.
Menyepakati pernyataan Kafeel Yamin mereka yang golput, lebih banyak sinis ketimbang memberi pandangan yang berimbang. Polarisasi ini sangat tercermin pada penonton di studio, di setiap acara debat. Mereka bukan pentonton debat atau diskusi, lebih tampak sebagai penonton konser dangdut atau sepakbola liga kecamatan. Bagaimana dengan media? Mungkin kita sudah perlu mengucapkan innalillahi wainnailahi rajiun kepada prinsip keberimbangan dalam jurnalistik di Indonesia. Koran nasional bahkan media televisi swasta pun sudah memihak dan menegaskan pemihakannya. Lihatlah perdebatan terakhir, yang  ditanggapi berbeda oleh kedua kubu pendukung. Masing-masing mengaku pihaknya menang, berkonsentrasi menunjukkan kesalahan lawan, bukan isi.
            Sekali lagi, di Indonesia, isi perdebatan tidak begitu penting – kecuali bagi beberapa gelintir orang pemilih rasional. Namun secara keseluruhan, ada yang lebih penting dari isi, yakni sikap dan perilaku yang ditunjukkan masing-masing pasangan: cara berreaksi, cara menanggapi dan kata-kata yang digunakan. Saya mendukung para pembaca dan pemirsa media bersikap kritis dan berani mengajukan gugatan kepada media, dan media harus dihukum bila terbukti melanggar undang-undang. Demikian pula pihak-pihak lain yang melanggar hukum. 
Sebagai bahan otokritik kepada semua peserta debat Pilpres Prabowo, Hatta, Jokowi dan JK – adalah, mereka pelit sekali tersenyum, sejak debat pertama. Semuanya tegang, kaku. Tidak terlihat suasana akrab. Kalau ada satu yang berinisiatif mengakrabi yang lain, media dan pedukung yang berprinsip prasangka buruk, segera mengahikimi: “Itu sikap dibuat-buat. Sikap di depan publik.”Maklumlah suhu politik sudah semakin memanas.

Figur Calon Pemimpin Indonesia

Teringat perkataan Moeflih Hasbullah dalam jejaring sosial bahwa kita sudah saatnya merenungkan kembali dan analisis secara mendalam tentang pilihan kita dalam pilpres setelah semua kegiatan kampanye dilakukan, masing-masing pendukung harus bisa menerima kalau ternyata yang didukungnya nanti ada yang kalah. Ini penting agar semua mengetahui sejauh mana batasan koridor berdemokrasi. Kalau kita cermati sosok dan level berfikirnya keempat capres/cawapres dalam debat terakhir tadi malam, ada beberapa catatan yang harus disimak.
Probowo Seobianto, sosok negarawan. Cara berfikirnya pas seperti dikriteriakan dalam kepemimpinan modern: konsep, kebijakan, strategi, implementasi dan prediksi hasil. Semuanya relatif jelas dalam narasi Prabowo. Apalagi kalau melalui indepth-interview seperti banyak dirasakan wartawan asing. Dibesarkan oleh Soemitro Joyokusoemo, begawan Ekonomi masa Orde Baru, darah militernya mengalir deras, yang menuntut untuk bersikap tegas dan berdisiplin tingi. Di closing ceremony, dalam debat terakhir kemarin Prabowo pun menyebut ia ingin membangun negaranya seperti semangat dan pesan-pesan the founding fathers. Jiwa kenegarawanannya sangat kuat yang tampaknya terpupuk sejak kecil sebagai seorang partiotik yang kharismatik.
Hatta Rajasa sosok teknokrat. Pembicaraannya jelas sistematis apalagi waktu awal pemaparan visi misi. Sistematikanya runtut, teratur dan bahasanya rapih. Penguasaan materinya mendalam dengan berbagai istilah-istilahnya. Pengalamanya sebagai menteri membentuknya. Nampaknya, memang tak salah ia dilekatkan dengan sosok Bung Hatta, sudah namanya sama, wawasan, pemikiran dan style-nya juga mirip. Prabowo juga sangat jelas mewakili sosok Bung Karno dan itu tidak dibuat-buat tapi memang penjiwaannnya. Kebesaran Soekarno-Hatta dipersonifikasikan dan dihadirkan kembali lewat pasangan ini.
Joko Widodo (Jokowi) sosok jujur, pekerja dan sederhana. Modalnya cukup bagus. Dalam debat tadi malam, dari usia, pengalaman, wawasan, kematangan keempat sosok, Jokowi yang paling yunior. Dari debat pertama, jawaban-jawaban Jokowi sifatnya praktis dan lokalistis yang terkesan sederhana. Dalam konteks pembicaaan kenegaraan, ini menjadi kelemahan, tetapi dalam konteks popularitas dan kerakyatan ini menguntungkan. Disinilah hokinya Jokowi, ia menjadi sosok kepemimpinan alternatif. Visi kerakyatan menjadi pas dalam sosoknya yang sederhana dan ndeso, karenanya pendukungnya kuat dari kalangan bawah. Bahasanya yang sederhana menjadi mudah ditangkap dan difahami. Karenanya tidak salah bila sebuah survei menemukan bahwa mayoritas pendukungnya adalah para masyarakat kelas bawah. Wajah ndeso dan kesederhanaannya menjadi simbol kerakyatan yang sangat menguntungkan sebagai komoditas dan pencitraan politik.
Jusuf Kalla (JK) adalah seorang teknokrat ulung, usianya senior dan pengalamannya banyak, berfikir dan tindakannya cepat. Menjadi ketua Palang Merah Indonesia, dan Dewan Kemakmuran Masjid. Sudah terdidik sebagai seorang aktivis sejak dibangku kuliah, mantan ketua umum Himpunan Mahasiswa Islam dua periode. Berpengalaman dipemerintahan.

Diluar semua catatan ini, suara rakyatlah yang akan menentukan siapa yang akan menjadi presiden. Maka bersuaralah dan pilihlah tanggal 9 Juli nanti sesuai keinginan dan kecendrungan Anda masing-masing. Terakhir, di bulan Ramadhan ini, mari sempatkan banyak-banyak istigfhar dan berdoa agar Piplres terpilih nanti membawa berkah, bukan madharat bagi seluruh masyarakat Indonesia. Wallahu’alam.
Dipublish Radar Cirebon

No comments:

Post a Comment