Saturday, July 18, 2015

Nyanyian Santri Pesisir Oleh Wahyu Iryana

Tombo ati iku lima perkarane
Kaping pisan moco Qur’an lan maknane
Kaping pindo shalat wengi lakonono
Kaping telu wong kang sholeh kumpulono
Kaping papat kudu weteng ingkang luwih
Kaping limo zikir wengi ingkang sue
Salah sawijine sopo biso ngelakoni
Mugi- mugi gusti Allah Nyumbadani

(Obat hati ada lima perkaranya
Yang pertama baca Qur’an dan maknanya
Yang kedua shalat malam dirikanlah
Yang ketiga berkumpulah dengan orang shalah
Yang keempat perbanyaklah berpuasa
Yang kelima zikir malam perpanjanglah
Salah satunya siapa bisa menjalani
Moga-moga Allah Taala mencukupi)
Nyanyian tombo ati sejak zaman Walisongo sudah populer dalam masyarakat muslim nusantara, penuh makna dan tafsir hidup yang merakyat. Syair lagu tombo ati yang kini kembali dipopulerkan oleh Opick setidaknya menjadi pepeling untuk manusia modern yang serba duniawi.
Kosep jatidiri santri yang hakiki menerapkan pribadi yang selalu berzikir, karena sesungguhnya zikir menjadi kepribadiannya, Allah tujuannya sabar dan kasih sayang strateginya, Rasulullah teladan dalam hidupnya, bumi menjadi mesjid baginya, dunia ini pun menjadi surga, sebelum surga sebenarnya. Kalau dia bicara bicaranya dakwah, kalau dia berdiam, diamnya dalam berzikir, nafasnya tasbih, matanya penuh rahmat Allah, telinganya terjaga, fikirannya baik sangka, hatinya diam-diam berdoa,doanya diam-diam  tangannya bersedekah, kakinya berada dalam jalan yang lurus. Kekuatannya silaturrahim, kesibukannya adalah asik memperbaiki dirinya.
Setidaknya untuk mengidentifikasi siapakah santri di butuhkan pemetaan khusus atas generasi santri di Indonesia dari awal hingga sekarang. Istilah santri sebenarnya melekat pada mereka yang pernah belajar di pesantren. Pernah belajar pada seorang kiai atau ajengan dan pernah belajar kitab kuning yang menjadi ciri khas suatu pondok.
Pesisir menunjukan suatu tempat yang berada di pingir laut, sungai, atau sumber air. Menurut sebagian besar sejarawan bahwa Islam Nusantara masuk pertama kali masuk melalui wilayah pesisir. (Nur Khalik Ridwan, 2003:4-5).
Saat ini kisah-kisah santri di Pesantren menjadi penting untuk kita renungkan. Cerita kearifan perenial itu menggambarkan kekayaan batin muslim pribumi yang dirumuskan dalam bentuk khasanah kearifan lokal masyarakat muslim di Nusantara yang hidup sederhana. Relevansi cerita kultur pesantren menjadi oase dahaga di tengah suasana kebangsaan yang selalu dirundung duka akibat perilaku orang yang mengklaim sebagai pimpinan tak ubahnya badut, yang menjelma menjadi penguasa amatir.
Christopher Marlowe (1564-1593) seorang dramawan asal Inggris  lewat The Tragical History of Doctor Faustusus mengatakan bahwa potret dunia politik sebagai pementasan badut-badut politik yang dalam drama keserakahan. Kondisi banalitas moral politik (banality of politics morals) ditahbiskan Hannah Arendt sebagai banalitas kejahatan (banality of evil) dengan identitas utama perayaan kejahatan (korupsi) secara telanjang dan para pelakunya menampakkan diri seolah ia sosok tidak bersalah dan nyaris kita dipaksa seperti tak berdaya membangun perlawanan politik (the desert world).
Santri selalu manut pada Kiai yang selalu berprinsip kebenaran itu jauh lebih penting diletakkan dalam dialektika yang bersifat dinamis, tidak dalam norma yang statis. Santri setidaknya mampu memotret secara utuh sebuah realitas kecuali sekadar bayangan yang menghalangi cara pandang. Karena diposisikan dalam konteks dialektika, walaupun bagi sebagian orang hal itu menjadi tidak penting. Bagi santri mengaji dengan tartil makna kehidupan merupakan ibadah tak terhingga untuk menjemput kuasa illahi. Nyanyian santri pesisir memberi pijar cahaya peneduh disaat gundah hati tak terobati oleh beribu obat diapotek, ataupun jarum suntik seorang dokter untuk memberi kekebalan pada tubuh sebagai anti biotik.
Apa pun peran yang dijalani santri kelak setelah hijrah jasadi membaur dengan masyarakat luas untuk memberi pencerahan agama, selama dilakoni dengan berpijak pada haluan moral yang kukuh, semuanya membawa faedah dan dapat membuat orang yang masih awam tentang hakikinya agama sejati, setidaknya meringankan beban kegundahan jiwa. Semua profesi itu harus didesakralisasikan sehingga tidak ada lagi sikap menuhankan jabatan apalagi menganggap itu segala-galanya. Nalar dialektis ala nyanyian santri pesisir menjadi penting agar air kehidupan terus mengalir. Tidak diam, tidak menjadi status quo yang biasanya menjadi sumber berbagai penyakit, menjadi sarang nyamuk dan penyamun, menjadi tempat nyaman bagi para koruptor untuk memperkaya diri. Fajar masa depan bagaimanapun juga, kerusakan yang menimpa kita tidak boleh membuat kita pesimistis dan apatis. Selalu tebersit cahaya dalam lorong kegelapan menjemput keragaman bernegara yang berhidmat pada kebhinekaan berbangsa.
Harapan bagi kaum santri harus tetap dinyalakan. Harapan bisa dikatakan harapan seperti dikatakan Erich Fromm ketika sikap pasif ditinggalkan, `menunggu untuk menjadi sesuatu’, sehingga tersemailah keyakinan (faith/ iman). Keyakinan–meminjam tafsir Erich Fromm–bukan bentuk lemah dari kepercayaan. Ia justru kepastian terhadap yang belum terjamin, pengetahuan tentang kemungkinan riil yang didasarkan atas kemampuan menembus permukaan dan melihat intinya.
Seandainya hanya pasif menunggu lahirnya politisi bermental negarawan, kita tak ubahnya manusia dungu seperti tergambarkan dalam The Trial-nya Kafka, tentang seorang lelaki yang tak hentinya menunggu terbukanya pintu surga. Menunggu bertahun-tahun. Bahkan hampir mati da lam penantian tak menentu. Untuk pertama kalinya, ia bertanya kepada sang penjaga pintu, “Bagaimana sampai terjadi bahwa sepanjang tahun ini tak ada seorang pun yang meminta izin untuk masuk kecuali saya?“ Penjaga pintu menjawab, “Tak seorang pun kecuali Anda yang berkeras meminta izin memasuki pintu ini!“
Santri Menyongsong Masa Depan
Meminjam Istilah Emha Ainun Nadjib bahwa agama kini sedang digadang-gadang untuk memperbaiki masa depan umat manusia, khususnya di Indonesia. Ia bagaikan pelita kecil dihiruk-pikuk kelalaian buramnya wajah kehidupan dunia. Kecemasan para ilmuan pemerhati sejarah bangsa terhadap keseluruhan hidup berbangsa di negeri kita dari mulai soul kemanusiaan di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan serta muatan perilaku sejarah ummat manusia, akhirnya semuanya bersandar pada muara peran agama. Dan mau tidak mau santri harus mampu memikul agar manusia itu sendiri yang menjadi objek dari problem di negara ini memahami letak kekurangannya. Di dalam kenyataan sejarah, ketika alam pikiran dan alam perilaku manusia telah sedemikian jauh mengalami pemiskinan dari apa yang secara potensial sebenarnya bisa digali dari agama. Namun yang harus diingat agama bukan ritus-ritus dan simbol-simbol untuk membidani lahirnya super hero pembebas untuk mengentaskan problem yang ada di negeri ini.(Emha Ainun Najib, 1995:115-121).
Dalam sebuah ayat, Allah SWT memposisikan manusia sebagai wakil-Nya (khalifatulah) di muka bumi (Q.S. Albaqarah: 30) yang berkewajiban memakmurkan dan membudidayakannya (Q.S. Hud: 61), sekaligus melestarikan dan menjaga keseimbangan (equilibrium) lingkungan” (Q.S. Arrahman: 6-9).
Agar peran mulia kekhalifahan bisa berfungsi optimal, dapat mencapai dimensi kualitatifnya yang tinggi, maka manusia (dalam hal ini santri) niscaya dengan ikhlas pada saat yang bersamaan harus melibatkan dimensi kesediaan diri untuk menegakkan kebaktian/ibadah (‘abdullah).
Di antaranya dengan memperlakukan lingkungan dengan penuh tanggung jawab. Karena dalam pandangan Ilahi, alam memiliki hak yang sama dengan manusia (Q.S. Al-Hijr: 86). Sekali hak alam ini kita abaikan dan atau malah kita perlakukan dengan kebuasan tak terkendali demi memanjakan hasrat primitif, sudah menjadi sunatullah, pada ambang batas yang sudah tidak bisa ditolerir lagi alam pun akan melakukan “perlawanan”.
Perlawanan yang terartikulasikan dalam wujud “kemarahan” itu bisa mengambil rupa tanah longsor, amukan badai, banjir yang senantiasa mengepung, cuaca tak menentu, dan krisis ekologi yang mengerikan lainnya yang justru dampak destruktifnya akan kembali menimpa jagat manusia. Bukan hanya sekarang tapi bisa nanti menimpa anak cucu kita, generasi mendatang yang tidak berdosa.
Keterpaduan dialektis antara fungsi khalifatullah (aktif memakmurkan bumi) dan ‘abdullah (pasif menerima aturan Allah) inilah sejatinya yang akan mengantarkan seorang santri memiliki kesadaran syariat ekologis. Kesadaran semata sebagai panggilan luhur teologi. Kesadaran yang dijangkarkan pada landasan yang kokoh, kearifan Ilahiah.
Hanya santri yang mampu bersikap arif yang akan mampu menangkap desah suara keinginan alam, bisa menjadi mitra autentik untuk berjalin berkelindan bersama-sama merintih menyucikan (tasbih) Sang Pencipta. “Langit yang tujuh, bumi dan semua isinya bertasbih kepada Allah dan tidak ada sesuatupun melainkan bertasbih memuji-Nya” (Q.S. Al-Isra’: 44); bersama-sama khidmat, dan takzim bersjud kepada Sang Pemilik Alam (Q.S. Al-Haji: 18). Tidak ada alasan baginya untuk melakukan pembangkangan kepada Tuhan, merusak alam yang notabene menjadisumber rahmat tempat mendulang rezeki (Q.S. Annam: 64).
Di sisi lain manusia modern, rasional dan selalu berpikir logis-sistematis ternyata ketika berhadap dengan alam seringkali memosisikan diri tidak sebagai mitra. Namun sebagai sosok-sosok durhaka kerumunan promothean yang dengan pongah merasa absah berbuat apa saja. Kehendak nafsu degil ekonomi (serakah) dan politik, telah menjebat kita terjatuh dalam kubangan kutub ekstrem: mau menerima peran khalifatullah namun tidak mau berendah hati menjadi abdullah. Kita telah menjelma “Malin Kundang” yang dengan tidak tahu diri mencederai sang “ibu” (pertiwi) yang telah melahirkan dan menebarkan rezeki.
Alhasil, syair pertaubatan yang lahir dari hati sebagai obat mujarab ditaburi dengan tasbih yang berangkat dari kesadaran akan keniscayaan menegakkan kerihoan Illahi, barangkali inilah hal mendesak yang mesti kita lakukan untuk mengakhiri perilaku menjijikkan kaum korup penguasa sebelum semuanya serba terlambat. Sebelum alam kian murka dan kita pun tidak bisa lagi menanggulanginya sehingga yang tersisa hanya ratapan tak bermakna karena semua sudah sirna. Nyanyian santri pesisir akan terus mengalun diiringin musik rebana yang membahana memberi pengingat untuk umat manusia dalam menjalani hidup yang hakiki. Mudah-mudahan kita dapat mengambil nilai positif dari pelajaran berharga syair para wali penyebar dakwah Nusantara sehingga semesta kita pun kembali menjadi “surga dunia” sebelum surga yang hahiki di akherat nanti.


Dipublikasikan di Tribun Jabar, Sabtu 11 Januari 2014

No comments:

Post a Comment