Setidaknya untuk
mengidentifikasi siapakah santri di butuhkan pemetaan khusus atas generasi
santri di Indonesia dari awal hingga sekarang. Istilah santri sebenarnya
melekat pada mereka yang pernah belajar di pesantren. Pernah belajar pada
seorang kiai atau ajengan dan pernah belajar kitab kuning yang menjadi ciri
khas suatu pondok.
Sedangkan yang dinamakan santri urban adalah orang yang dahulunya nyantri kemudian melakukan proses urbanisasi (Nur Khalik Ridwan, 2003:4-5).
Sedangkan yang dinamakan santri urban adalah orang yang dahulunya nyantri kemudian melakukan proses urbanisasi (Nur Khalik Ridwan, 2003:4-5).
Sedikitnya ada
dua kelompok santri urban untuk generasi awal. Pertama,
di kalangan generasi pemurnian yang berbasis di perkotaan, mereka adalah Ahmad
Dahlan, A Hassan, dan yang seangkatan. Kedua, dari kalangan pesantren yang
berbasis di pedesaan, generasi awal adalah Hasyim Asy’ari, Bisri Syansuri,
Wahab Hasbulloh, dan yang seangkatan.
Setelah angkatan pertama generasi kedua dari kalangan santri pemurnian adalah Natsir, Isa Anshari, Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, dan yang seangkatan.
Setelah angkatan pertama generasi kedua dari kalangan santri pemurnian adalah Natsir, Isa Anshari, Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, dan yang seangkatan.
Sedangkan untuk
kalangan pesantren di pedesaan digawangi oleh Wahid Hasyim dan yang seangkatan.
Generasi ketiga di kalangan pemurnian diwakili oleh para tokoh seperti Amien
Rais, Nurcholis Majid (Cak Nur), Ahmad Sumargono, Yusril, dan Dawam Raharjo.
Sedangkan di kalangan pesantren generasi ketiga diwakili oleh Gus Dur, Hasyim
Muzadi, dan Masdar Farid Mas’udi.
Setelah Gus Dur
dan Cak Nur meninggal, sekarang ini posisi dan wacana keislaman sepenuhnya
masih dipegang oleh generasi ketiga, sebagai rujukan utama Amien Rais, Masdar F
Masudi, dan kalaupun bisa ditambahkan nama Said Aqil Siraj, Mahfud MD, Din
Syamsudin, Suryadharma Ali, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Ahmad Gaus AF,
Ahmad Baso, bisa masuk ke dalam jajaran nama-nama sesudah angkatan ketiga.
Pertanyaannya
sekarang, apa peran santri urban untuk bangsa Indonesia? Ada berbagai peran
penting yang telah diberikan untuk menggerakkan wacana keislaman di Tanah Air,
yang sarat dengan kepentingan, pertarungan, diskusi, dan berhadapan dengan
wacana-wacana yang lebih mendunia.
Semakin lama,
jumlah dan wacana yang dikemukakan semakin memiliki gaung yang besar.
Setidaknya, golongan penerus kaderkader muda yang mengikuti jejak angakatan
sebelumnya telah berperan dalam kantong-kantong gerakan nonformal, seperti LSM,
kelompok-kelompok diskusi, dan kelompok partikelir yang dengan sendirian pula
bisa menembus ke media massa untuk menulis dan berwacana.
Pertumbuhan
santri urban mengalami berkembang pesat sampai sekarang. Hal ini tidak terlepas
dari pertumbuhan pesantren di seluruh Indonesia. Alasan konkret dari
menjamurnya pesantren adalah untuk mentransmisikan Islam tradisional, karena
salah satu great traditional yang dikembangkan di Indonesia adalah tradisi
pengajaran agama Islam, seperti yang muncul di pesantren.
Salah satu
pengajaran khas di pesantren adalah transformasi keilmuan kitab kuning yang
membahas ilmu alat. Dalam penjabaran yang lebih luas ilmu alat ini mencakup
tata bahasa Arab tradisional, seperti nahu (sintakstis), sharaf (infleksi),
balaghah (retorika), di samping itu juga ada ilmu mantiq (logika) dan ilmu
tajwid (ilmu untuk membaca Alquran dengan baik dan benar).
Pengembaraan
santri urban yang datang dari pesantren tradisional ke kota bisa jadi karena
wawasan dan skill yang dimiliki para santri tersebut kurang mendapat tempat
dalam struktur organisasi di daerahnya. Ini karena kurangnya wadah yang pas
untuk menampung alumnus santri yang mempunyai progres yang tinggi.
Para santri
kemudian saba kota untuk melakukan studi di universitas-universitas Islam,
seperti di institut agama Islam negeri (IAIN) atau universitas Islam negeri
(UIN) bahkan ada juga dari mereka yang belajar ke luar negeri, seperti ke
Mesir, Irak, Yordania, dan Madinah. Setelah lulus mereka bergerak dalam
pemberdayaan masyarakat, jurnalis, bahkan ada yang tetap menggeluti bidang
akademis sebagai staf pengajar dan ada juga dari mereka yang bergerak dalam
bidang politik sebagai wakil rakyat di parlemen.
Santri di era global Globalisasi, menurut Anthony Giddens dalam British Economist menulis bahwa “The Third Way: The Renewal of Sosial Democracy“ adalah suatu kenyataan saat hubungan sosial mendunia tidak ada lagi hambatan dan jarak antara berbagai realitas, satu peristiwa yang terjadi secara lokal dengan kejadian lain yang berlangsung di belahan dunia lainnya.
Santri di era global Globalisasi, menurut Anthony Giddens dalam British Economist menulis bahwa “The Third Way: The Renewal of Sosial Democracy“ adalah suatu kenyataan saat hubungan sosial mendunia tidak ada lagi hambatan dan jarak antara berbagai realitas, satu peristiwa yang terjadi secara lokal dengan kejadian lain yang berlangsung di belahan dunia lainnya.
Perkembangan
zaman mengharuskan santri urban untuk melakukan rekonstruksi dakwah yang ideal
pada zamannya. Santri urban harus tahu dan mengenal substansi dari peradaban global. Secara
terminologi peradaban atau civilization sering diartikan sebagai masyarakat
yang memiliki budaya yang mapan dan organisasi sosial yang dinamis. Dalam arti
lain, peradaban yang dimaksud adalah kemajuan budaya dari suatu masyarakat pada
daerah tertentu dengan ciri organisasi sosial politik yang mapan, pengetahuan,
kemajuan di bidang seni, iptek, dan pertumbuhan produkproduk material yang
kompleks.
Sebagai bagian
dari masyarakat global, santri urban memiliki tanggung jawab besar untuk
merespons isu globalisasi. Karena, motif dari kelahiran santri urban sendiri
tidak terlepas dari perkembangan masyarakat global, yang multietnik, politik,
budaya, dan multiagama. Urbanisasi masyarakat desa ke kota dengan alasan
rasionalnya bahwa kota sebagai pusat kegiatan.
Meminjam bahasa
Rohadi Abdul Fatah, tujuan dari urbanisasi adalah city, large center of
population organized as a community, walaupun pada akhirnya urbanisasi
mengakibatkan problem baru yang berhubungan dengan tempat tinggal, pangan,
fasilitas-fasilatas umum, bahkan kriminalitas yang semakin meningkat. Hal ini
harus dipahami dengan kenyataan bahwa masyarakat terdidik, termasuk santri
urban, harus mempunyai solusi konkret dalam mengawal keadaban pada era
globalisasi tersebut.
Pertanyaannya
sekarang, bagaimanakah santri urban mampu mengelaborasi dakwah dalam era
global? Tentunya santri urban harus mampu masuk dalam dunia media, santri
hendaknya tidak gaptek terhadap teknologi yang berkembang. Media dakwah santri
bisa melalui radio, televisi, media cetak, maupun dakwah via internet.
Banyaknya kontes-kontes dai disadari atau tidak apabila tidak mampu melakukan
akses menyeluruh terhadap perkembangan zaman, ia akan dijadikan boneka entertaiment
belaka.
Pada dasarnya
untuk melakukan dakwah tidak harus menjadi seorang kiai saja. Di manapun kita
berada, seorang santri entah ia sedang berada di pemerintahan, kampus, kantor,
ataupun di gedung parlemen, tanggung jawab moral untuk melakukan transformasi
nilai-nilai Ilahiyah yang positif sudah selayaknya dilakukan, tentunya dengan
diimbangi sikap pekerti santri.
Dalam hal ini
posisi santri urban adalah sebagai mediasi antara relasi agama dan negara.
Paling tidak ada dua landasan argumentasi yang melegalkan hal tersebut.
Pertama, argumentasi normatif teologis dan yang kedua argumentasi historis, keduanya pernah disampaikan Gus Dur dalam satu seminar di Jakarta yang bertajuk “Relasi Negara dan Agama“.
Pertama, argumentasi normatif teologis dan yang kedua argumentasi historis, keduanya pernah disampaikan Gus Dur dalam satu seminar di Jakarta yang bertajuk “Relasi Negara dan Agama“.
Penulis
berharap, pesantren tidak lagi dicap sebagai sarang teroris dan semoga dari
pesantrenlah akan muncul pangeran bersarung (santri) sebagai pemimpin nasional
untuk mengentaskan problem-problem bangsa. Wallahu a’lam
Dipublikasikan di Republika,
10 Februari 2012
No comments:
Post a Comment