Sunday, July 19, 2015

Cepot Raja Tandingan Oleh: Wahyu Iryana

Perang Bratayuda Pandawa dan Korawa sudah berakhir, Pandawa menjadi pemenangnya. Namun sebagai jalmi leutik layaknya Cepot yang sudah ngaula (mengabdi) pada gusti Pandawa bersama sang ayah, Semar Kudapawana kemenangan gusti Pandawa belum membawa efek positif pada peningkatan ekonomi keluarga.
Cepot yang terlahir dalam lingkungan keluarga miskin serba kekurangan, telah membuka mata kita semua, bahwa perjuangan hidup itu harus disertai dengan pengorbanan Jer Besuki Mawa Bea. pada waktu Cepot masih aktif mengabdi di keraton Amarta mengikuti Semar, ia telah melakukan terobosan-terobosan yang progresif salah satu yang dilakukan Cepot ketika berada dilingkungan Keraton Amarta adalah membentuk desa siaga, dan membentuk Forum Silaturahim Rakyat Raja (FSRJ) yang dibentuk pada era akhir kepemimpinan Pandawa sebagai media komunikasi masyarakat kecil dengan rajanya, walaupun proses perebutan kekuasaan Korawa-Pandawa sudah berakhir dengan kemenangan Pandawa. Garis Kemiskinan semangin nampak jelas menganga dalam ruang awung-awung Cepot.
Zeitgest benar-benar memberikan persiapan kepada Cepot untuk memenuhi panggilan zamannya Hal tersebut merupakan bukti apa yang telah dilakukan Cepot merupakan legitimasi perjuangan rakyat kecil yang ingin mengubah taraf hidupnya menjadi lebih baik.
Selama 32 tahun, rezim Korawa Astina, dunia pendidikan telah dihegemoni sebagai anak tiri dengan mengurangi anggaran negara ke Departemen Pendidikan, dampaknya nasib Umar Bakri yang selalu di nomer duakan, padahal pendidikan adalah ujung tombak lahirnya generasi penerus bangsa. Ternyata pengebirian dunia pendidikan itu gagal. Menjamurnya perguron-perguron baru di dunia pendidikan turut menyemarakkan eforia pendidikan pasca tumbangnya rezim Korawa Astina. Permasalahannya sekarang, keinginan orang-orang seperti Cepot yang mempunyai keinginan tinggi untuk mengubah nasibnya, acapkali paradoksal dengan realitas pendidikan bangsa saat ini. Terjadi kontradiksi antara aspek potensial yang hendak dikembangkan dengan aspek riil yang berkembang di lapangan. Apabila itu yang terjadi cita-cita Cepot untuk menjadi orang berpangkat seperti junjunannya Raden Arjuna dan Prabu Pandu Dewanata, ibarat kata hanya punduk merindukan bulan.
Harus diperhatikan sosok Cepot bukan hanya bertahan sebagai seorang yang hidup berharap belas kasih orang lain, namun Cepot juga dari waktu ke waktu berupaya keras agar hidupnya berubah, tentunya kea rah yang lebih baik. Masyarakat kecil; seperti Cepot, akan selalu mendambakan kesejahtaraan hidup untuk mencetuskan gagasan-gagasan idiologi yang bebas tanpa tedeng aling-aling. Bahwa dalam gagasan pemikirannya, masyarakat kecil selalu menegaskan semangat kebersamaan, gotong royong dan prinsip kesatuan silih asah, silih asih, silih asuh. Artinya apa ini semua? Pada masa krisis nasionalisme dewasa ini, penulis berpendapat bahwa gejala gerakan radikalisme dan separatisme adalah dampak dari kurangnya rasa kesatuan dan persatuan bangsa, sehingga gerakan radikalisme tersebut membutuhkan ruang gerak beremansipasi. Yang dibutuhkan rakyat kecil, seperti Cepot bukan tanda jasa bukan pula segenggam emas. Namun, keseriusan pemerintah untuk mewujudkan kedamaian, ketentraman hidup, dan kesejahtraan untuk kejayaan negeri.
Seiring berjalannya waktu, karena ketidakpastian nasib yang selalu tidak berpihak pada rakyat kecil. Cepot memberanikan diri untuk membuat pemerintahan sendiri menandingi pemerintahan junjunannnya, munculnya Parikesit yang masih satu garis keturunan dengan Pandawa tetap saja tidak membawa perubahan yang signifikan padahal Parikesit adalah implementasi dari suara rakyat sendiri.

Menjadi Raja Tandingan

Terpilihnya Parikesit menjadi Raja Amarta, tentu dengan ongkos pemilihan yang mahal, namun demikian kiranya tujuan bijak yang hendak dicapai adalah untuk menciptakan negara kesejahtraan, sehingga jelas tujuan akhirnya adalah kemakmuran rakyat. Emplementasi seorang pemimpin yang dipilih rakyat setidaknya berupaya meresapkan rasa keadilan merata kepada semua pihak apapun bendera partainya, budaya, suku, bahasa dan agamanya. Pemimpin dalam literatur manusia Dermayu Cerbon (DerBon) bermakna “wong agung”, Tarub berteduh dimana kontrak sosial diakadkan dengan tujuan utama bersama membangun keadaban masyarakat domakratis. Namun kenyataanya tidak sesuai harapan Cepot, dengan fakta ini Cepot memberanikan diri menggalang massa dan mendeklarasikan diri menjadi raja tandingan dengan gelar Prabu Anom Cepot Diraja.
Kerangka imajinasi manusia modern hendaknya harus mampu menembus sekat-sekat peradaban yang menghegomoni kesejahtraan rakyat, walaupun wong agung yang diharapkan sebagai pengayom pada praktiknya ternyata kerap mengalami pasang surut karena terjerat belenggu oyod mingmang (akar belenggu/kebingungan), kerap terjangkit kegaulan bersikap bijak, dan kebuntuan mengambil peran-peran urgen yang menentukan nasib rakyat seperti Cepot. Dalam literasi nalar imajinatif masyarakat Derbon yang berganti wujud untuk menjadi orang lain, merupakan strategi politik untuk mengelabui lawan agar mendapatkan kemulyaan.
Khasanah literasi politik manusia Derbon bisa disematkan dalam Wong asih ora kurang pengalem, wong sengit ora kurang penyacad (orang yang pengasih tidak kurang pujian, orang yang pemarah tidak kurang celaaan). Agar target untuk menjalankan roda pemerintahan setelah terpilih bisa dioptimalkan. Karena pada akhirnya yang kita temui adalah wong becik ketitik, wong ala ketara (manusia baik ketauan, manusia jahat kelihatan). Makna yang lebih luas apabila dikaitkan dengan nalar positip para pemimpin agar menjadi pepakem adalah kebaikan dan kejelekan seorang pemimpin tidak akan bisa ditutup-tutupi, karena suatu saat apabila ia berbuat kesalahan ataupun kebaikan rakyat akan mengetahui.
Cepot sang raja tandingan pada dasarnya memiliki cita-cita dan keinginan hidup yang tinggi, yakni menjalankan tugas suci untuk melayani publik. Pemerintahan Cepot selalu terus berjalan tanpa pernah mundur sedetik pun. Ia mengoptimalkan seluruh daya kreasinya, akan terus membuat kejutan-kejutan dalam program 100 hari. Apa yang dibuat oleh Cepot akan terus menimbulkan pro dan kontra, suka dan benci, patuh dan ingkar, dan seterusnya. Efek-efek seperti itu tidak bisa dihindari oleh siapapun termasuk Raja Parikesit.
Pemimpin manapun akan terus berkarya. Positif ataupun negatif yang menjadi efek dari sebuah perbuatan atau keputusan hanyalah sebuah cara pandang saja. Sebab negatif menurut sebagian orang, boleh jadi positif bagi orang lain. Resiko-resiko yang didapat manusia dari sebuah perbuatan atau keputusan harus disadari. Jika manusia tidak menyadari itu, akan muncul euforia yang berlebihan. Sebagai seorang raja, Cepot juga sadar bahwa tidak ada keputusan yang membawa dampak positif seratus persen, atau yang mambawa dampak negatif seratus persen. Semua efek itu, sekali lagi hanyalah sebuah cara pandang para pendukungnya terhadap apa yang sudah ia lakukan.

 Kiranya realitas banyaknya ambiguitas kepemimpinan di negara Amarta harus segera diselesaikan oleh sang pemangku kebijakan, karena rakyat awam sekalipun akan selalu memberikan tanda tanya terhadap berbagai kerisauan berdemokrasi di negeri ini. Pemerintah, dalam hal ini Raja Parikesit sebagai pewaris sah Kerajaan Amarta beserta jajaran kabinetnya, serta para anggota dewan dari manapun partainya harus memberikan solusi kolektif sebagai bagian dari pembelajaran politik masyarakat Amarta. Jika tidak, hal ini akan membekas pada memori dalam rotasi oyod mingmang. Wallahualam.

Dipublish Kabar Cirebon

No comments:

Post a Comment