Tombo ati iku lima perkarane
Kaping pisan moco Qur’an lan maknane
Kaping pindo shalat wengi lakonono
Kaping telu wong kang sholeh kumpulono
Kaping papat kudu weteng ingkang luwih
Kaping limo zikir wengi ingkang sue
Salah sawijine sopo biso ngelakoni
Mugi- mugi gusti Allah Nyumbadani
(Obat
hati ada lima perkaranya
Yang
pertama baca Qur’an dan maknanya
Yang
kedua shalat malam dirikanlah
Yang
ketiga berkumpulah dengan orang shalah
Yang
keempat perbanyaklah berpuasa
Yang
kelima zikir malam perpanjanglah
Salah
satunya siapa bisa menjalani
Moga-moga
Allah Taala mencukupi)
Nyanyian tombo
ati sejak zaman Walisongo sudah populer dalam masyarakat muslim nusantara,
penuh makna dan tafsir hidup yang merakyat. Syair lagu tombo ati yang kini
kembali dipopulerkan oleh Opick setidaknya menjadi pepeling untuk manusia
modern yang serba duniawi.
Kosep jatidiri
santri yang hakiki menerapkan pribadi yang selalu berzikir, karena sesungguhnya
zikir menjadi kepribadiannya, Allah tujuannya sabar dan kasih sayang
strateginya, Rasulullah teladan dalam hidupnya, bumi menjadi mesjid baginya,
dunia ini pun menjadi surga, sebelum surga sebenarnya. Kalau dia bicara
bicaranya dakwah, kalau dia berdiam, diamnya dalam berzikir, nafasnya tasbih,
matanya penuh rahmat Allah, telinganya terjaga, fikirannya baik sangka, hatinya
diam-diam berdoa,doanya diam-diam
tangannya bersedekah, kakinya berada dalam jalan yang lurus. Kekuatannya
silaturrahim, kesibukannya adalah asik memperbaiki dirinya.
Setidaknya untuk
mengidentifikasi siapakah santri di butuhkan pemetaan khusus atas generasi
santri di Indonesia dari awal hingga sekarang. Istilah santri sebenarnya
melekat pada mereka yang pernah belajar di pesantren. Pernah belajar pada
seorang kiai atau ajengan dan pernah belajar kitab kuning yang menjadi ciri
khas suatu pondok.
Pesisir menunjukan suatu tempat yang berada di pingir laut, sungai, atau sumber air. Menurut sebagian besar sejarawan bahwa Islam Nusantara masuk pertama kali masuk melalui wilayah pesisir. (Nur Khalik Ridwan, 2003:4-5).
Pesisir menunjukan suatu tempat yang berada di pingir laut, sungai, atau sumber air. Menurut sebagian besar sejarawan bahwa Islam Nusantara masuk pertama kali masuk melalui wilayah pesisir. (Nur Khalik Ridwan, 2003:4-5).
Saat ini
kisah-kisah santri di Pesantren menjadi penting untuk kita renungkan. Cerita
kearifan perenial itu menggambarkan kekayaan batin muslim pribumi yang
dirumuskan dalam bentuk khasanah kearifan lokal masyarakat muslim di Nusantara
yang hidup sederhana. Relevansi cerita kultur pesantren menjadi oase dahaga di
tengah suasana kebangsaan yang selalu dirundung duka akibat perilaku orang yang
mengklaim sebagai pimpinan tak ubahnya badut, yang menjelma menjadi penguasa
amatir.
Christopher
Marlowe (1564-1593) seorang dramawan asal Inggris lewat
The Tragical History of Doctor Faustusus mengatakan bahwa potret dunia
politik sebagai pementasan badut-badut politik yang dalam drama keserakahan.
Kondisi banalitas moral politik (banality of politics morals) ditahbiskan
Hannah Arendt sebagai banalitas kejahatan (banality of evil) dengan identitas
utama perayaan kejahatan (korupsi) secara telanjang dan para pelakunya
menampakkan diri seolah ia sosok tidak bersalah dan nyaris kita dipaksa seperti
tak berdaya membangun perlawanan politik (the desert world).
Santri selalu
manut pada Kiai yang selalu berprinsip kebenaran itu jauh lebih penting
diletakkan dalam dialektika yang bersifat dinamis, tidak dalam norma yang
statis. Santri setidaknya mampu memotret secara utuh sebuah realitas kecuali
sekadar bayangan yang menghalangi cara pandang. Karena diposisikan dalam konteks
dialektika, walaupun bagi sebagian orang hal itu menjadi tidak penting. Bagi
santri mengaji dengan tartil makna kehidupan merupakan ibadah tak terhingga
untuk menjemput kuasa illahi. Nyanyian santri pesisir memberi pijar cahaya
peneduh disaat gundah hati tak terobati oleh beribu obat diapotek, ataupun
jarum suntik seorang dokter untuk memberi kekebalan pada tubuh sebagai anti
biotik.
Apa pun peran
yang dijalani santri kelak setelah hijrah jasadi membaur dengan masyarakat luas
untuk memberi pencerahan agama, selama dilakoni dengan berpijak pada haluan
moral yang kukuh, semuanya membawa faedah dan dapat membuat orang yang masih
awam tentang hakikinya agama sejati, setidaknya meringankan beban kegundahan
jiwa. Semua profesi itu harus didesakralisasikan sehingga tidak ada lagi sikap
menuhankan jabatan apalagi menganggap itu segala-galanya. Nalar dialektis ala nyanyian
santri pesisir menjadi penting agar air kehidupan terus mengalir. Tidak diam,
tidak menjadi status quo yang biasanya menjadi sumber berbagai penyakit,
menjadi sarang nyamuk dan penyamun, menjadi tempat nyaman bagi para koruptor
untuk memperkaya diri. Fajar masa depan bagaimanapun juga, kerusakan yang
menimpa kita tidak boleh membuat kita pesimistis dan apatis. Selalu tebersit
cahaya dalam lorong kegelapan menjemput keragaman bernegara yang berhidmat pada
kebhinekaan berbangsa.
Harapan bagi kaum
santri harus tetap dinyalakan. Harapan bisa dikatakan harapan seperti dikatakan
Erich Fromm ketika sikap pasif ditinggalkan, `menunggu untuk menjadi sesuatu’,
sehingga tersemailah keyakinan (faith/ iman). Keyakinan–meminjam tafsir Erich
Fromm–bukan bentuk lemah dari kepercayaan. Ia justru kepastian terhadap yang
belum terjamin, pengetahuan tentang kemungkinan riil yang didasarkan atas
kemampuan menembus permukaan dan melihat intinya.
Seandainya hanya
pasif menunggu lahirnya politisi bermental negarawan, kita tak ubahnya manusia
dungu seperti tergambarkan dalam The Trial-nya Kafka, tentang seorang lelaki
yang tak hentinya menunggu terbukanya pintu surga. Menunggu bertahun-tahun.
Bahkan hampir mati da lam penantian tak menentu. Untuk pertama kalinya, ia
bertanya kepada sang penjaga pintu, “Bagaimana sampai terjadi bahwa sepanjang
tahun ini tak ada seorang pun yang meminta izin untuk masuk kecuali saya?“
Penjaga pintu menjawab, “Tak seorang pun kecuali Anda yang berkeras meminta
izin memasuki pintu ini!“
Santri Menyongsong Masa Depan
Meminjam Istilah
Emha Ainun Nadjib bahwa agama kini sedang digadang-gadang untuk memperbaiki
masa depan umat manusia, khususnya di Indonesia. Ia bagaikan pelita kecil
dihiruk-pikuk kelalaian buramnya wajah kehidupan dunia. Kecemasan para ilmuan
pemerhati sejarah bangsa terhadap keseluruhan hidup berbangsa di negeri kita
dari mulai soul kemanusiaan di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan
pertahanan keamanan serta muatan perilaku sejarah ummat manusia, akhirnya
semuanya bersandar pada muara peran agama. Dan mau tidak mau santri harus mampu
memikul agar manusia itu sendiri yang menjadi objek dari problem di negara ini
memahami letak kekurangannya. Di dalam kenyataan sejarah, ketika alam pikiran
dan alam perilaku manusia telah sedemikian jauh mengalami pemiskinan dari apa
yang secara potensial sebenarnya bisa digali dari agama. Namun yang harus
diingat agama bukan ritus-ritus dan simbol-simbol untuk membidani lahirnya
super hero pembebas untuk mengentaskan problem yang ada di negeri ini.(Emha
Ainun Najib, 1995:115-121).
Dalam
sebuah ayat, Allah SWT memposisikan manusia sebagai wakil-Nya (khalifatulah) di
muka bumi (Q.S. Albaqarah: 30) yang berkewajiban memakmurkan dan
membudidayakannya (Q.S. Hud: 61), sekaligus melestarikan dan menjaga
keseimbangan (equilibrium) lingkungan” (Q.S. Arrahman: 6-9).
Agar
peran mulia kekhalifahan bisa berfungsi optimal, dapat mencapai dimensi
kualitatifnya yang tinggi, maka manusia (dalam hal ini santri) niscaya dengan
ikhlas pada saat yang bersamaan harus melibatkan dimensi kesediaan diri untuk
menegakkan kebaktian/ibadah (‘abdullah).
Di
antaranya dengan memperlakukan lingkungan dengan penuh tanggung jawab. Karena
dalam pandangan Ilahi, alam memiliki hak yang sama dengan manusia (Q.S.
Al-Hijr: 86). Sekali hak alam ini kita abaikan dan atau malah kita perlakukan
dengan kebuasan tak terkendali demi memanjakan hasrat primitif, sudah menjadi
sunatullah, pada ambang batas yang sudah tidak bisa ditolerir lagi alam pun
akan melakukan “perlawanan”.
Perlawanan
yang terartikulasikan dalam wujud “kemarahan” itu bisa mengambil rupa tanah
longsor, amukan badai, banjir yang senantiasa mengepung, cuaca tak menentu, dan
krisis ekologi yang mengerikan lainnya yang justru dampak destruktifnya akan
kembali menimpa jagat manusia. Bukan hanya sekarang tapi bisa nanti menimpa
anak cucu kita, generasi mendatang yang tidak berdosa.
Keterpaduan
dialektis antara fungsi khalifatullah (aktif memakmurkan bumi) dan ‘abdullah
(pasif menerima aturan Allah) inilah sejatinya yang akan mengantarkan seorang
santri memiliki kesadaran syariat ekologis. Kesadaran semata sebagai panggilan
luhur teologi. Kesadaran yang dijangkarkan pada landasan yang kokoh, kearifan
Ilahiah.
Hanya
santri yang mampu bersikap arif yang akan mampu menangkap desah suara keinginan
alam, bisa menjadi mitra autentik untuk berjalin berkelindan bersama-sama
merintih menyucikan (tasbih) Sang Pencipta. “Langit yang tujuh, bumi dan semua
isinya bertasbih kepada Allah dan tidak ada sesuatupun melainkan bertasbih
memuji-Nya” (Q.S. Al-Isra’: 44); bersama-sama khidmat, dan takzim bersjud
kepada Sang Pemilik Alam (Q.S. Al-Haji: 18). Tidak ada alasan baginya untuk
melakukan pembangkangan kepada Tuhan, merusak alam yang notabene menjadisumber
rahmat tempat mendulang rezeki (Q.S. Annam: 64).
Di
sisi lain manusia modern, rasional dan selalu berpikir logis-sistematis
ternyata ketika berhadap dengan alam seringkali memosisikan diri tidak sebagai
mitra. Namun sebagai sosok-sosok durhaka kerumunan promothean yang dengan
pongah merasa absah berbuat apa saja. Kehendak nafsu degil ekonomi (serakah)
dan politik, telah menjebat kita terjatuh dalam kubangan kutub ekstrem: mau
menerima peran khalifatullah namun tidak mau berendah hati menjadi abdullah.
Kita telah menjelma “Malin Kundang” yang dengan tidak tahu diri mencederai sang
“ibu” (pertiwi) yang telah melahirkan dan menebarkan rezeki.
Alhasil,
syair pertaubatan yang lahir dari hati sebagai obat mujarab ditaburi dengan
tasbih yang berangkat dari kesadaran akan keniscayaan menegakkan kerihoan
Illahi, barangkali inilah hal mendesak yang mesti kita lakukan untuk mengakhiri
perilaku menjijikkan kaum korup penguasa sebelum semuanya serba terlambat. Sebelum
alam kian murka dan kita pun tidak bisa lagi menanggulanginya sehingga yang
tersisa hanya ratapan tak bermakna karena semua sudah sirna. Nyanyian santri
pesisir akan terus mengalun diiringin musik rebana yang membahana memberi
pengingat untuk umat manusia dalam menjalani hidup yang hakiki. Mudah-mudahan
kita dapat mengambil nilai positif dari pelajaran berharga syair para wali
penyebar dakwah Nusantara sehingga semesta kita pun kembali menjadi “surga
dunia” sebelum surga yang hahiki di akherat nanti.
Dipublikasikan di Tribun Jabar, Sabtu 11 Januari 2014
No comments:
Post a Comment