Sunday, July 19, 2015

Baban Kana (Pondok Pesantren Ciwaringin dalam Melacak Perang Kedondong 1802-1919) Oleh:Wahyu Iryana

Baban Kana diartikan dengan pembuka pintu ilmu pengetahuan. Hal ini berdasarkan  sanad guru Mursid Syech Yasin Padang yang dimandatkan kepada KH. Amin Halim kemudian kepada KH. Zamzami Amin.[1]Buku Baban Kana merupakan ijtihad dari seorang Kiyai Cirebon untuk membuka sejarah peteng penyebaran Islam di Jawa Barat pasca Kanjeng Sunan Gunung Jati. Sebelum Meninggal KH. Hanan Babakan berpesan kepada Kh. Zamzami Amin agar menelusuri jejak penyebaran Islam yang digagas oleh para pendiri pesantren di Cirebon. Walhasil terbitlah buku Baban Kana yang dalam penyusunannya dibantu oleh para penulis muda seperti H. Dasuki, Ali Khosim, Wahyu Iryana dan Zamzami Langut.
Sangat disadari bahwa jarak waktu upaya penulisan kembali dari 2013 dengan peristiwa sejarah 1802-1919 sangat panjang dan lama. Berjarak hampir dua abad. Jarak waktu yang begitu lama banyak menimbulkan berbagai kemungkinan. Di satu pihak menumbuhkan daya obyektifitas di lain pihak memungkinkan daya memori yang semakin melemah, namun hal ini bisa ditepis dengan melakukan kroscheck dengan nara sumber lain yang masih memiliki ingatan yang kuat dan dokumen-dokumen sejarah lain yang cenderung netral.
Penulisan dan penuturan kembali peristiwa sejarah ini, tidaklah didukung atau dimaksudkan untuk mempahlawankan nama-nama para pelaku sejarah. Juga tidak diniatkan untuk memperlihatkan apa-apa yang diperjuangkan dengan pengertian negatif. Kecuali hanya untuk menanamkan kesadaran pada generasi muda, bahwa kemerdekaan adalah mahkota emas yang perlu dimiliki dan dipertahankan  oleh suatu bangsa dan negara yang cinta damai dan kemerdekaan. Korban dan pengorbanan dari pelaku sejarah, dalam membela perdamaian dan kemerdekaan serta keadilan, nilai korban dan pengorbananannya tidak dapat dilepaskan dari nilai perjuangan mewujudkan kesatuan dan keseluruhan perjalanan sejarah bangsa dan negara. Pengukuhan nilai korban dan pengorbanannya hanya dapat dirasakan dan dilihat dari kenyataan pembangunan dengan segenap kemajuan sekarang ini dan yang akan datang. Segenap upaya pembangunan sekarang dan keberhasilannya tidak mungkin terjadi sebelum di dahului oleh peristiwa sejarah yang panjang memperebutkan kemerdekaan yang menuntut korban dan pengorbanan yang tidak sedikit dan tidak kecil dari para pejuang sebagai pendahulunya.[2]Untungnya hampir semua sumber KH. Zamzami Amin memilikinya. Proses penulisan melakukan metode penelitian sejarah yag terbagi kedalam 4 tahapan. Pertama, Heuristik yaitu proses mengumpulkan data dan dokumen. Kedua, Kritik yaitu analisis data dan pemilahan data Ketiga, Interpretasi yaitu gaya imajinasi penulis dalam menakar kridibilitas peristiwa. Keempat,Histioriografi yaitu ijtihad menulis kembali sebagai upaya rekonstruksi sejarah.
 Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah (Jas Merah), begitulah slogan yang sering dikumandangkan oleh Bung Karno. Ya! kita semua memang harus terus belajar  dan memahami sejarah masa lalu. Karena sejarah masa kini adalah hasil perjalanan panjang sejarah masa lampau.
Memiliki pengetahuan tentang peristiwa masa lampau (peristiwa sejarah) penting artinya bagi kehidupan suatu masyarakat atau bangsa. Peristiwa di masa lampau merupakan pelajaran berharga yang dapat dijadikan acuan atau pedoman dalam menjalani kehidupan, baik di masa kini maupun di masa mendatang. Hal ini disebabkan sejarah pada hakekatnya merupakan proses yang menakup tiga dimensi waktu, yaitu masa lampau, masa kini, dan masa depan (past, present, and future).
Masa kini adalah kesinambungan dari masa lampau dan masa depan adalah kesinambungan dari masa sekarang. Sejarah sebagai sumber inspirasi dan sumber informasi yang terperaya sangat dibutuhkan keberadaannya oleh masyarakat dalam rangka menemukan dan memupuk jati diri bangsa, untuk mampu merancang dan mempersiapkan kehidupan di masa mendatang yang lebih baik. Inilah makna hakiki yang diajarkan oleh sejarah.[3]
            Salah satu sejarah lokal yang belum banyak dikaji secara komprehensif adalah sejarah mengenai perkembangan Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Kabupaten Cirebon. Sebagaimana diketahui, bahwa sejarah pondok pesantren ini memiliki catatan historis yang relatif panjang, membentang hingga hingga awal didirikannya yaitu  sekitar tahun 1127 H. / 1715 M. oleh Kyai Jatira. Kyai Jatira adalah gelar dari KH. Hasanuddin putra KH. Abdul Latief dari desa Pamijahan Plumbon Cirebon. Beliau merupakan bagian dari Keraton Cirebon.
Banyak dari pembaca mungkin belum mengetahui bahwa dalam sejarahnya pesantren ini memiliki andil yang besar dalam mengobarkan semangat perlawanan terhadap penjajah Belanda. Bahkan perlawanan tersebut mencapai lebih dari satu abad yaitu dari tahun 1802 hingga 1919.[4] Puncak perlawanan tersebut terjadi pada 1818, dimana peristiwa ini kemudian lebih dikenal dengan Perang Kedondong.
Sejarah terjadinya  Perang Kedondong ini, ditulis dengan gaya laporan  naratif  oleh  orang Belanda bernama Van Der Kamp[5], tentu saja isi buku tersebut berdasarkan perspektifnya dalam memotret kecamuk perang tersebut.  Perang Kedondong berbeda dengan Perang Diponogoro atau Perang Jawa (1825-1830). Perang Diponegoro itu dipicu persoalan pribadi, karena Belanda memasang patok di makam raja-raja Mataram. Kalau pemlawanan rakyat Cirebon yang melibatkan rakyat dengan ketidak puasan monopoli dan paksa sewa pesawahan dan kebun serta paksaan pajak yang tinggi mengakibatkan perlawanan rakyat terhadap penindasan Belanda. Putra mahkota itu menolak menjadi sultan, karena tidak mau tunduk kepada Belanda yang menarik pajak paksa kepada rakyat Cirebon. Akan tetapi, kenapa yang tercatat dalam sejarah nasional, hanya Perang Diponegoro? Perang Cirebon seolah-olah hanya menjadi sejarah local?Pertanyaan ini penting untuk diurai.
Dalam hal ini budayawan kawakan sekaliber Tandi Sekober (Alm) Tandi menerangkan bahwa Jihad fi Sabillilah  sebagai awal kebangkitan nasioalisme dalam sejarah gelap Ceribon terditeksi di era abad 19 hingga awal abad ke-20. Adalah sebuah negeri yang sarat dengan hiruk pikuk radikalisasi yang dipicu oleh ajaran-ajaran eskatologi. Akar radikalisme pada masa itu tumbuh ketika sentimen keagamaan bergerak di pusaran structural conduciveness (struktural yang kondusif) versus structural strain (ketegangan struktural). tersetruktur tersebut bersinerji dengan perilaku radikal di kalangan rakyat Cirebon. Hal ini disebabkan adanya  berbagai kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang bersebrangan dengan kearifan budaya lokal. Kebijakan yang tidak tersetruktur secara arief itu pada  titik terjauh menjadi serpihan pedih di lingkup kolbu pengusung teologi kultural. Ada banyak kebijakan yang cenderung membonsai pengaruh sultan, melecehkan wibawa sultan bahkan menjadikan para sultan di Cirebon tidak lebih sekedar hamba sahaya pemerintah Hindia Belanda. Gaji para sultan sangat kecil bahkan tidak cukup layak untuk keperluan pemeliharaan keraton, upacara ritual tradisional,  serta untuk hidup sehari-hari. Di bidang ekonomi, rakyat pribumi semakin  terpuruk dengan adanya bermacam-macam pajak. Yang bikin sewot, Pemerintah Hindia Belanda melokalisir aktivitas Islam sebagai suatu kekuatan sosial, kultural, dan politik. Inilah akar perlawanan santri Ceribon pada tahun 1818. Bisa jadi, perlawanan ini merupakan gerakan anti perubahan, tetapi lebih tepat sebagai langkah istikamah santri dan rakyat Cirebon dalam menolak dominasi liar penguasa Belanda terhadap  politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Dalam perspektif teologi kultural, hal ini dapat diposisikan sebagai  refleksi mesianistis dan eskatologis saat para santri memprediksi zaman penuh ketentraman, damai, adil, dan makmur. Artinya, mesianistis dan eskatologis telah memberi kontribusi terhadap warna dan aura karakter perlawanan. [6]
Perlawanan santri Cirebon berlangsung 1802-1919, karakteristik perlawaan santri Cirebon nyaris memiliki kemiripan dengan perlawanan-perlawanan di hampir semua keresidenan di Jawa sepanjang abad ke-19. Bahkan elite perlawanan sama sekali tidak memiliki ilmu politik sekaligus relasi orientasi realitas andai pemberontakan berhasil mencapai titik yang mencerahkan. Seperti obor blarak, cuma meledak dalam tempo singkat, usai itu selesai. Terus? Tokoh perlawanan dieksekusi penguasa setempat. Meski singkat, gaung perlawanan mengendap pada ruang ritual kultural yang substansional.
Manusia yang pernah lahir dari rahim sempit sang ibu, menuju alam dunya yang terlihat luas. Insya Allah, kita juga akan lahir dari rahim bumi ke alam akherat yang amat sangat maha luas. Saat megatruh, memecat ruh,  saat itu pula ribuan malaikat tebarkan kemenyan iman di ruhmu. Kita akan terbang bagai burung menuju lintang Jauhar.Sun besuk mariya eman/Yen wonten grananing sasi/Srengenge kembar lelima/Lintang alit gumilar sing/Sawiji tan hana urip/Mung sira kelawan isun/Matiya mungging suwarga/ (Esok, ketika diriku dihentikan kasih sayang/saat gerhana bulan/matahari kembar lima/terhampar bintang bercahaya/tak satupun ada yang hidup/hanya kamu dan aku/wafat menaiki langit-langit surga).[7]
Serpihan suara cikal bakal nasionalisme Indonesia itu—yang kelak menginspirasi santri Tegal Rejo dalam Perang Diponegoro 1825-1830— sulit dilupakan menusa Cerbon. Bermula dari sinilah kesadaran sufistispun mencahayai lelaku menusia Cerbon. “Manusia tercipta dari tanah dan akan kembali ke tanah,” menjadi idiom sufistis khas santri Kedongdong Ceribon yang diamalkan dengan membuat gerabah gentong/ wadasan.
Gentong/wadasan dalam jiwa manusia Ceribon adalah tempat menyimpan air yang terbuat dari tanah liat bernama gentong padasan dan pedaringan. Simak bentuk gentong padasan; ada lingkar kecil yang disusul dengan lingkar besar yang ditengarai sebagai tetenger proses prosesi kontemplasi. Kolbu menusia Ceribon dijewantahkan dalam simbol pedaringan sementara gentong padasan ditakwil para pemahat kultural sebagai simbol kesucian jasadi. Tak aneh, manakala menusa Cerbon tiap kali melihat gentong padasan konon seperti melihat kampung akherat.[8]
Kesadaran sufisme wadasan ini, menjadi titik awal kajiulang dalam memaknai Jihad Fi Sabillilah. Di sini Residen Cherebon Servatius bermain. Ia belokan arah perjuangan kebangkitan nasional menjadi gerakan kebudayaan berbasis sufisme wadasan. Ini bisa disimak dari khutbah Jum’at Kliwon, 20 Nopember 1818—tiga hari setelah eksekusi Nairem dan Ki Bagus Serit—di hampir semua masjid Ceribon dan Indramayu. Khutbah itu alirkan pesan utama “Sun Titip Tajug lan Fakir Miskin. Pesan kultural bahwa inti dari jihad akbar bukan pada perlawanan terhadap kekuasaan tapi pada upaya memakmurkan masjid dengan amalan-amalan soleh dan memberdayakan fakir miskin.
Miskin itu indah. Itulah sebabnya menusa Cirebon kerap tuturkan kearifan tinutur kultur kuno bahwa sangu urip dudu emas dudu pari, tetapi guna kaya purun ingkang den antepi nuhoni trah utama.  Bekal hidup bukan pada gemerlap harta emas mutu manikam, tetapi pada kekayaan akal, kolbu dan orioentasi istikamah menjadi manusia utama. Apa itu menusa utama? Sunan Gunung Djati menyebutnya menusa Cerbon yang bisa dititipi tajug lan fakir miskin.[9]
Tak mustahil,  suara lirih ini sejenis  the eloquency of silence . Adalah  kefasihan dalam kebisuan dinding sejarah kuno Cerbon. Sesuatu yang gelap heneng hening eling yang membuat manusia terperangkap dalam diam. Maklum, ketika diam, akan banyak percakapan yang bisa didengar. Dalam diam, suara risau akan mengalir hingga jauh. Dalam diam, diam-diam kita menyadari bahwa republik ini adalah republik predator, surga bagi para koruptor. Selalu saja di media televisi tercium bau busuk demokrasi comprachios. Selalu saja ada rezim kekuasaan yang dibangun berdasar kartel-kartel politik yang menjijikan yang di dalamnya ada banyak kekuasaan oligarki bersifat holistic.

Refleksi Isi Buku
Buku yang ada di tangan pembaca ini salah satu bagiannya adalah berusaha menjelaskan latar belakang berbagai perlawanan tersebut dengan perspektif yang kita fahami sendiri sebagai bagian dari proses perjuangan menegakkan prinsip-prinsip ajaran yang dimiliki oleh para ulama dan  santrinya dalam membela agama dan bangsanya dari berbagai bentuk penjajahan dan penindasan.
Harus diakui bahwa perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia kalau kita telusuri lebih mendalam maka hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari dinamika historis kemunculan pesantren-pesantren sebagai pusat-pusat pendidikan Islam era awal. Dimana fungsi pesantren pada saat itu selain sebagai kawah candradimuka atau pusat penempaan kader-kader dakwah Islam juga merupakan basis pejuangan dalam melawan segala bentuk penjajahan pada saat itu.
Menurut Manfred Ziemek, kata pondok bedrasal dari kata funduq (Arab) yang berarti ruang tidur atau wisma  sederhana, karena pondok memang merupakan tempat penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh dari  tempat asalnya. Sedangkan kata pesantren berasal dari kata santri yang di imbuhi awalan pe-dan akhiran –an yang berarti menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri. Terkadang juga di anggap sebagai gabungan kata sant (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga  kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik. Sedangkan menurut Geertz, pengertian pesantren di turunkan dari bahasa India shastri artinya ilmuan hindu yang pandai menulis, maksudnya, pesantren adalah tempat bagi orang-orang yang pandai membaca dan menulis.
Pentingnya menggali sejarah pondok pesantren tersebut karena ia merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara. Dalam sejarah perkembangannya pondok pesantren memiliki peranan yang sangat besar dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Pondok pesantren telah membuktikan eksistensi dan kiprahnya  menjadi dinamisator dalam setiap proses perjuangan dan pembangunan bangsa. Kiprahnya tidak hanya sebatas sebagai lembaga pendidikan, namun juga merupakan lembaga perjuangan,  lembaga sosial, ekonomi, lembaga  spiritual keagaman dan dakwah.
Sejak zaman penjajah, pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat, eksistensinya telah mendapat pengakuan masyarakat. Ikut terlibat dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak hanya dari segi moril, namun telah pula ikut serta memberikan sumbangsih yang cukup signifikan dalam penyelenggaraan pendidikan. Sebagai pusat pengajaran ilmu-ilmu agama Islam (tafaqquh fiddin) telah banyak melahirkan ulama, tokoh masyarakat, muballigh, guru agama yang sangat dibutuhkan masyarakat. Hingga kini pondok pesantren tetap konsisten melaksanakan fungsinya dengan baik, bahkan sebagian telah mengembangkan fungsinya dan perannya sebagai pusat pengembangan masyarakat.
Semasa penjajahan Belanda, lembaga ini tetap hidup dan berkembang di atas kekuatan sendiri dengan kemandiriannya, tidak mendapat bantuan dari pemerintah kolonial Belanda. Bagi pemerintah  Belanda, lembaga ini bukan hanya tidak bermanfaat bagi tujuan kolonial, akan tetapi dipandang amat berbahaya, karena Pondok Pesantren ini tempat persemaian yang amat subur bagi kader-kader yang menentang penjajahan di muka bumi ini.[10]
Dunia pesantren sarat dengan aneka pesona, keunikan, kekhasan dan karakteristik tersendiri yang tidak dimiliki oleh institusi lainnya. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam pertama dan khas pribumi yang ada di Indonesia pada saat itu. Sejak saat itu, lembaga pesantren tersebut telah   memainkan berbagai macam peran dalam masyarakat Indonesia.
Pada zaman walisongo, pondok pesantren memainkan peran penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Juga pada zaman penjajahan Belanda, hampir semua peperangan melawan pemerintah kolonial Belanda bersumber atau paling tidak dapat dukungan sepenuhnya dari pesantren. Itulah salah satu hal yang menjadi gambaran dan ulasan dari sejarah pesantren, khususnya  dalam buku ini adalah sejarah kiprah dan perjuangan Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon.
Di dalam alam modernisasi dituntut adanya spesialisasi dan profesionalisasi pekerjaan. Hal tersebut menyebabkan munculnya berbagai usaha yang dilakukan oleh para kyai dan untuk memikirkan kembali proses regenerasi ke depan. Institusi-institusi pendidikan yang berbasis tradisional kemudian mulai memberikan perhatian cukup serius terhadap modernisasi. Spesialisasi dan profesionalisasi jenis pekerjaan telah menyebabkan adanya suatu kebutuhan akan kerja sama dalam menyelesaikan tugas-tugas dan pekerjaan yang sangat tergantung kepada pola bekerja secara teamwork.[11]
            Dalam menguak sejarah sebuah pesantren, maka peranan kyai sangat besar di dalamnya. Terkait dengan hal ini, kita sejalan dengan ketidaksetujuan Horikoshi tentang peran kyai sebagai ”broker” kebudayaan. Perilaku “broker” (makelar) antara nilai budaya Islam dengan nilai-nilai budaya Jawa--sebagaimana yang telah ditesiskan oleh Geertz--sudah tidak lagi menjadi wujud dari seorang kyai.
Menurut Horikoshi, seorang Kiai, dewasa ini, berperan sebagai inspirator terjadinya perubahan-perubahan di pesantren dan masyarakat di sekitar pesantren. Dalam hal ini, kyai telah menunjukkan perilaku terbuka dengan cara memasukkan informasi-informasi baru dari luar sebagai bagian dari arus modernisasi.
Meskipun dengan cara selektif dalam memasukkan informasi, hal itu dilakukan untuk menjaga otoritas kyai sebagai tokoh yang menempati level teratas struktur masyarakat Jawa dan sekaligus mempertahankan posisi status quo kepemimpinannya dalam masyarakat. Horikoshi kurang setuju dengan beberapa faktor yang diungkapkan oleh Geertz sebagai penyebab utama terjadinya peran kyai sebagai cultural broker. Faktor-faktor yang dimaksud adalah pertama, hilangnya kekuatan politik dan ekonomi kyai sebagai akibat dari semakin menguatnya integritas masyarakat lokal ke dalam sistem masyarakat nasional. Kedua, ketidakmampuan mereka untuk mengatasi sistem nasional dan lokal. Ketiga, sebagai konsekuensi dari  hilangnya relevansi peran kyai baik dalam masyarakat, sistem nasional ataupun dalam kedua-duanya.[12]
Demikianlah  kecenderungan yang ada pada realitas dunia pesantren dan para kyainya. Dengan adanya tuntutan modernisasi, banyak kyai   kemudian melakukan berbagai upaya positif untuk memadukan pesantrennya dengan modernitas. Kecenderungan baru perilaku kyai pesantren tersebut didasarkan pada keinginan untuk mempercepat pembangunan bangsa Indonesia secara makro dengan cara ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.
Meskipun tidak dipungkiri terdapat landasan-landasan ekonomi dalam penyelenggaraan pesantren seperti saat ini, akan tetapi hal itu dilakukan dalam bentuk-bentuk lain, dan bukan merupakan keinginan utama dalam penyelenggaraan pendidikan pesantren.[13]  Pada prinsipnya, upaya memadukan pesantren dengan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mendirikan Perguruan Tinggi dimaksudkan guna meningkatkan kesejahteraan dirinya dan masyarakat.[14] Kondisi ini menunjukkan bahwa keberadaan pesantren dalam realitas ke-Indonesia-an telah mengalami berbagai pergumulan sosial, politik, ekonomi dan budaya sehingga pesantren seolah menjadi salah satu pilar pendidikan Indonesia hingga dewasa ini.
Hal yang mungkin mudah diungkap dari adanya pembaharuan pesantren tersebut adalah: Pertama, adanya keinginan dari kyai untuk menjadikan pesantren lebih dari sekedar lembaga pendidikan, namun berupaya untuk menempatkan pesantren sebagai sentral pengembangan perekonomian masyarakat dengan mendirikan berbagai koperasi dan unit usaha, baik dalam skala kecil maupun dalam skala besar. Kedua, adanya keinginan untuk melakukan perubahan kelembagaan, semisal kepemimpinan dalam pesantren, baik pola kepemimpinan ataupun gaya kepemimpinan kyai. Ketiga, pembaharuan substansi atau isi pendidikan dalam pesantren dengan cara memasukkan subjek-subjek pelajaran umum maupun vocational (ilmu-ilmu keahlian ataupun keterampilan). Keempat, adanya keinginan untuk melakukan perubahan metodologis dengan menerapkan sistem klasikal dan penjenjangan di pesantren.
Pesantren dan Tantangan Modernitas
            Dalam dunia modern kita mengalami banyak sekali perubahan-perubahan yang besar, khususnya perkembagan teknologi informasi dan komunikasi. Melihat perkembangan dunia yang begitu cepat ini bagi banyak kalangan telah memunculkan respon  yang beragam. Tidak terkecuali bagi umat Islam dan tidak terkecuali  pondok pesantren di dalamnya.
Perubahan-perubahan yang terus muncul belakangan ini di dalamnya menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan manusia, aspek ekonomi hingga aspek nilai-nilai moral. Secara sederhana, era global ini dapat di ilustrasikan dengan persaingan sengit dalam bidang ilmu dan politik, kemajuan sains, dan teknologi, arus informasi yang cepat, dan perubahan sosial yang tinggi.
Dalam memahami gejala modernitas yang kian dinamis pesantren sebagaimana yang di istilahkan Gus Dur sebagai sebuah ‘sub-kultur’ memiliki dua tanggung jawab secara bersamaan, yaitu sebagai lembaga agama Islam dan sebagai bagian integral masyarakat yang bertanggung jawab terhadap perubahan dan rekayasa sosial (social engineering). Karena memiliki model pendidikan dan cara belajar santri, pesantren sudah selayaknya dan harus terus menjadi lembaga tafaqquh fiddin dalam arti luas. Pesantren sepeti dunia akademik, ia  memiliki ciri khas tersendiri, bertanggung jawab atas berbagai fenomena sosial yang berkembang serta menjadi solusi bagi berbagai dampak negative modernitas, tentunya hal tersebut  bagi kelangsungan hidup umat Islam khususnya dan seluruh manusia pada umumnya sebagai perwujudan nilai Islam  rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi semesta alam.
Untuk dapat menganalisa peran pesantren di era global, sebelumnya harus di pahami, sebagaimana sudah dibahas pada bagian sebelumnya,  bahwa pesantren memiliki akar sosio-historis yang sangat kuat sehingga membuatnya mampu menduduki posisi yang relatif sentral dalam dunia keilmuwan masyarakat, dan sekaligus bertahan di tengah berbagai gelombang perubahan.
Sebagaimana diketahui selama ini pesantren di kenal dengan lembaga pendidikan pengimbang terhadap sistem pendidikan sekuler yang ada. Secara historis, kalau kita menerima spekulasi bahwa lembaga pesantren telah ada sebelum Islam masuk ke Indonesia, maka sangat boleh jadi ia merupakan satu-satunya lembaga pendidikan dan keilmuan yang ada di luar istana. Dan jika ini benar, berarti pesantren pada saat itu merupakan lembaga”counter culture”  atau budaya tandingan  terhadap budaya keilmuan yang hanya dimonopoli kalangan istana dan elit Brahmana. Sehingga dengan demikian keberadaan pesantren sejak awalnya merupakan pusat pendidikan yang menjadi milik masyarakat secara umum dan sebagai penjaga nilai-nilai keadilan dalam melawan segala hegemoni dan penindasan penguasa.
Sebagaimana telah diketahui paparkan, pondok pesantren tradisional adalah lembaga pendidikan Islam yang selalu mengalami perkembangan bentuk sesuai dengan perubahan zaman. Terutama adanya dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang membawa trasformasi terhadap pondok pesantren. Dalam hal ini pondok pesantren bukan berarti telah hilang kekhasannya.
Kalau boleh kita menyitir  pendapat KH. Said Agil Siradj (2007), ada tiga hal yang harus terus dikuatkan dalam pesantren. Pertama, tamaddun yaitu memajukan pesantren. Kalau kita jujur, masih banyak pesantren yang dikelola secara sederhana. Manajemen dan administrasinya masih bersifat kekeluargaan dan semuanya ditangani oleh kyainya. Dalam hal ini, maka pesantren perlu berbenah diri.
Kedua, tsaqafah, yaitu bagaimana memberikan pencerahan kepada umat Islam agar kreatif-produktif dalam kehidupan agamanya, dengan tidak melupakan orisinalitas ajaran Islam. Salah satu contoh, para santri harus terus dididik untuk selalu tetap setia dengan tradisi kepesantrenannya. Akan tetapi, mereka juga harus akrab dengan komputer dan teknologi informasi sertan berbagai ilmu pengetahuan serta sains modern lainnya.
Ketiga, hadharah, yaitu membangun budaya. Dalam hal ini, bagaimana budaya kita dapat diwarnai oleh jiwa dan tradisi Islam. Di sini, pesantren diharap mampu mengembangkan dan mempengaruhi tradisi yang bersemangat Islam di tengah hembusan dan pengaruh dahsyat globalisasi yang berupaya menyeragamkan budaya melalui produk-produk teknologi.[15]
         Pesantren dengan demikian diharapkan terus memiliki komitemen yang kuat  dalam memperjuangkan  dan mempertahankan  kebaikan dan kebenaran, di samping juga memiliki komitemen sosial yang tinggi. Kaidah yang mengakar kuat dalam kultur  pesantren adalah  al-Muhafadzatu ’ala al-qadim as-shalih  wal-akhdzu bil-jadid al-ashlah,  melestarkan nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik.
Demikian juga dengan pengaruh pesantren yang dikenal memiliki kemampuan hidup (survive) di tengah berbagai perubahan yang terjadi bahkan dalam keterbatasannya. Pesantren juga dipandang memiliki kemampuan kuat dalam memobilisasi sumber daya lokal baik berupa tenaga maupun dana. Kyai dipandang sebagai rujukan  dalam kehidupan masyarakatnya,  tidak saja sebagai pengayom, tapi juga sebagai  pemberi solusi atas problem kehidupan masyarakatnya bahkan di luar masalah-masalah keagamaan.
Pondok pesantren sebagai tempat memperdalam ilmu agama juga memacu diri dalam mencari sesuatu yang baru sesuai dengan pengetahuan dan teknologi. Serta menghadapi perkembangan zaman dengan tetap mempunyai kandungan iman dan taqwa kepada Allah SWT. Dengan demikian pondok pesantren menjadi pusat pendidikan agama dan pengetahuan masyarakat, sekaligus mewujudkan peran transformasi terhadap ide-ide dan wawasan baru bagi kesejahteraan rakyat dan masyarakat di sekitarnya dan dalam mengisi pembangunan.
Nilai-nilai yang dikembangkan dipesantren senantiasa digerakan dan diarahkan oleh nilai-nilai kehidupan yang bersumber pada ajaran Islam. Ajaran dasar tersebut berinteraksi dengan struktur kontektual atau realitas sosial yang ada dalam kehidupan sehari-hari.
Hasil perpaduan inilah yang membentuk pandangan hidup, dan pandangan hidup inilah yang menetapkan tujuan pendidikan pesantren yang ingin dicapai dan pemilihan metode yang akan dilaksanakan. Oleh karena itu, pandangan hidupnya selalu berubah dan berkembang sesuai dengan perubahan dan perkembangan realitas sosial yang dihadapi oleh sebuah pondok pesantren.
Semoga saja pesantren tetap memberi sumbangan konstruktif bagi upaya menegakkan kembali peradaban umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya, sehingga kita sebagai umat Islam bisa dihormati, disegani dan lebih unggul dengan umat yang lain. Dan sebagai bangsa kita bisa menjadi negara dan bangsa yang berdaulat, bermartabat serta di hormati dalam pergaulan internasional. Amin.

Babakan Ciwaringin, 6 Kliwon 1435/5 Juni 2014 M.




[1]. Penjelasan KH. Amin Halim sewaktu masih hidup Kepada Penuis utama (KH. Zamzami Amin). Penjelasan lebih lanjut bisa dilihat dilampiran buku Baban Kana terlihat ijazah dari Syech Yasin Kepada KH. Amin Halim.
[2]Anton E Lukas,  Peristiwa Tiga Daerah; Revolusi dalam Revolusi, (Jakarta: Grafiti Prest, 1989), hlm. 5.
[3] Ibid., hlm. 2.
[4] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Jawa Barat, Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1990, hlm. 100 & 119
[5] P.H. Van Der Kemp, Pemberontakan Cirebon Tahun 1818, Jakarta: Yayasan Idayu, 1979
[6] Tandi Skober, Namaku Nairem, (Jakarta; Grasindo, 2012). Hlm.1-5.
[7]Ibid.
[8] Makalah Tandi Skober sebagai pembanding dalam Acara Bedah Buku, Perlawanan Petani Indramayu Masa Penjajahan Jepang 1942-1945 Karya Wahyu Iryana, 4 April 2012.
[9] Ibid.
[10] Zamakhsyari Dhafier: Tradisi Pesantren: Studi Tentang pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1994, hlm. 18
[11] Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri, Yogyakarta: SIPRESS, 1992, hlm. 66-67
[12] Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, terj. Umar Basalim dan Andy Muarlay S., Jakarta: P3M, 1987, hlm. 240
[13] Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, terj. Butche B. Soendjojo, Jakarta: P3M, 1986, hlm. 99
[14] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Memadu Modernitas untuk Kemajuan Bangsa, Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009, hlm. 13
[15] Abdurrahman Mas’ud, Sejarah dan Budaya Pesantren, dalam Ismail  S. (ed), : Dinamika Pesantren dan Madrasah, Yogyakarta: Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo,  bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2002.

No comments:

Post a Comment