Baban
Kana diartikan dengan pembuka pintu ilmu pengetahuan. Hal ini berdasarkan sanad guru Mursid Syech Yasin Padang yang
dimandatkan kepada KH. Amin Halim kemudian kepada KH. Zamzami Amin.[1]Buku
Baban Kana merupakan ijtihad dari seorang Kiyai Cirebon untuk membuka sejarah peteng penyebaran Islam di Jawa
Barat pasca Kanjeng Sunan Gunung Jati. Sebelum Meninggal KH. Hanan Babakan
berpesan kepada Kh. Zamzami Amin agar menelusuri jejak penyebaran Islam yang
digagas oleh para pendiri pesantren di Cirebon. Walhasil terbitlah buku Baban
Kana yang dalam penyusunannya dibantu oleh para penulis muda seperti H. Dasuki,
Ali Khosim, Wahyu Iryana dan Zamzami Langut.
Sangat
disadari bahwa jarak waktu upaya penulisan kembali dari 2013 dengan peristiwa
sejarah 1802-1919 sangat panjang dan lama. Berjarak hampir dua abad. Jarak
waktu yang begitu lama banyak menimbulkan berbagai kemungkinan. Di satu pihak
menumbuhkan daya obyektifitas di lain pihak memungkinkan daya memori yang
semakin melemah, namun hal ini bisa ditepis dengan melakukan kroscheck dengan nara sumber lain yang
masih memiliki ingatan yang kuat dan dokumen-dokumen sejarah lain yang
cenderung netral.
Penulisan
dan penuturan kembali peristiwa sejarah ini, tidaklah didukung atau dimaksudkan
untuk mempahlawankan nama-nama para pelaku sejarah. Juga tidak diniatkan untuk
memperlihatkan apa-apa yang diperjuangkan dengan pengertian negatif. Kecuali
hanya untuk menanamkan kesadaran pada generasi muda, bahwa kemerdekaan adalah
mahkota emas yang perlu dimiliki dan dipertahankan oleh suatu bangsa dan negara yang cinta damai
dan kemerdekaan. Korban dan pengorbanan dari pelaku sejarah, dalam membela
perdamaian dan kemerdekaan serta keadilan, nilai korban dan pengorbananannya
tidak dapat dilepaskan dari nilai perjuangan mewujudkan kesatuan dan
keseluruhan perjalanan sejarah bangsa dan negara. Pengukuhan nilai korban dan
pengorbanannya hanya dapat dirasakan dan dilihat dari kenyataan pembangunan
dengan segenap kemajuan sekarang ini dan yang akan datang. Segenap upaya
pembangunan sekarang dan keberhasilannya tidak mungkin terjadi sebelum di
dahului oleh peristiwa sejarah yang panjang memperebutkan kemerdekaan yang
menuntut korban dan pengorbanan yang tidak sedikit dan tidak kecil dari para
pejuang sebagai pendahulunya.[2]Untungnya hampir semua sumber KH. Zamzami Amin
memilikinya. Proses penulisan melakukan metode penelitian sejarah yag terbagi
kedalam 4 tahapan. Pertama, Heuristik
yaitu proses mengumpulkan data dan dokumen. Kedua,
Kritik yaitu analisis data dan pemilahan data Ketiga, Interpretasi yaitu gaya imajinasi penulis dalam menakar
kridibilitas peristiwa. Keempat,Histioriografi
yaitu ijtihad menulis kembali sebagai upaya rekonstruksi sejarah.
Jangan
Sekali-kali Melupakan Sejarah (Jas Merah), begitulah
slogan yang sering dikumandangkan oleh Bung Karno. Ya! kita semua memang harus
terus belajar dan memahami sejarah masa
lalu. Karena sejarah masa kini adalah hasil perjalanan panjang sejarah masa
lampau.
Memiliki pengetahuan tentang peristiwa
masa lampau (peristiwa sejarah) penting artinya bagi kehidupan suatu masyarakat
atau bangsa. Peristiwa di masa lampau merupakan pelajaran berharga yang dapat
dijadikan acuan atau pedoman dalam menjalani kehidupan, baik di masa kini
maupun di masa mendatang. Hal ini disebabkan sejarah pada hakekatnya merupakan
proses yang menakup tiga dimensi waktu, yaitu masa lampau, masa kini, dan masa
depan (past, present, and future).
Masa kini adalah kesinambungan dari masa
lampau dan masa depan adalah kesinambungan dari masa sekarang. Sejarah sebagai
sumber inspirasi dan sumber informasi yang terperaya sangat dibutuhkan
keberadaannya oleh masyarakat dalam rangka menemukan dan memupuk jati diri
bangsa, untuk mampu merancang dan mempersiapkan kehidupan di masa mendatang
yang lebih baik. Inilah makna hakiki yang diajarkan oleh sejarah.[3]
Salah satu sejarah lokal yang belum
banyak dikaji secara komprehensif adalah sejarah mengenai perkembangan Pondok
Pesantren Babakan Ciwaringin Kabupaten Cirebon. Sebagaimana diketahui, bahwa
sejarah pondok pesantren ini memiliki catatan historis yang relatif panjang,
membentang hingga hingga awal didirikannya yaitu sekitar tahun 1127 H. / 1715 M. oleh Kyai
Jatira. Kyai Jatira adalah gelar dari KH. Hasanuddin putra KH. Abdul Latief
dari desa Pamijahan Plumbon Cirebon. Beliau merupakan bagian dari Keraton
Cirebon.
Banyak dari pembaca mungkin belum
mengetahui bahwa dalam sejarahnya pesantren ini memiliki andil yang besar dalam
mengobarkan semangat perlawanan terhadap penjajah Belanda. Bahkan perlawanan
tersebut mencapai lebih dari satu abad yaitu dari tahun 1802 hingga 1919.[4]
Puncak perlawanan tersebut terjadi pada 1818, dimana peristiwa ini kemudian
lebih dikenal dengan Perang Kedondong.
Sejarah terjadinya Perang Kedondong ini, ditulis dengan gaya
laporan naratif oleh
orang Belanda bernama Van Der Kamp[5],
tentu saja isi buku tersebut berdasarkan perspektifnya dalam memotret kecamuk
perang tersebut. Perang
Kedondong berbeda dengan Perang Diponogoro atau Perang Jawa (1825-1830). Perang Diponegoro itu dipicu
persoalan pribadi, karena Belanda memasang patok di makam raja-raja Mataram.
Kalau pemlawanan rakyat Cirebon yang melibatkan rakyat dengan
ketidak puasan monopoli dan paksa sewa pesawahan dan kebun serta paksaan pajak
yang tinggi mengakibatkan perlawanan rakyat terhadap penindasan
Belanda. Putra mahkota itu menolak menjadi sultan, karena tidak mau tunduk
kepada Belanda yang menarik pajak paksa kepada rakyat Cirebon. Akan tetapi,
kenapa yang tercatat dalam sejarah nasional, hanya Perang Diponegoro? Perang
Cirebon seolah-olah hanya menjadi sejarah local?Pertanyaan ini penting
untuk diurai.
Dalam
hal ini budayawan kawakan sekaliber Tandi Sekober (Alm) Tandi menerangkan bahwa
Jihad fi
Sabillilah sebagai
awal kebangkitan nasioalisme dalam sejarah gelap Ceribon terditeksi di era abad
19 hingga awal abad ke-20. Adalah sebuah negeri yang sarat dengan hiruk pikuk
radikalisasi yang dipicu oleh ajaran-ajaran eskatologi. Akar radikalisme pada
masa itu tumbuh ketika sentimen keagamaan bergerak di pusaran structural conduciveness (struktural
yang kondusif) versus structural strain (ketegangan
struktural). tersetruktur tersebut bersinerji dengan perilaku radikal di
kalangan rakyat Cirebon. Hal ini disebabkan adanya berbagai kebijakan Pemerintah Hindia Belanda
yang bersebrangan dengan kearifan budaya lokal. Kebijakan yang tidak
tersetruktur secara arief itu pada titik
terjauh menjadi serpihan pedih di lingkup kolbu pengusung teologi kultural. Ada
banyak kebijakan yang cenderung membonsai pengaruh sultan, melecehkan wibawa
sultan bahkan menjadikan para sultan di Cirebon tidak lebih sekedar hamba
sahaya pemerintah Hindia Belanda. Gaji para sultan sangat kecil bahkan tidak
cukup layak untuk keperluan pemeliharaan keraton, upacara ritual
tradisional, serta untuk hidup
sehari-hari. Di bidang ekonomi, rakyat pribumi semakin terpuruk dengan adanya bermacam-macam pajak.
Yang bikin sewot, Pemerintah Hindia Belanda melokalisir aktivitas Islam sebagai
suatu kekuatan sosial, kultural, dan politik. Inilah akar perlawanan santri
Ceribon pada tahun 1818. Bisa jadi, perlawanan ini merupakan gerakan anti
perubahan, tetapi lebih tepat sebagai langkah istikamah santri dan rakyat
Cirebon dalam menolak dominasi liar penguasa Belanda terhadap politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan.
Dalam perspektif teologi kultural, hal ini dapat diposisikan sebagai refleksi mesianistis dan eskatologis saat
para santri memprediksi zaman penuh ketentraman, damai, adil, dan makmur.
Artinya, mesianistis dan eskatologis telah memberi kontribusi terhadap warna
dan aura karakter perlawanan. [6]
Perlawanan
santri Cirebon berlangsung 1802-1919, karakteristik
perlawaan santri Cirebon nyaris memiliki kemiripan dengan perlawanan-perlawanan
di hampir semua keresidenan di Jawa sepanjang abad ke-19. Bahkan elite
perlawanan sama sekali tidak memiliki ilmu politik sekaligus relasi orientasi
realitas andai pemberontakan berhasil mencapai titik yang mencerahkan. Seperti obor blarak, cuma meledak dalam tempo
singkat, usai itu selesai. Terus? Tokoh perlawanan dieksekusi penguasa
setempat. Meski
singkat, gaung perlawanan mengendap pada ruang ritual kultural yang
substansional.
Manusia
yang pernah lahir dari rahim sempit sang ibu, menuju alam dunya
yang terlihat luas. Insya Allah, kita
juga akan lahir dari rahim bumi ke alam akherat yang amat sangat maha luas.
Saat megatruh, memecat ruh, saat itu pula ribuan malaikat tebarkan kemenyan iman di ruhmu. Kita akan terbang bagai
burung menuju lintang Jauhar.“Sun besuk mariya eman/Yen wonten grananing
sasi/Srengenge kembar lelima/Lintang alit gumilar sing/Sawiji tan hana
urip/Mung sira kelawan isun/Matiya mungging suwarga/ (Esok,
ketika diriku dihentikan kasih sayang/saat gerhana bulan/matahari kembar
lima/terhampar bintang bercahaya/tak satupun ada yang hidup/hanya kamu dan
aku/wafat menaiki langit-langit surga).”[7]
Serpihan suara
cikal bakal nasionalisme Indonesia itu—yang kelak menginspirasi santri Tegal
Rejo dalam Perang Diponegoro 1825-1830— sulit dilupakan menusa Cerbon. Bermula
dari sinilah kesadaran sufistispun mencahayai lelaku menusia Cerbon. “Manusia
tercipta dari tanah dan akan kembali ke tanah,” menjadi idiom sufistis khas
santri Kedongdong Ceribon yang diamalkan dengan membuat gerabah gentong/
wadasan.
Gentong/wadasan
dalam jiwa manusia Ceribon adalah tempat menyimpan air yang terbuat dari tanah
liat bernama gentong padasan dan pedaringan. Simak bentuk gentong
padasan; ada lingkar kecil yang disusul dengan lingkar besar yang
ditengarai sebagai tetenger proses
prosesi kontemplasi. Kolbu menusia Ceribon dijewantahkan dalam simbol pedaringan sementara gentong padasan ditakwil para pemahat kultural sebagai simbol
kesucian jasadi. Tak aneh, manakala
menusa Cerbon tiap kali melihat gentong
padasan konon seperti melihat kampung akherat.[8]
Kesadaran
sufisme wadasan ini, menjadi titik awal kajiulang dalam memaknai Jihad Fi Sabillilah. Di sini Residen
Cherebon Servatius bermain. Ia belokan arah perjuangan kebangkitan nasional
menjadi gerakan kebudayaan berbasis sufisme wadasan. Ini bisa disimak dari
khutbah Jum’at Kliwon, 20 Nopember 1818—tiga hari setelah eksekusi Nairem dan
Ki Bagus Serit—di hampir semua masjid Ceribon dan Indramayu. Khutbah itu alirkan pesan
utama “Sun Titip Tajug lan Fakir Miskin.
Pesan kultural bahwa inti dari jihad akbar bukan pada perlawanan terhadap
kekuasaan tapi pada upaya memakmurkan masjid dengan amalan-amalan soleh dan
memberdayakan fakir miskin.
Miskin itu
indah. Itulah sebabnya menusa Cirebon kerap tuturkan kearifan
tinutur kultur kuno bahwa sangu urip dudu
emas dudu pari, tetapi guna kaya
purun ingkang den antepi nuhoni trah utama. Bekal hidup bukan pada gemerlap harta emas
mutu manikam, tetapi pada kekayaan akal, kolbu dan orioentasi istikamah menjadi
manusia utama. Apa itu menusa utama? Sunan Gunung Djati menyebutnya menusa
Cerbon yang bisa dititipi tajug lan fakir
miskin.[9]
Tak
mustahil, suara lirih ini sejenis the
eloquency of silence . Adalah
kefasihan dalam kebisuan dinding sejarah kuno Cerbon. Sesuatu yang gelap
heneng hening eling yang membuat
manusia terperangkap dalam diam. Maklum, ketika diam, akan banyak percakapan
yang bisa didengar. Dalam diam, suara risau akan mengalir hingga jauh. Dalam
diam, diam-diam kita menyadari bahwa republik ini adalah republik predator,
surga bagi para koruptor. Selalu saja di media televisi tercium bau busuk
demokrasi comprachios. Selalu saja
ada rezim kekuasaan yang dibangun berdasar kartel-kartel politik yang
menjijikan yang di dalamnya ada banyak kekuasaan oligarki bersifat holistic.
Refleksi Isi Buku
Buku yang ada di tangan pembaca ini
salah satu bagiannya adalah berusaha menjelaskan latar belakang berbagai
perlawanan tersebut dengan perspektif yang kita fahami sendiri sebagai bagian
dari proses perjuangan menegakkan prinsip-prinsip ajaran yang dimiliki oleh
para ulama dan santrinya dalam membela
agama dan bangsanya dari berbagai bentuk penjajahan dan penindasan.
Harus diakui bahwa perjalanan panjang
sejarah bangsa Indonesia kalau kita telusuri lebih mendalam maka hal tersebut
tidak bisa dilepaskan dari dinamika historis kemunculan pesantren-pesantren
sebagai pusat-pusat pendidikan Islam era awal. Dimana fungsi pesantren pada
saat itu selain sebagai kawah
candradimuka atau pusat penempaan kader-kader dakwah Islam juga merupakan
basis pejuangan dalam melawan segala bentuk penjajahan pada saat itu.
Menurut
Manfred Ziemek, kata pondok bedrasal
dari kata funduq (Arab) yang berarti
ruang tidur atau wisma sederhana, karena
pondok memang merupakan tempat penampungan sederhana bagi para pelajar yang
jauh dari tempat asalnya. Sedangkan kata
pesantren berasal dari kata santri yang di imbuhi awalan pe-dan akhiran –an yang berarti menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat
para santri. Terkadang juga di anggap sebagai gabungan kata sant (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga
kata pesantren dapat berarti
tempat pendidikan manusia baik-baik. Sedangkan menurut Geertz, pengertian
pesantren di turunkan dari bahasa India shastri
artinya ilmuan hindu yang pandai menulis, maksudnya, pesantren adalah
tempat bagi orang-orang yang pandai membaca dan menulis.
Pentingnya menggali
sejarah pondok pesantren tersebut karena ia merupakan lembaga pendidikan Islam
tertua di Nusantara. Dalam sejarah perkembangannya pondok pesantren memiliki peranan
yang sangat besar dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Pondok pesantren
telah membuktikan eksistensi dan kiprahnya
menjadi dinamisator dalam setiap proses perjuangan dan pembangunan
bangsa. Kiprahnya tidak hanya sebatas sebagai lembaga pendidikan, namun juga
merupakan lembaga perjuangan, lembaga
sosial, ekonomi, lembaga spiritual
keagaman dan dakwah.
Sejak zaman penjajah, pondok pesantren
merupakan lembaga pendidikan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah
masyarakat, eksistensinya telah mendapat pengakuan masyarakat. Ikut terlibat
dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak hanya dari segi moril, namun
telah pula ikut serta memberikan sumbangsih yang cukup signifikan dalam
penyelenggaraan pendidikan. Sebagai pusat pengajaran ilmu-ilmu agama Islam
(tafaqquh fiddin) telah banyak melahirkan ulama, tokoh masyarakat, muballigh,
guru agama yang sangat dibutuhkan masyarakat. Hingga kini pondok pesantren
tetap konsisten melaksanakan fungsinya dengan baik, bahkan sebagian telah
mengembangkan fungsinya dan perannya sebagai pusat pengembangan masyarakat.
Semasa penjajahan Belanda, lembaga ini
tetap hidup dan berkembang di atas kekuatan sendiri dengan kemandiriannya,
tidak mendapat bantuan dari pemerintah kolonial Belanda. Bagi pemerintah Belanda, lembaga ini bukan hanya tidak
bermanfaat bagi tujuan kolonial, akan tetapi dipandang amat berbahaya, karena Pondok
Pesantren ini tempat persemaian yang amat subur bagi kader-kader yang menentang
penjajahan di muka bumi ini.[10]
Dunia pesantren sarat dengan aneka
pesona, keunikan, kekhasan dan karakteristik tersendiri yang tidak dimiliki
oleh institusi lainnya. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam pertama
dan khas pribumi yang ada di Indonesia pada saat itu. Sejak saat itu, lembaga pesantren tersebut telah memainkan berbagai macam peran dalam
masyarakat Indonesia.
Pada zaman
walisongo, pondok pesantren memainkan peran penting dalam penyebaran agama
Islam di pulau Jawa. Juga pada zaman penjajahan Belanda, hampir semua
peperangan melawan pemerintah kolonial Belanda bersumber atau paling tidak
dapat dukungan sepenuhnya dari pesantren. Itulah salah satu hal yang menjadi
gambaran dan ulasan dari sejarah pesantren, khususnya dalam buku ini adalah sejarah kiprah dan
perjuangan Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon.
Di dalam alam modernisasi dituntut
adanya spesialisasi dan profesionalisasi pekerjaan. Hal tersebut menyebabkan
munculnya berbagai usaha yang dilakukan oleh para kyai dan untuk memikirkan
kembali proses regenerasi ke depan. Institusi-institusi pendidikan yang
berbasis tradisional kemudian mulai memberikan perhatian cukup serius terhadap
modernisasi. Spesialisasi dan profesionalisasi jenis pekerjaan telah menyebabkan
adanya suatu kebutuhan akan kerja sama dalam menyelesaikan tugas-tugas dan
pekerjaan yang sangat tergantung kepada pola bekerja secara teamwork.[11]
Dalam
menguak sejarah sebuah pesantren, maka peranan kyai sangat besar di dalamnya.
Terkait dengan hal ini, kita sejalan dengan ketidaksetujuan Horikoshi tentang
peran kyai sebagai ”broker” kebudayaan. Perilaku “broker” (makelar)
antara nilai budaya Islam dengan nilai-nilai budaya Jawa--sebagaimana yang
telah ditesiskan oleh Geertz--sudah tidak lagi menjadi wujud dari seorang kyai.
Menurut
Horikoshi, seorang Kiai, dewasa ini, berperan sebagai inspirator terjadinya
perubahan-perubahan di pesantren dan masyarakat di sekitar pesantren. Dalam hal
ini, kyai telah menunjukkan perilaku terbuka dengan cara memasukkan
informasi-informasi baru dari luar sebagai bagian dari arus modernisasi.
Meskipun dengan cara selektif dalam
memasukkan informasi, hal itu dilakukan untuk menjaga otoritas kyai sebagai
tokoh yang menempati level teratas struktur masyarakat Jawa dan sekaligus
mempertahankan posisi status quo kepemimpinannya dalam masyarakat.
Horikoshi kurang setuju dengan beberapa faktor yang diungkapkan oleh Geertz
sebagai penyebab utama terjadinya peran kyai sebagai cultural broker.
Faktor-faktor yang dimaksud adalah pertama, hilangnya kekuatan politik
dan ekonomi kyai sebagai akibat dari semakin menguatnya integritas masyarakat
lokal ke dalam sistem masyarakat nasional. Kedua, ketidakmampuan mereka
untuk mengatasi sistem nasional dan lokal. Ketiga, sebagai konsekuensi
dari hilangnya relevansi peran kyai baik
dalam masyarakat, sistem nasional ataupun dalam kedua-duanya.[12]
Demikianlah kecenderungan yang ada pada realitas dunia
pesantren dan para kyainya. Dengan adanya tuntutan modernisasi, banyak kyai kemudian melakukan berbagai upaya positif
untuk memadukan pesantrennya dengan modernitas. Kecenderungan baru perilaku kyai
pesantren tersebut didasarkan pada keinginan untuk mempercepat pembangunan
bangsa Indonesia secara makro dengan cara ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.
Meskipun tidak dipungkiri terdapat landasan-landasan
ekonomi dalam penyelenggaraan pesantren seperti saat ini, akan tetapi hal itu
dilakukan dalam bentuk-bentuk lain, dan bukan merupakan keinginan utama dalam
penyelenggaraan pendidikan pesantren.[13] Pada prinsipnya, upaya memadukan pesantren
dengan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mendirikan Perguruan Tinggi
dimaksudkan guna meningkatkan kesejahteraan dirinya dan masyarakat.[14]
Kondisi ini menunjukkan bahwa keberadaan pesantren dalam realitas
ke-Indonesia-an telah mengalami berbagai pergumulan sosial, politik, ekonomi
dan budaya sehingga pesantren seolah menjadi salah satu pilar pendidikan
Indonesia hingga dewasa ini.
Hal yang mungkin mudah diungkap dari
adanya pembaharuan pesantren tersebut adalah: Pertama, adanya keinginan
dari kyai untuk menjadikan pesantren lebih dari sekedar lembaga pendidikan,
namun berupaya untuk menempatkan pesantren sebagai sentral pengembangan
perekonomian masyarakat dengan mendirikan berbagai koperasi dan unit usaha,
baik dalam skala kecil maupun dalam skala besar. Kedua, adanya keinginan
untuk melakukan perubahan kelembagaan, semisal kepemimpinan dalam pesantren,
baik pola kepemimpinan ataupun gaya kepemimpinan kyai. Ketiga,
pembaharuan substansi atau isi pendidikan dalam pesantren dengan cara
memasukkan subjek-subjek pelajaran umum maupun vocational (ilmu-ilmu
keahlian ataupun keterampilan). Keempat, adanya keinginan untuk
melakukan perubahan metodologis dengan menerapkan sistem klasikal dan
penjenjangan di pesantren.
Pesantren dan Tantangan Modernitas
Dalam dunia modern kita mengalami
banyak sekali perubahan-perubahan yang besar, khususnya perkembagan teknologi
informasi dan komunikasi. Melihat perkembangan dunia yang begitu cepat ini bagi
banyak kalangan telah memunculkan respon yang beragam. Tidak terkecuali bagi umat Islam
dan tidak terkecuali pondok pesantren di
dalamnya.
Perubahan-perubahan yang terus muncul belakangan ini di dalamnya
menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan manusia, aspek ekonomi hingga aspek
nilai-nilai moral. Secara sederhana, era global ini dapat di ilustrasikan
dengan persaingan sengit dalam bidang ilmu dan politik, kemajuan sains, dan
teknologi, arus informasi yang cepat, dan perubahan sosial yang tinggi.
Dalam
memahami gejala modernitas yang kian dinamis pesantren sebagaimana yang di
istilahkan Gus Dur sebagai sebuah ‘sub-kultur’ memiliki dua tanggung jawab
secara bersamaan, yaitu sebagai lembaga agama Islam dan sebagai bagian integral
masyarakat yang bertanggung jawab terhadap perubahan dan rekayasa sosial (social engineering). Karena memiliki
model pendidikan dan cara belajar santri, pesantren sudah selayaknya dan harus
terus menjadi lembaga tafaqquh fiddin
dalam arti luas. Pesantren sepeti dunia akademik, ia memiliki ciri khas tersendiri, bertanggung jawab
atas berbagai fenomena sosial yang berkembang serta menjadi solusi bagi
berbagai dampak negative modernitas, tentunya hal tersebut bagi kelangsungan hidup umat Islam khususnya
dan seluruh manusia pada umumnya sebagai perwujudan nilai Islam rahmatan
lil ‘alamin, rahmat bagi semesta alam.
Untuk dapat menganalisa peran pesantren di era global, sebelumnya harus
di pahami, sebagaimana sudah dibahas pada bagian sebelumnya, bahwa pesantren memiliki akar sosio-historis
yang sangat kuat sehingga membuatnya mampu menduduki posisi yang relatif
sentral dalam dunia keilmuwan masyarakat, dan sekaligus bertahan di tengah
berbagai gelombang perubahan.
Sebagaimana diketahui selama ini pesantren di kenal dengan lembaga pendidikan
pengimbang terhadap sistem pendidikan sekuler yang ada. Secara historis, kalau
kita menerima spekulasi bahwa lembaga pesantren telah ada sebelum Islam masuk
ke Indonesia, maka sangat boleh jadi ia merupakan satu-satunya lembaga
pendidikan dan keilmuan yang ada di luar istana. Dan jika ini benar, berarti
pesantren pada saat itu merupakan lembaga”counter
culture” atau budaya tandingan terhadap budaya keilmuan yang hanya dimonopoli
kalangan istana dan elit Brahmana. Sehingga dengan demikian keberadaan
pesantren sejak awalnya merupakan pusat pendidikan yang menjadi milik
masyarakat secara umum dan sebagai penjaga nilai-nilai keadilan dalam melawan
segala hegemoni dan penindasan penguasa.
Sebagaimana
telah diketahui paparkan, pondok pesantren tradisional adalah lembaga
pendidikan Islam yang selalu mengalami perkembangan bentuk sesuai dengan
perubahan zaman. Terutama adanya dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang membawa trasformasi terhadap pondok pesantren. Dalam hal ini pondok
pesantren bukan berarti telah hilang kekhasannya.
Kalau boleh kita menyitir pendapat KH. Said Agil Siradj (2007), ada tiga
hal yang harus terus dikuatkan dalam pesantren. Pertama, tamaddun yaitu
memajukan pesantren. Kalau kita jujur, masih banyak pesantren yang dikelola
secara sederhana. Manajemen dan administrasinya masih bersifat kekeluargaan dan
semuanya ditangani oleh kyainya. Dalam hal ini, maka pesantren perlu berbenah
diri.
Kedua, tsaqafah,
yaitu bagaimana memberikan pencerahan kepada umat Islam agar kreatif-produktif
dalam kehidupan agamanya, dengan tidak melupakan orisinalitas ajaran Islam.
Salah satu contoh, para santri harus terus dididik untuk selalu tetap setia
dengan tradisi kepesantrenannya. Akan tetapi, mereka juga harus akrab dengan
komputer dan teknologi informasi sertan berbagai ilmu pengetahuan serta sains
modern lainnya.
Ketiga, hadharah,
yaitu membangun budaya. Dalam hal ini, bagaimana budaya kita dapat diwarnai
oleh jiwa dan tradisi Islam. Di sini, pesantren diharap mampu mengembangkan dan
mempengaruhi tradisi yang bersemangat Islam di tengah hembusan dan pengaruh
dahsyat globalisasi yang berupaya menyeragamkan budaya melalui produk-produk
teknologi.[15]
Pesantren dengan demikian diharapkan
terus memiliki komitemen yang kuat dalam
memperjuangkan dan mempertahankan kebaikan dan kebenaran, di samping juga
memiliki komitemen sosial yang tinggi. Kaidah yang mengakar kuat dalam
kultur pesantren adalah al-Muhafadzatu ’ala al-qadim as-shalih wal-akhdzu bil-jadid al-ashlah, melestarkan nilai-nilai lama yang baik dan
mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik.
Demikian juga dengan pengaruh pesantren yang dikenal memiliki kemampuan
hidup (survive) di tengah berbagai
perubahan yang terjadi bahkan dalam keterbatasannya. Pesantren juga dipandang memiliki kemampuan kuat dalam
memobilisasi sumber daya lokal baik berupa tenaga maupun dana. Kyai dipandang
sebagai rujukan dalam kehidupan
masyarakatnya, tidak saja sebagai
pengayom, tapi juga sebagai pemberi
solusi atas problem kehidupan masyarakatnya bahkan di luar masalah-masalah
keagamaan.
Pondok
pesantren sebagai tempat memperdalam ilmu agama juga memacu diri dalam mencari
sesuatu yang baru sesuai dengan pengetahuan dan teknologi. Serta menghadapi
perkembangan zaman dengan tetap mempunyai kandungan iman dan taqwa kepada Allah
SWT. Dengan demikian pondok pesantren menjadi pusat pendidikan agama dan pengetahuan
masyarakat, sekaligus mewujudkan peran transformasi terhadap ide-ide dan
wawasan baru bagi kesejahteraan rakyat dan masyarakat di sekitarnya dan dalam
mengisi pembangunan.
Nilai-nilai
yang dikembangkan dipesantren senantiasa digerakan dan diarahkan oleh
nilai-nilai kehidupan yang bersumber pada ajaran Islam. Ajaran dasar tersebut
berinteraksi dengan struktur kontektual atau realitas sosial yang ada dalam
kehidupan sehari-hari.
Hasil
perpaduan inilah yang membentuk pandangan hidup, dan pandangan hidup inilah
yang menetapkan tujuan pendidikan pesantren yang ingin dicapai dan pemilihan
metode yang akan dilaksanakan. Oleh karena itu, pandangan hidupnya selalu
berubah dan berkembang sesuai dengan perubahan dan perkembangan realitas sosial
yang dihadapi oleh sebuah pondok pesantren.
Semoga saja pesantren tetap
memberi sumbangan konstruktif bagi upaya
menegakkan kembali peradaban umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia pada
umumnya, sehingga kita sebagai umat Islam bisa dihormati, disegani dan lebih
unggul dengan umat yang lain. Dan sebagai bangsa kita bisa menjadi negara dan
bangsa yang berdaulat, bermartabat serta di hormati dalam pergaulan
internasional. Amin.
Babakan
Ciwaringin, 6 Kliwon 1435/5 Juni 2014
M.
[1]. Penjelasan KH. Amin Halim sewaktu masih hidup Kepada
Penuis utama (KH. Zamzami Amin). Penjelasan lebih lanjut bisa dilihat
dilampiran buku Baban Kana terlihat ijazah dari Syech Yasin Kepada KH. Amin
Halim.
[2]Anton E Lukas, Peristiwa Tiga Daerah; Revolusi dalam Revolusi,
(Jakarta: Grafiti Prest, 1989), hlm. 5.
[3] Ibid., hlm. 2.
[4] Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Sejarah Perlawanan
terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Jawa Barat, Jakarta:
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1990, hlm. 100 & 119
[5] P.H. Van Der Kemp, Pemberontakan Cirebon Tahun 1818, Jakarta:
Yayasan Idayu, 1979
[6] Tandi Skober, Namaku Nairem, (Jakarta; Grasindo,
2012). Hlm.1-5.
[7]Ibid.
[8] Makalah Tandi Skober
sebagai pembanding dalam Acara Bedah Buku, Perlawanan
Petani Indramayu Masa Penjajahan Jepang 1942-1945 Karya Wahyu Iryana, 4 April
2012.
[9] Ibid.
[10]
Zamakhsyari Dhafier: Tradisi Pesantren: Studi Tentang pandangan Hidup Kyai, Jakarta:
LP3ES, 1994, hlm. 18
[11] Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya
Mitos Politik Santri, Yogyakarta: SIPRESS, 1992, hlm. 66-67
[12]
Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, terj. Umar Basalim dan Andy
Muarlay S., Jakarta: P3M, 1987, hlm. 240
[13]
Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, terj. Butche B.
Soendjojo, Jakarta: P3M, 1986, hlm. 99
[14]
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Memadu Modernitas untuk Kemajuan Bangsa,
Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009, hlm. 13
[15]
Abdurrahman Mas’ud, Sejarah dan Budaya Pesantren, dalam Ismail S. (ed), : Dinamika Pesantren dan Madrasah,
Yogyakarta: Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo, bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2002.
No comments:
Post a Comment