Memanasnya isu
politik bukan tanpa sebab, dalam analisis masyarakat awam sekalipun semuanya
akan bermuara pada kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). Hal inilah yang menyebabkan
adanya saling sandera antar elite politik. Lalu pertanyaanya sekarang, di
manakah posisi (kepentingan) rakyat? Apakah para elite politik anti kemakmuran
rakyat? Bagaimana peran pemerintahan untuk menjaga kestabilan ekonomi?
Bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang besar, sejak dahulu sudah berjibaku untuk
berjuang merebut kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan dan sekarang saatnya
untuk mengisi kemerdekaan. Sakang jauh apabila kita membandingkan perjuangan
para faunthing Father dengan para pelaku politik praktis sekarang ini. Bisa jadi
karena jiwa zaman (Zeitgest) yang
sudah berbeda. Kegilaan berpolitik di
negeri ini terlalu serius untuk diterjemahkan dalam berbagai dimensi. Ya, tahun
2014 adalah tahun politik, masyarakat akan disuguhkan dengan pertarungan hitam
putihnya politik yang saling berhadapan.
Khasanah literasi politik manusia Dermayu-Cirebon (Derbon) bisa disematkan
dalam Wong asih ora kurang pengale, wong
sengit ora kurang penyacad (orang yang pengasih tidak kurang pujian, orang
yang pemarah tidak kurang celaaan). Agar target untuk menjalankan roda
pemerintahan bisa dioptimalkan. Walaupun harus kita akui kenaikan BBM mau tidak
mau pasti terjadi. Makna yang lebih luas adalah kebaikan dan kejelekan seorang
pemimpin tidak akan bisa ditutup-tutupi, karena suatu saat apabila ia berbuat
kesalahan ataupun kebaikan rakyat akan mengetahui.
Penulis memahami bahwa pembangunan yang sedang
dilaksanakan sekarang pada hakekatnya merupakan proses perubahan sosial (social chenge) dari masyarakat
tradisional menuju masyarakat modern. Namun dalam melakukan proses perubahan
itu, kita sering kehilangan arah yang menimbulkan belbagai dampak negatif dalam
kehidupan sehari-hari. Sebut aja masalah tata kota yang semakin semrawut,
macet, kriminalitas, pelacuran, apatis, frustasi, pengangguran, kerusakan alam
akibat eksploitasi berlebih, banjir, sampah, pengangguran, mahalnya biaya rumah
sakit dan terjadinya kepincangan ekonomi (pathologi
social) antara si kaya dan si miskin dan sebagainya. Ungkapan tersebut
setidaknya mewakili keinginan rakyat Indonesia akan kenaikan BBM, yang
berakibat naiknya sembilan bahan pokok (sembako) dan yang lainnya.
Manusia pada dasarnya memiliki cita-cita dan keinginan hidup yang
tinggi. Alfred Marshall, pakar ekonomi Inggris, dalam bukunya Principles of Economics mengatakan
bahwa kemajuan dalam perhiasan hidup akan meninggalkan standar penghidupan, dan
kalau hal ini yang terjadi maka keadaan ekonomi rakyat akan bertambah baik. Begitu kiranya
yang masyarakat inginkan seperti dalam ulasan Naskah Siksa Kandang Karasian Yun suda yun suka yun mungguh yun luput. Nya
mana sakitu kahayang jalma sareyana. (ingin sehat, ingin kaya, ingin masuk
suraga, ingin moksa, ya hanya itulah macam keinginan manusia). Inilah
sesungguhnya keinginan mendasar masyarakat setidaknya dari sudut manusia Sunda,
keinginan hidup yang bersifat jasmani dan ruhaniah. Mungkin karena itu pula, manusia
Jawa Barat pada umumnya selalu mengukur setiap kebijakan pemerintah dengan
tercukupinya rohani dan jasmani secara khaffah.
Faktanya sekarang, Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla
telah memaksa menaikan BBM dengan berbagai pertimbangan politis. Hal ini
setidaknya, sadari atau tidak pemerintah mengharuskan kita untuk menerima kenyataan bahwa pertarungan dan
perebutan kekuasaan yang terjadi mengakibatkan kelalaian dan tugas suci untuk
melayani publik. Pemerintah
lebih senang mengurus titik tekan pertimbangan politis, atau kepentingan partainya
masing-masing, daripada memikirkan nasib rakyat kecil yang
tertindas oleh jiwa zamannya (zeitgest). Asep Salahudin (2011) pernah menegaskan bahwa idealnya seorang pemimpin
harus memiliki sifat yang khodimul ummah (pelayan
masyarakat) dalam makna yang tuntas, bukan sekadar wacana. Politik tidak
dimaknai sebagai meraih kekuasaan dengan “menjual” masyarakat, tetapi politik
sebagai katup kebudayaan guna meraih keadaban hidup.
Control Public
Mengutip data
dari Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia bahwa saat ini ada 21 Gubernur,
7 Wakil Gubernur, 156 Bupati, 46 Wakil Bupati, 41 Wali Kota, dan 20 wakil Wali
Kota terjerat kasus korupsi data ini dimungkinkan akan bertambah. Ditambah lagi
1.221 aparatur negara, 185 sudah menjadi tersangka menunggu vonis hukum, 122
terdakwa, 877 terpidana, 44 orang sebagai saksi kasus korupsi (29/5/2013).
Dalam perspektif Cerbon Pegot ala Tandi Skober terpatri ” Sun besuk
mariya eman/Yen wonten grananing sasi/Srengenge kembar lelima/Lintang alit
gumilar sing/Sawiji tan hana urip/Mung sira kelawan isun/Matiya mungging
suwarga/ (Esok, ketika diriku dihentikan kasih sayang/saat gerhana
bulan/matahari kembar lima/terhampar bintang bercahaya/tak satupun ada yang
hidup/hanya kamu dan aku/wafat menaiki langit-langit surga). Karena sesungguhnya kuasa
politik akan senantiasa berhimpitan secara timbal balik dengan nilai-nilai
budaya yang dianut para pelakunya. Para pelaku politik pada dasarnya memiliki
kecenderungan untuk tidak berdusta. Ia terikat pada etika untuk selalu
mengatakan bahwa yang benar itu adalah benar, dan bahwa yang salah itu adalah
salah. Jika sewaktu-waktu berdusta, maka perbuatan dustanya itu akan mendapat
perlawanan nurani. Dan pesan perlawanan ini dapat pula ditangkap lensa nurani
melalui isyarat bahasa tubuh, termasuk makna paralinguistik yang pada umumnya
tampak pada raut muka para pelakunya.
Meningkatnya absolutisme korupsi dalam elite
penguasa, berbarengan dengan sikap hedonisme, melonggarnya keberpihakan terhadap
rakyat, maraknya aksi kekerasan, konflik SARA dan dari semua itu kemudian akan
bermuara pada meningkatnya disintegrasi sosial dan politik adalah Pekerjaan
Rumah (PR) dari kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) kepada Joko
Widodo (Jokowi). Di sinilah perlunya pemerintahan Jokowi-JK yakni revitalisasi
dengan melakukan koreksi total terhadap berbagai aspek budaya peradaban. Proses
itu bisa di mulai melalui pembenahan sistem pemerintahan kolektif yang lebih
serius agar tidak melahirkan pemimpin yang koruptif, warga masyarakat akan
selalu menjadi Agent of Control untuk pemerintah untuk perbaikan negeri yang
lebih maju dan sejahtera. Untuk itu diperlukan pengembangan budaya politik yang
pro rakyat, yang mampu mewadahi orientasi politik sehat. Karena pengembangan
keadaban demokratis sangat tergantung pada penyesuaian kultural dan
institusional.
Dipublish Tribun Jabar
No comments:
Post a Comment