Perang Bratayuda Pandawa dan Korawa
sudah berakhir, Pandawa menjadi pemenangnya. Namun sebagai jalmi leutik layaknya Cepot yang sudah ngaula (mengabdi) pada gusti Pandawa bersama sang ayah, Semar
Kudapawana kemenangan gusti Pandawa belum membawa efek positif pada peningkatan
ekonomi keluarga.
Cepot yang terlahir dalam lingkungan
keluarga miskin serba kekurangan, telah membuka mata kita semua, bahwa
perjuangan hidup itu harus disertai dengan pengorbanan Jer Besuki Mawa Bea. pada waktu Cepot masih aktif mengabdi di
keraton Amarta mengikuti Semar, ia telah melakukan terobosan-terobosan yang
progresif salah satu yang dilakukan Cepot ketika berada dilingkungan Keraton
Amarta adalah membentuk desa siaga, dan membentuk Forum Silaturahim Rakyat Raja
(FSRJ) yang dibentuk pada era akhir kepemimpinan Pandawa sebagai media
komunikasi masyarakat kecil dengan rajanya, walaupun proses perebutan kekuasaan
Korawa-Pandawa sudah berakhir dengan kemenangan Pandawa. Garis Kemiskinan
semangin nampak jelas menganga dalam ruang awung-awung Cepot.
Zeitgest benar-benar memberikan
persiapan kepada Cepot untuk memenuhi panggilan zamannya Hal tersebut merupakan
bukti apa yang telah dilakukan Cepot merupakan legitimasi perjuangan rakyat
kecil yang ingin mengubah taraf hidupnya menjadi lebih baik.
Selama 32 tahun, rezim Korawa Astina,
dunia pendidikan telah dihegemoni sebagai anak tiri dengan mengurangi anggaran
negara ke Departemen Pendidikan, dampaknya nasib Umar Bakri yang selalu di
nomer duakan, padahal pendidikan adalah ujung tombak lahirnya generasi penerus
bangsa. Ternyata pengebirian dunia pendidikan itu gagal. Menjamurnya
perguron-perguron baru di dunia pendidikan turut menyemarakkan eforia
pendidikan pasca tumbangnya rezim Korawa Astina. Permasalahannya sekarang,
keinginan orang-orang seperti Cepot yang mempunyai keinginan tinggi untuk
mengubah nasibnya, acapkali paradoksal dengan realitas pendidikan bangsa saat
ini. Terjadi kontradiksi antara aspek potensial yang hendak dikembangkan dengan
aspek riil yang berkembang di lapangan. Apabila itu yang terjadi cita-cita
Cepot untuk menjadi orang berpangkat seperti junjunannya Raden Arjuna dan Prabu
Pandu Dewanata, ibarat kata hanya punduk merindukan bulan.
Harus diperhatikan sosok Cepot bukan
hanya bertahan sebagai seorang yang hidup berharap belas kasih orang lain,
namun Cepot juga dari waktu ke waktu berupaya keras agar hidupnya berubah,
tentunya kea rah yang lebih baik. Masyarakat kecil; seperti Cepot, akan selalu
mendambakan kesejahtaraan hidup untuk mencetuskan gagasan-gagasan idiologi yang
bebas tanpa tedeng aling-aling. Bahwa dalam gagasan pemikirannya, masyarakat
kecil selalu menegaskan semangat kebersamaan, gotong royong dan prinsip
kesatuan silih asah, silih asih, silih asuh. Artinya apa ini semua? Pada masa
krisis nasionalisme dewasa ini, penulis berpendapat bahwa gejala gerakan
radikalisme dan separatisme adalah dampak dari kurangnya rasa kesatuan dan
persatuan bangsa, sehingga gerakan radikalisme tersebut membutuhkan ruang gerak
beremansipasi. Yang dibutuhkan rakyat kecil, seperti Cepot bukan tanda jasa
bukan pula segenggam emas. Namun, keseriusan pemerintah untuk mewujudkan
kedamaian, ketentraman hidup, dan kesejahtraan untuk kejayaan negeri.
Seiring berjalannya waktu, karena
ketidakpastian nasib yang selalu tidak berpihak pada rakyat kecil. Cepot
memberanikan diri untuk membuat pemerintahan sendiri menandingi pemerintahan
junjunannnya, munculnya Parikesit yang masih satu garis keturunan dengan
Pandawa tetap saja tidak membawa perubahan yang signifikan padahal Parikesit
adalah implementasi dari suara rakyat sendiri.
Menjadi Raja Tandingan
Terpilihnya
Parikesit menjadi Raja Amarta, tentu dengan ongkos pemilihan yang mahal, namun
demikian kiranya tujuan bijak yang hendak dicapai adalah untuk menciptakan
negara kesejahtraan, sehingga jelas tujuan akhirnya adalah kemakmuran rakyat.
Emplementasi seorang pemimpin yang dipilih rakyat setidaknya berupaya
meresapkan rasa keadilan merata kepada semua pihak apapun bendera partainya,
budaya, suku, bahasa dan agamanya. Pemimpin dalam literatur manusia Dermayu Cerbon
(DerBon) bermakna “wong agung”, Tarub berteduh dimana kontrak sosial
diakadkan dengan tujuan utama bersama membangun keadaban masyarakat domakratis.
Namun kenyataanya tidak sesuai harapan Cepot, dengan fakta ini Cepot memberanikan
diri menggalang massa dan mendeklarasikan diri menjadi raja tandingan dengan gelar
Prabu Anom Cepot Diraja.
Kerangka
imajinasi manusia modern hendaknya harus mampu menembus sekat-sekat peradaban
yang menghegomoni kesejahtraan rakyat, walaupun wong agung yang diharapkan sebagai pengayom pada praktiknya
ternyata kerap mengalami pasang surut karena terjerat belenggu oyod mingmang (akar belenggu/kebingungan),
kerap terjangkit kegaulan bersikap bijak, dan kebuntuan mengambil peran-peran
urgen yang menentukan nasib rakyat seperti Cepot. Dalam literasi nalar
imajinatif masyarakat Derbon yang berganti wujud untuk menjadi orang lain,
merupakan strategi politik untuk mengelabui lawan agar mendapatkan kemulyaan.
Khasanah
literasi politik manusia Derbon bisa disematkan dalam Wong asih ora kurang pengalem, wong sengit ora kurang penyacad (orang
yang pengasih tidak kurang pujian, orang yang pemarah tidak kurang celaaan).
Agar target untuk menjalankan roda pemerintahan setelah terpilih bisa
dioptimalkan. Karena pada akhirnya yang kita temui adalah wong becik ketitik, wong ala ketara (manusia baik ketauan, manusia
jahat kelihatan). Makna yang lebih luas apabila dikaitkan dengan nalar positip
para pemimpin agar menjadi pepakem adalah kebaikan dan kejelekan seorang
pemimpin tidak akan bisa ditutup-tutupi, karena suatu saat apabila ia berbuat
kesalahan ataupun kebaikan rakyat akan mengetahui.
Cepot
sang raja tandingan pada dasarnya memiliki cita-cita dan keinginan hidup yang
tinggi, yakni menjalankan tugas suci untuk melayani publik. Pemerintahan Cepot
selalu terus berjalan tanpa pernah mundur sedetik pun. Ia mengoptimalkan
seluruh daya kreasinya, akan terus membuat kejutan-kejutan dalam program 100
hari. Apa yang dibuat oleh Cepot akan terus menimbulkan pro dan kontra, suka
dan benci, patuh dan ingkar, dan seterusnya. Efek-efek seperti itu tidak bisa
dihindari oleh siapapun termasuk Raja Parikesit.
Pemimpin
manapun akan terus berkarya. Positif ataupun negatif yang menjadi efek dari
sebuah perbuatan atau keputusan hanyalah sebuah cara pandang saja. Sebab
negatif menurut sebagian orang, boleh jadi positif bagi orang lain.
Resiko-resiko yang didapat manusia dari sebuah perbuatan atau keputusan harus
disadari. Jika manusia tidak menyadari itu, akan muncul euforia yang berlebihan.
Sebagai seorang raja, Cepot juga sadar bahwa tidak ada keputusan yang membawa
dampak positif seratus persen, atau yang mambawa dampak negatif seratus persen.
Semua efek itu, sekali lagi hanyalah sebuah cara pandang para pendukungnya
terhadap apa yang sudah ia lakukan.
Kiranya realitas banyaknya ambiguitas
kepemimpinan di negara Amarta harus segera diselesaikan oleh sang pemangku
kebijakan, karena rakyat awam sekalipun akan selalu memberikan tanda tanya
terhadap berbagai kerisauan berdemokrasi di negeri ini. Pemerintah, dalam hal
ini Raja Parikesit sebagai pewaris sah Kerajaan Amarta beserta jajaran
kabinetnya, serta para anggota dewan dari manapun partainya harus memberikan
solusi kolektif sebagai bagian dari pembelajaran politik masyarakat Amarta.
Jika tidak, hal ini akan membekas pada memori dalam rotasi oyod mingmang. Wallahualam.
Dipublish Kabar Cirebon
No comments:
Post a Comment