Sunday, July 19, 2015

Besar Pasak Negeri Pemimpi (n) Oleh: Wahyu Iryana

Memanasnya isu politik bukan tanpa sebab, dalam analisis masyarakat awam sekalipun semuanya akan bermuara pada kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). Hal inilah yang menyebabkan adanya saling sandera antar elite politik. Lalu pertanyaanya sekarang, di manakah posisi (kepentingan) rakyat? Apakah para elite politik anti kemakmuran rakyat? Bagaimana peran pemerintahan untuk menjaga kestabilan ekonomi?
Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar, sejak dahulu sudah berjibaku untuk berjuang merebut kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan dan sekarang saatnya untuk mengisi kemerdekaan. Sakang jauh apabila kita membandingkan perjuangan para faunthing Father dengan para pelaku politik praktis sekarang ini. Bisa jadi karena jiwa zaman (Zeitgest) yang sudah berbeda.  Kegilaan berpolitik di negeri ini terlalu serius untuk diterjemahkan dalam berbagai dimensi. Ya, tahun 2014 adalah tahun politik, masyarakat akan disuguhkan dengan pertarungan hitam putihnya politik yang saling berhadapan.
Khasanah literasi politik manusia Dermayu-Cirebon (Derbon) bisa disematkan dalam Wong asih ora kurang pengale, wong sengit ora kurang penyacad (orang yang pengasih tidak kurang pujian, orang yang pemarah tidak kurang celaaan). Agar target untuk menjalankan roda pemerintahan bisa dioptimalkan. Walaupun harus kita akui kenaikan BBM mau tidak mau pasti terjadi. Makna yang lebih luas adalah kebaikan dan kejelekan seorang pemimpin tidak akan bisa ditutup-tutupi, karena suatu saat apabila ia berbuat kesalahan ataupun kebaikan rakyat akan mengetahui.
 Penulis memahami bahwa pembangunan yang sedang dilaksanakan sekarang pada hakekatnya merupakan proses perubahan sosial (social chenge) dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Namun dalam melakukan proses perubahan itu, kita sering kehilangan arah yang menimbulkan belbagai dampak negatif dalam kehidupan sehari-hari. Sebut aja masalah tata kota yang semakin semrawut, macet, kriminalitas, pelacuran, apatis, frustasi, pengangguran, kerusakan alam akibat eksploitasi berlebih, banjir, sampah, pengangguran, mahalnya biaya rumah sakit dan terjadinya kepincangan ekonomi (pathologi social) antara si kaya dan si miskin dan sebagainya. Ungkapan tersebut setidaknya mewakili keinginan rakyat Indonesia akan kenaikan BBM, yang berakibat naiknya sembilan bahan pokok (sembako) dan yang lainnya.
Manusia pada dasarnya memiliki cita-cita dan keinginan hidup yang tinggi. Alfred Marshall, pakar ekonomi Inggris, dalam bukunya Principles of Economics mengatakan bahwa kemajuan dalam perhiasan hidup akan meninggalkan standar penghidupan, dan kalau hal ini yang terjadi maka keadaan ekonomi rakyat akan bertambah baik. Begitu kiranya yang masyarakat inginkan seperti dalam ulasan Naskah Siksa Kandang Karasian Yun suda yun suka yun mungguh yun luput. Nya mana sakitu kahayang jalma sareyana. (ingin sehat, ingin kaya, ingin masuk suraga, ingin moksa, ya hanya itulah macam keinginan manusia). Inilah sesungguhnya keinginan mendasar masyarakat setidaknya dari sudut manusia Sunda, keinginan hidup yang bersifat jasmani dan ruhaniah. Mungkin karena itu pula, manusia Jawa Barat pada umumnya selalu mengukur setiap kebijakan pemerintah dengan tercukupinya rohani dan jasmani secara khaffah.
Faktanya sekarang, Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla telah memaksa menaikan BBM dengan berbagai pertimbangan politis. Hal ini setidaknya, sadari atau tidak pemerintah mengharuskan kita untuk menerima kenyataan bahwa pertarungan dan perebutan kekuasaan yang terjadi mengakibatkan kelalaian dan tugas suci untuk melayani publik. Pemerintah lebih senang mengurus titik tekan pertimbangan politis, atau kepentingan partainya masing-masing, daripada memikirkan nasib rakyat kecil yang tertindas oleh jiwa zamannya (zeitgest). Asep Salahudin (2011) pernah menegaskan bahwa idealnya seorang pemimpin harus memiliki sifat yang khodimul ummah (pelayan masyarakat) dalam makna yang tuntas, bukan sekadar wacana. Politik tidak dimaknai sebagai meraih kekuasaan dengan “menjual” masyarakat, tetapi politik sebagai katup kebudayaan guna meraih keadaban hidup.
Control Public
Mengutip data dari Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia bahwa saat ini ada 21 Gubernur, 7 Wakil Gubernur, 156 Bupati, 46 Wakil Bupati, 41 Wali Kota, dan 20 wakil Wali Kota terjerat kasus korupsi data ini dimungkinkan akan bertambah. Ditambah lagi 1.221 aparatur negara, 185 sudah menjadi tersangka menunggu vonis hukum, 122 terdakwa, 877 terpidana, 44 orang sebagai saksi kasus korupsi (29/5/2013).
Dalam perspektif Cerbon Pegot ala Tandi Skober terpatri Sun besuk mariya eman/Yen wonten grananing sasi/Srengenge kembar lelima/Lintang alit gumilar sing/Sawiji tan hana urip/Mung sira kelawan isun/Matiya mungging suwarga/ (Esok, ketika diriku dihentikan kasih sayang/saat gerhana bulan/matahari kembar lima/terhampar bintang bercahaya/tak satupun ada yang hidup/hanya kamu dan aku/wafat menaiki langit-langit surga). Karena sesungguhnya kuasa politik akan senantiasa berhimpitan secara timbal balik dengan nilai-nilai budaya yang dianut para pelakunya. Para pelaku politik pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk tidak berdusta. Ia terikat pada etika untuk selalu mengatakan bahwa yang benar itu adalah benar, dan bahwa yang salah itu adalah salah. Jika sewaktu-waktu berdusta, maka perbuatan dustanya itu akan mendapat perlawanan nurani. Dan pesan perlawanan ini dapat pula ditangkap lensa nurani melalui isyarat bahasa tubuh, termasuk makna paralinguistik yang pada umumnya tampak pada raut muka para pelakunya.

 Meningkatnya absolutisme korupsi dalam elite penguasa, berbarengan dengan sikap hedonisme, melonggarnya keberpihakan terhadap rakyat, maraknya aksi kekerasan, konflik SARA dan dari semua itu kemudian akan bermuara pada meningkatnya disintegrasi sosial dan politik adalah Pekerjaan Rumah (PR) dari kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) kepada Joko Widodo (Jokowi). Di sinilah perlunya pemerintahan Jokowi-JK yakni revitalisasi dengan melakukan koreksi total terhadap berbagai aspek budaya peradaban. Proses itu bisa di mulai melalui pembenahan sistem pemerintahan kolektif yang lebih serius agar tidak melahirkan pemimpin yang koruptif, warga masyarakat akan selalu menjadi Agent of Control untuk pemerintah untuk perbaikan negeri yang lebih maju dan sejahtera. Untuk itu diperlukan pengembangan budaya politik yang pro rakyat, yang mampu mewadahi orientasi politik sehat. Karena pengembangan keadaban demokratis sangat tergantung pada penyesuaian kultural dan institusional. 

Dipublish Tribun Jabar

No comments:

Post a Comment