Di sini, di antara buruh dan tani, kami generasi yang
kalah menemukan kebenaran dan kekuatannya kembali. Inilah satu-satunya rumah
kami. (Emmanuel Lacaba)
Ada satu persamaan seluruh
gerakan mahasiswa di Dunia pada massanya yaitu bertujuan untuk menegakan
keadilan dan kebenaran. Mengutip dari pernyataan TB Simatupang pada simposium
pemuda Indonesia tanggal 23 Oktober 1980, yang mengatakan bahwa sadari atau
tidak, akui tidak di akui, tiap-tiap bangsa dipengaruhi oleh masa lampaunya
dalam menjalankan tanggung jawabnya di masa kini dan yang akan datang. Masa
lampau bisa menjadi penghambat dan bisa juga menjadi sumber inspirasi yang
memberikan visi dan kegairahan dalam menghadapi tugas-tugas sekarang dan waktu
yang akan datang. (Yozar Anwar, 1981:250).
Sebagaimana setiap periode kebangkitan sebuah generasi
yang melakukan perubahan di berbagai belahan dunia, selalu lahir karya-karya
sastra yang merupakan ungkapan semangat zamannya. Dan kutipan di atas adalah
petikan dari sebuah puisi seorang penyair dan aktivis mahasiswa Filipina yang
menggambarkan semangat generasi muda negeri tersebut yang tengah bergelora
memperjuangkan demokrasi melawan kediktatoran Marcos pada dekade 1970-an.
Kiranya kutipan tersebut tepat untuk menggambarkan semangat kaum muda Patani
yang berada di tanah rantau
saat ini. Perjuangan bagi transformasi masyarakat hanya bisa terwujud apabila
kita berada di tengah-tengah massa rakyat, hidup dan berjuang bersama mereka.
Hampir setiap gerakan yang
dilakukan di belahan negara diawali oleh kelas-kelas terpelajar. Berawal dari
kesamaan ide dan gagasan tentang kegelisahan bersama melalui diskusi-diskusi
tentang isue yang berkembang di negara asal sampai isue yang bersifat
Internasional termasuk di dalamnya isue Timur Tengah dan bangsa-bangsa Eropa. Dari diskusi-diskusi inilah mahasiswa
Patani diharapkan mulai
'menginjeksi' kesadaran massa rakyat, dan kemudian mulai melibatkannya dalam
aktivitas politik yang lebih lanjut sebagai action gerakan. Dalam menjelaskan ke massa rakyat, para aktivis ini
sering memakai analisa "kiri". Walaupun tentu saja varian
"kiri"-nya sangat heterogen. Mereka memberikan gambaran bahwa
ketidakadilan, ketimpangan ekonomi, adalah akibat struktur dan sistem ekonomi
yang kapitalistik dan otoriter. Maka, untuk mengatasi persoalan yang ada harus
memperbaiki sistemnya terlebih dahulu hal ini sudah dilakukan
oleh Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998 untuk menjatuhkan rezim otoriter Soeharto.
Dalam sejarah gerakan mahasiswa di dunia, kita
juga perlu belajar dari sejarah perjuangan mahasiswa Indonesia yakni Gerakan Mahasiswa (GM) '98-yang menjadi
embrio GM saat ini patut mendapatkan acungan jempol. Gerakan ini tidak
hanya bisa memobilisasi jumlah massa yang besar dan berskala nasional, tapi
juga bisa menggulingkan sebuah rezim diktator Orde Baru (Soeharto) yang telah berkuasa hampir 32 tahun.
Dalam hal radikalisasi dan militansi, GM '98 juga bisa
mencatat sejarah baru. Serangkaian demonstrasi yang terjadi mengalami bentrokan
dengan militer. Di Universitas Sebelas Maret Surakarta dan di kampus
Universitas Lampung, misalnya, pada tanggal 17 Maret 1998 terjadi bentrokan
antara mahasiswa-yang ingin melanjutkan rally ke luar kampus- dengan
militer. Sementara di Yogyakarta, tanggal 2-3 April bentrokan terjadi di
Boulevard UGM dan bentrokan berulang pada tanggal 13 April ketika demonstran
dikejar-kejar dan ditembaki oleh militer sampai ke dalam kampus. Hampir delapan
jam kampus UGM dikuasai oleh militer.
Di Medan juga terjadi bentrokan serupa, dalam aksi
tanggal 24 April, demonstran melempari anggota militer dengan molotov.
Akibatnya, kampus Universitas Sumatera Utara (USU) diliburkan beberapa hari.
Pada bulan Mei, aksi-aksi mahasiswa semakin bertambah banyak, kampus-kampus
yang selama itu apolitis ikut terlibat dalam aksi. Peristiwa paling tragis
terjadi tanggal 12 Mei ketika terjadi aksi di Universitas Trisakti, Jakarta,
empat mahasiswa gugur diterjang peluru militer. Sementara pada peringatan Hari
Pendidikan Nasional, tanggal 2 Mei, terjadi bentrokan di Jakarta, Medan,
Yogyakarta, Jember, Malang dan beberapa kota lain. Dalam waktu dua bulan,
antara tanggal 1 Maret sampai 2 Mei, Edwad Aspinal dalam tulisannya, The
Indonesia Student Uprising of 1998 mencatat terjadi 14 bentrokan antara
mahasiswa dan militer yang terjadi di Jawa
Sumatera, Bali, dan Lombok. Bentrokan ini menunjukkan
sikap tegas mereka terhadap militer. Itulah mereka, GM '98 yang sangat
antimiliterisme dan kediktatoran. Dalam sejarah Gerakan Mahasiswa (GM) di manapun posisi mereka terhadap
penguasa selalu kritis, bahkan tidak jarang kemudian menjadi katalisator bagi
tergulingnya sebuah rezim yang tidak demokratis. Biasanya gerakan dimulai
dengan tuntutan-tuntutan demokratis, seperti tuntutan kebebasan berorganisasi,
kebebasan demonstrasi, mogok, kebebasan pers, dan lain-lain. Awalnya mereka
"menyerang" sistem otoritarian di dalam kampus, kemudian gerakan
bergeser dengan menyerang sistem kapitalisme militeristik. Mereka sadar bahwa
sistem di kampus yang "memenjarakan" tidak akan berubah tanpa merubah
sistem negara yang menindas. Tumbuhnya kesadaran "ideologis" ini
merupakan kunci bagi gerakan mahasiswa untuk membuka ruang yang telah mengungkung
mahasiswa selama ini. Walaupun harus juga diakui bahwa kesadaran ideologis ini
tidak selalu mengacu pada aliran politik tertentu. Mungkin lebih tepat, jika
dikatakan bahwa gerakan mahasiswa banyak dituntun oleh "ideologi"
radikalisme dan populisme.
Di negara Indonesia posisi Gerakan Mahasiswa juga tidak jauh seperti dijelaskan di atas. Mereka mengkritisi kebijakan
pemerintah yang dianggap hanya menguntungkan segelintir orang. Misalnya, pada
tahun 1973, Arief Budiman dan kawan-kawan yang memprotes pembangunan TMII.
Pembangunan ini menurut kelompok Arief Budiman tidak sesuai dengan situasi
Indonesia. Bagi mereka ini hanya merupakan proyek ambisius belaka. Akibat
"pembangkangan" ini, Arief Budiman dijebloskan ke dalam bui oleh
rezim Orba. Kemudian, pada bulan Oktober 1973 para mahasiswa mengadakan aksi ke
gedung DPR/MPR menyampaikan "Petisi 24 Oktober". Isi petisi ini
mengkritisi kebijakan pembangunan yang dianggap tidak populis, kebijakan
pembangunan yang dijalankan pemerintah hanya menguntungkan yang kaya. Begitu
juga dengan peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) 1974 yang
memprotes masuknya modal Jepang ke Indonesia. Dan akhirnya, gerakan pun
berhasil melengserkan penguasa Orde Baru yang dipelopori GM '98.
Posisi seperti di atas masih berlaku hingga saat ini.
GM telah berhasil memulai proses reformasi total, namun dalam perjalanannya
proses ini tersendat-sendat hingga kini. Maka, sudah menjadi keharusan sejarah
GM harus menuntaskan reformasi total tersebut. Dan memang, GM yang ada saat ini
tetap konsisten untuk menuntaskan agenda reformasi total. Aksi-aksi terakhir
menunjukkan konsistensi mereka. Pada tanggal 28 September 2000, setelah
Soeharto dinyatakan bebas oleh pengadilan Jakarta Selatan, ribuan mahasiswa
menyerbu Jalan Cendana, dan aksi ini berakhir dengan terjadinya bentrokan
dengan militer. Sepanjang bulan Oktober 2000 tercatat 31 aksi mahasiswa dengan
dua isu utama penolakan kenaikan harga BBM dan pengadilan Soeharto.
Ada dua persoalan pokok yang menjadi sebab reformasi
total tidak bisa segera dituntaskan. Pertama, masih dominannya sisa-sisa
kekuatan Orde Baru-baik di birokrasi, parlemen maupun di tubuh militer sendiri.
Mereka ini-sisa-sisa Orde Baru-terus-menerus melakukan manuver politik agar
dosa-dosa mereka tidak pernah terbongkar dan bisa mempertahankan status quo.
Akibatnya, agenda-agenda utama dari reformasi total seperti pengadilan mantan
Presiden Soeharto, pencabutan Dwi Fungsi TNI, pemberantasan KKN, terus
terganjal. Kedua, usaha-usaha untuk menuntaskan reformasi total sering diganjal
oleh kaum reformis gadungan. Mereka ini yang mengaku reformis, tetapi sering
'memancing di air keruh' untuk kepentingan politik golongannya, bahkan mereka
kadang bersekutu dengan sisa-sisa Orde Baru. Bisa kita ambil contoh tentang
usulan Presiden Abdurrahman Wahid tentang pencabutan Tap MPRS No XXV/
MPRS/1966, kemudian mereka manipulasi untuk mengobarkan isu-isu suku, agama,
ras dan antargolongan (SARA). Mereka ini juga sangat akomodatif terhadap
Dwifungsi TNI dan tidak tegas terhadap penghancuran sisa-sisa Orde Baru.
Akhirnya, memang tidak ada gading yang tak retak.
Begitu juga dengan Gerakan Mahasiswa saat ini. Kendala yang terakhir adalah
kelemahan subyektif gerakan itu sendiri. Yaitu platform yang beragam dari
berbagai organ Gerakan Mahasiswa belum bisa saling dipertemukan. Sehingga,
strategi/taktik bersama untuk merespons perkembangan ekonomi politik pasca
kediktatoran Soeharto belum berhasil dirumuskan. Hal ini juga tidak terlepas
dari adanya problem eksistensialisme dari masing-masing organ pergerakan yang
ada walaupun tidak sekuat gerakan sebelumnya. Yang
jelas Reformasi total merupakan sebuah proses yang tidak sekali jadi, tetapi
membutuhkan waktu dan political will
yang sunguh-sungguh dari pemegang kekuasan.
Semangat Kesatuan Mahasiswa Patani
Apabila kita analisis sisi
positif dari Gerakan Mahasiswa Indonesia di atas, ada
hal hal yang memang perlu di bedah dan diejawantahkan dalam pisau analisis yang
pas sebagai potret nilai gerakan mahasiswa dalam menumbangkan rezim otoriter,
yakni berjuang menciptakan tatanan yang lebih baik di masa yang akan datang.
Tentunya apabila penulis melihat
organ-organ Gerakan Mahasiswa
Patani, Thailand Selatan idealnya harus berani membuka diri satu sama lain,
sembari juga mengajak organ-organ gerakan sosial lainnya yang memiliki visi
yang sama bagi kemajuan dan kesejahtraan warga masyarakat Thailand Selatan. Hanya dengan demikianlah organ-organ
pergerakan bisa solid. Sehingga, daya dorong kepada semangat
persatuan yang utuh, saat ini memang
dibutuhkan jiwa patriuotik islami untuk menghilangkan penghalang-penghalang integrasi kebangsaan, untuk kemudian menuntaskan reformasi yang
'terinterupsi'. Jika hal tersebut bisa dicapai maka tak ada alasan lagi bagi
pemerintahan Thailand
untuk melakukan 'politik dagang sapi' dan konsesi-konsesi dengan kekuatan status
quo.
Tentu harus menjadi bahan renungan tersendiri ketika mahasiswa
Patani, Thailand Selatan datang ke Indonesia untuk menuntut ilmu, datangnya
mereka adalah bagian dari ukhuwah Islamiah karena sejak dulu sebenarnya
masyarakat muslim Nusantara sudah mewarisi hubungan persaudaraan lewat jaringan
ulama di Kawasan Asia. Pendidikan sesungguhnya adalah garda terdepan untuk
merubah status sosial di masyarakat, bahkan agama dan bangsa agar lebih baik.
Jika hal ini mampu disadari oleh seluruh mahasiswa Patani yang ada di seluruh
tanah rantau, maka tidak akan mereka sia-siakan waktu mereka hanya untuk
bersantai-santai, tetapi belajar sungguh-sungguh dan membuka jejaring yang
masif dan bermanfaat sebagai bekal kelak di masa yang akan datang.
Persoalannya adalah, apakah bisa mahasiswa
Patani surfival untuk include menjadi bagian integral mentaati aturan Kampus di
Indonesia, karena terkendala bahasa misalnya? Namun, penulis meyakini sepertinya sifat kejuangan
mahasiswa patani untuk terus maju menapaki tangga pendidikan adalah bagian yang
tidak bisa tergoyahkan untuk menuju hidup yang lebih baik, betapa tidak
saudara-saudara muslim kita di Patani Thailand Selatan terusik jiwanya ketika
sebagian saudara mereka di brondong timah panas oleh tentara pemerintah
Thailand karena di anggap melakukan makar dan separatis terhadap pemerintahan.
Hal ini bisa dinegosiasi dan dimediasi apabila otak lebih dikedepankan dalam
mengatasi problem yang terjadi bukan melulu otot dan militerisme yang membabi
buta tentunya.
Persatuan Mahasiswa Islam
Patani, Thailand Selatan di Indonesia atau lebih dikenal dengan (PMIPTI) adalah
wadah menghimpun diri mahasiswa Patani untuk melakukan diskusi tentang keadaan
warga Patani di Tanah Air, belajar, mengadvokasi, bakti sosial kemasyarakat,
gerakan positif yang memberikan makna berarti untuk bangsa dan agama. Maka
hendaknya PMIPTI melakukan komunikasi kolektef dengan semua sistem baik di
kampus, maupun komunikasi dengan organisasi eksternal yang ada di negara rantau,
manfaatnya pasti banyak, selain membuka jaringan seluas-luasnya, juga
memperkokoh ikatan ukhuwah islami antara sesama muslim.
Tanggung jawab yang riil
Mahasiswa Patani sesungguhnya ketika mereka kembali ke Tanah air setelah
berjibaku dengan pencarian makna hidup di perantauan adalah memberi andil
positif untuk kemajuan masyarakat muslim Patani agar lebih memberi warna hidup
tentang makna kebersamaan, persamaan hak warga negara, semangat persatuan dan
keadilan yang menyeluruh dan bersifat universal.
Penulis meyakini basis
ikatan alumni mahasiswa Patani, yakni mereka yang dulu pernah kuliah di
Indonesia akan lebih progres apabila menghimpun diri kembali untuk bangkit dan
berperan dalam prospek kemajuan bangsa di Patani. Para alumni yang memeliki
nilai lebih entah dalam materi, ataupun karya lain untuk pengembangan
adik-adiknya mahasiswa Patani yang baru kembali ke Tanah Air harus memberikan
magnet positif untuk merangkul dan berjalan beriringan demi visi persatuan dan
persaudaan ukhuwah islami untuk menjunjung kesejahtraan yang lebih menjanjikan.
Setidaknya yang perlu
dilakukan dalam menggalang kembali silaturrahim dengan warga Muslim Patani
adalah dengan metode
pengorganisasian yang pertama harus dilakukan, minimal sederhananya mencari kontak terlebih dahulu. Setelah
itu mengajak diskusi tentang kondisi sosial yang dikaitkan dengan situasi
ekonomi politik nasional terkini dan melakukan gerakan yang
positif membangun. Baik
yang bergerak dalam bidang pendidikan, berwiraswasta, Lembaga Swadaya
Masyarakat, ataupun menjadi aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) tulen yang menaungi
segala kegelisahan masyarakat muslim patani di tingkat lokal, nasional, maupun
Internasional.
Akhirnya, apabila kesadaran ini
mewujud hanya ada dua pilihan bagi pemerintahan
Thailand saat ini: reformasi total
birokrasi kelembagaan pemerintahan atau
memberikan profit yang optimal bagi seluruh
warga negaranya tanpa memandang ras, agama, suku, warna kulit. Semoga saja
kesejahtraan dan kedamaian selalu menyelimuti masyarakat Patani di Thailand
Selatan. Wallahualam.
Dipubish Majalah PPMTI Bandung
No comments:
Post a Comment