Saturday, July 18, 2015

Kemat Jaran Guyang Baridin Oleh: Wahyu Iryana

Kemat bisa juga diartikan dengan pelet, dalam literasi budaya Cirebon-Dermayon Kemat merupakan doa-doa yang memiliki tuah yang sangat dahsyat karena dibacakan dengan memakai ritual mati geni tanpa makan, minum, dan tidur dengan jangka waktu yang telah ditentukan. Dalam cerita yang diadopsi dalam budaya tarling Cirebon-Dermayon lakon kemat jaran goyang Baridin merupakan latar cerita yang sangat diminati oleh masyarakat pecinta tarling, bukan hanya karena diangkat dari kisah nyata hidup Baridin tetapi juga kekhasan literasi bahasa kerakyaatan yang sangat dominan dalam kultur budaya pesisir.
Pada dekade tahun 1960-an populeritas Baridin dan Ratminah dalam lakon kemat jaran goyang telah menjelma menjadi hiburan rakyat yang bisa ditemui lewat pentas tarling dalam road show disetiap hajatan dari desa ke desa sepanjang jalur pantura seperti daerah Pamanukan, Indramayu, Cirebon, Palimanan, Brebes, dan Tegal Perbatasan Jawa tengah.
Kisah seputar rakyat jelata yang dihinggapi kultur budaya riligius telah dikemas dengan apik di atas panggung tarling yang terus berotasi dari desa ke desa. Gambaran kehidupan dalam kemat jaran goyang meliputi unsur religius yang tinggi, ditambah juga dengan nilai-nilai manusiawi akan kuasa unsur harta, tahta, dan wanita yang mengkristal utuh  sebagai kisah yang nyentrik gubahan Abdul Najib.
Kemat jaran goyang telah menjadi legenda hidup kisah nyata Baridin pemuda desa yang bekerja sebagai petani miskin anak dari seorang Janda Mbok Wangsih, jatuh cinta pada seorang perempuan cantik bernama Ratminah yang merupakan anak dari orang terkaya bernama bapak Haji Dablon. Karena cinta Baridin ditolak secara mentah-mentah oleh Ratminah bahkan menghina dan mencaci maki secara berlebihan, membuat Baridin sakit hati, ia hidup menyendiri tidak makan tidak minum selama 40 hari melakukan mati geni, sebagai ritual ajian Kemat Jaran Goyang. Singkat cerita Ratminah kemudian menjadi terhipnotis  setiap waktu mengingat, dan memanggil-manggil nama Baridin. Terkadang tertawa dan menangis sendiri seperti orang gila. Ratminah keluar dari rumah mencari cari Baridin berjalan dari desa ke desa sambil bernyanyi dan tertawa-tawa menyebut nama Baridin sampai keduanya bertemu di pinggir pematang sawah. Karena Ratminah berhari hari tidak makan setalah bertemu miminta maaf dan mengungkapkan rasa cintanya kepada Baridin. Akhirnya Ratminah mengembuskan nafas terakhir. Begitupun Baridin yang sudah kurus kerempeng karena mati geni, kemudian meninggal dunia menyusul Ratminah. Jasad keduanya diketemukan oleh sahabat dekat Baridin bernama Gemblung Pinulung. Sebagai saksi perjalanan kedua manusia yang saling mencinta akhirnya mereka dikubur bersama dan masih bisa disaksikan sampai sekarang di Cirebon sebagai ibroh dan pembelajaran untuk manusia yang masih hidup.
Berikut adalah contoh bacaan kemat jaran goyang Baridin yang sudah digubah oleh penulis bisa jadi tidak kalah dengan sajak-sajak Ahda Imron atau pun pupuh guritan Asep Salahudin“Niat isun matak ajiku Jaran Goyang/ Sun tabukake petiku sawisi/Gemebyar gebyar marang badanku/Wong Sabuana ayu elinga/ welase ning badan isun si jabang nok ayu Ratminah/Mbrengenga kaya jaran/ teka welas, teka asih, marang badanku/ Lailahaillah Muhamammadurrulullah.”(Kubaca doa aji jaran goyang (kuda goyang), di sini kubuka peti sunyi batin runyam, saat gemerlap merasuki nalar ragaku, Wahai manusia sejagad, ingatlah sayangilah diriku/ semoga Ratminah menyayangiku/ seperti ringkik kuda/kasih dan sayangi diriku/Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad itu Rasul Allah).
Ekspresi kisah Baridin mengilhami esensi moral wong Cirebon-Dermayon yang  mampu menebus sekat-sekat budaya. Walaupun dalam guyonan Tandi Skober yang berkata dengan terkekeh “Cung!!!, Wadon sekien masangarah takluk kelawan kemat jaran goyang, pun kalah karo kemat Jepang hehe (Perempuan sekarang tidak bakal terpikat dengan kemat jaran goyang, karena sudah kalah dengan kemat Jepang)”.
Relasi Budaya
Baridin berupaya keras untuk menjadi manusia yang diewongke adalah suatu kewajaran sebagai manusia yang memiliki kedudukan yang sama dihadapan Tuhan. Setiap individu dimanapun dia dilahirkan adalah mahluk yang sama oleh karenanya setiap manusia memiliki hak yang sama dalam hidup. Logika yang dipakai manusia kebanyakan seperti halnya Baridin itulah yang melandasi lahirnya Declaration of Human Right, Logika Baridin sebagai manusia yang berkeinginan untuk memilih pendamping hidup tidak menutup diri dalam sekat si kaya dan si miskin. Mencoba membuka tabir yang masih menyelimuti kultur budaya Cirebon-Dermayon yang selalu melihat perjodohan agar selalu papak (sama derajat) dalam ekonomi ataupun keturunan keluarganya.
Cirebon-Dermayon sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ruang gerak Baridin sebagai manusia posmodern tidaklah merujuk pada komunitas etnis, tetapi ia merupakan hasil hubungan etnis. Hubungan dari proses pengidentifikasian simbol-simbol. Masyarakat etnis seperti Baridin perlu diberdayakan lewat kebebasan berorganisasi dalam mengeksplorasi narasi-narasi keberagaman yang selama ini sesak bernafas. Sejauh apa falsafah Baridin mengembangkan hidup yang equal terhadap dunia luar bisa digali lewat narasi-narasi yang di ditilemkeun oleh wakil-wakil Baridin (rakyat) diparlemen.
Baridin yang hidup di bawah garis kemiskinan sering dianggap sebagai manusia peralihan jiwa jaman (Zeitgest), yang masih memaknai ruang batin dengan nuansa religi yang sangat luas. Keinginan manusia Cirebon-Dermayon pada umumnya adalah merindukan hidup layak, cukup sandang, papan, lan garwa. Semangat keetnisan Baridin dalam budaya Jawa Barat sendiri, berkembang dalam sektor-sektor petani. Counter hegemonik dari budaya pesisir pantura memang harus diakui sebagai bagian yang tidak dipisahkan dari integral semangat primordial. Budaya High Culture perlu terbuka terhadap nilai-nilai counter hegemonik, karena hal ini penting bagi survivalitas sub etnis secara kolektif. Budaya Pantura yang menjamur bisa dianggap sebagai wahana kearifan lokal, harus diberikan dekonstruksi nilai-nilainya yang pas sesuai kadar dosisnya.
              Baridin mencoba mendaur ulang revitalisasi untuk meyakinkan diri bahwa semua manusia di hadapatan Tuhan adalah sama. Karena akui tidak diakui banyak sekali masyarakat yang satu kampung dengan Baridin merasakan dan mengalami secara langsung hidup yang serba kekurangan sebagai masyarakat kecil. Baridin lebih memiliki tacit knowledge, daripada pemahamanan objektif yang diperoleh lewat pengamatan dengan mengambil jarak dari objek kajian yang disebut dengan explicit knowledge. Baridin kemudian lahir kembali dalam dimensi ruang dan waktu yang berbeda, menggelorakan semangat kesatuan dalam corak budaya yang khas sebagai warisan para wali dalam guratan makna“ingsun titip tajug lan fakir miskin”.
           Baridin telah berupaya untuk menelisik dan mencoba mengingatkan akan keluhan dirinya dan masyarakat lain yang senasib dengannya untuk mengoreksi kemuraman dan kebuntuan sosial, budaya dan politik, akibat asumsi keliru para elite. Bagi Baridin dan masyarakat-masyarakat yang dimiskinkan oleh zamannya, dapat memajukan kesejahtraan dari anggota-anggotanya dengan cara menerima komitmen sosial, dan mempunyai kehangatan pencerahan hingga sanggup berkata becik ketitik ala ketara mamayu hayuning bawana, jer besuki mawa bea.
Sumber: Tribun Jabar, Sabtu 11 Mei 2013

No comments:

Post a Comment