Kemat
bisa juga diartikan dengan pelet,
dalam literasi budaya Cirebon-Dermayon Kemat merupakan doa-doa yang memiliki
tuah yang sangat dahsyat karena dibacakan dengan memakai ritual mati geni
tanpa makan, minum, dan tidur dengan jangka waktu yang telah ditentukan.
Dalam cerita yang diadopsi dalam budaya tarling Cirebon-Dermayon lakon kemat
jaran goyang Baridin merupakan latar cerita yang sangat diminati oleh
masyarakat pecinta tarling, bukan hanya karena diangkat dari kisah nyata hidup Baridin
tetapi juga kekhasan literasi bahasa kerakyaatan yang sangat dominan dalam
kultur budaya pesisir.
Pada
dekade tahun 1960-an populeritas Baridin dan Ratminah dalam lakon kemat jaran
goyang telah menjelma menjadi hiburan rakyat yang bisa ditemui lewat pentas tarling
dalam road show disetiap hajatan dari
desa ke desa sepanjang jalur pantura seperti daerah Pamanukan, Indramayu,
Cirebon, Palimanan, Brebes, dan Tegal Perbatasan Jawa tengah.
Kisah
seputar rakyat jelata yang dihinggapi kultur budaya riligius telah dikemas
dengan apik di atas panggung tarling yang terus berotasi dari desa ke desa.
Gambaran kehidupan dalam kemat jaran goyang meliputi unsur religius yang
tinggi, ditambah juga dengan nilai-nilai manusiawi akan kuasa unsur harta,
tahta, dan wanita yang mengkristal utuh sebagai kisah yang nyentrik gubahan Abdul
Najib.
Kemat
jaran goyang telah menjadi legenda hidup kisah nyata Baridin pemuda desa yang
bekerja sebagai petani miskin anak dari seorang Janda Mbok Wangsih, jatuh cinta
pada seorang perempuan cantik bernama Ratminah yang merupakan anak dari orang
terkaya bernama bapak Haji Dablon. Karena cinta Baridin ditolak secara
mentah-mentah oleh Ratminah bahkan menghina dan mencaci maki secara berlebihan,
membuat Baridin sakit hati, ia hidup menyendiri tidak makan tidak minum selama
40 hari melakukan mati geni, sebagai
ritual ajian Kemat Jaran Goyang. Singkat cerita Ratminah kemudian menjadi
terhipnotis setiap waktu mengingat, dan
memanggil-manggil nama Baridin. Terkadang tertawa dan menangis sendiri seperti
orang gila. Ratminah keluar dari rumah mencari cari Baridin berjalan dari desa
ke desa sambil bernyanyi dan tertawa-tawa menyebut nama Baridin sampai keduanya
bertemu di pinggir pematang sawah. Karena Ratminah berhari hari tidak makan
setalah bertemu miminta maaf dan mengungkapkan rasa cintanya kepada Baridin.
Akhirnya Ratminah mengembuskan nafas terakhir. Begitupun Baridin yang sudah
kurus kerempeng karena mati geni, kemudian meninggal dunia menyusul Ratminah.
Jasad keduanya diketemukan oleh sahabat dekat Baridin bernama Gemblung
Pinulung. Sebagai saksi perjalanan kedua manusia yang saling mencinta akhirnya
mereka dikubur bersama dan masih bisa disaksikan sampai sekarang di Cirebon
sebagai ibroh dan pembelajaran untuk manusia yang masih hidup.
Berikut adalah contoh
bacaan kemat jaran goyang Baridin yang sudah digubah oleh penulis bisa jadi
tidak kalah dengan sajak-sajak Ahda Imron atau pun pupuh guritan Asep Salahudin“Niat isun matak ajiku Jaran
Goyang/ Sun
tabukake petiku sawisi/Gemebyar gebyar marang badanku/Wong Sabuana ayu elinga/ welase ning badan isun si jabang nok ayu
Ratminah/Mbrengenga kaya jaran/ teka
welas, teka asih, marang badanku/ Lailahaillah Muhamammadurrulullah.”(Kubaca doa aji jaran goyang (kuda goyang), di sini kubuka peti
sunyi batin runyam, saat gemerlap merasuki nalar ragaku, Wahai manusia sejagad,
ingatlah
sayangilah diriku/ semoga Ratminah menyayangiku/ seperti ringkik kuda/kasih dan sayangi diriku/Tiada Tuhan selain
Allah, dan Muhammad itu Rasul Allah).
Ekspresi
kisah Baridin mengilhami esensi moral wong Cirebon-Dermayon yang mampu menebus sekat-sekat budaya. Walaupun
dalam guyonan Tandi Skober yang berkata dengan terkekeh “Cung!!!, Wadon sekien
masangarah takluk kelawan kemat jaran goyang, pun kalah karo kemat Jepang hehe
(Perempuan sekarang tidak bakal terpikat dengan kemat jaran goyang, karena
sudah kalah dengan kemat Jepang)”.
Relasi
Budaya
Baridin berupaya keras untuk menjadi manusia yang diewongke adalah suatu
kewajaran sebagai manusia yang memiliki kedudukan yang sama
dihadapan Tuhan. Setiap individu dimanapun
dia dilahirkan adalah mahluk yang sama oleh karenanya setiap manusia memiliki
hak yang sama dalam hidup. Logika yang dipakai manusia kebanyakan seperti
halnya Baridin itulah yang melandasi lahirnya Declaration of Human Right, Logika Baridin sebagai manusia
yang berkeinginan untuk memilih pendamping hidup tidak menutup diri dalam sekat
si kaya dan si miskin. Mencoba membuka tabir yang masih menyelimuti kultur
budaya Cirebon-Dermayon yang selalu melihat perjodohan agar selalu papak (sama derajat) dalam ekonomi
ataupun keturunan keluarganya.
Cirebon-Dermayon sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ruang gerak Baridin sebagai manusia posmodern tidaklah merujuk pada komunitas etnis, tetapi ia
merupakan hasil hubungan etnis. Hubungan dari proses pengidentifikasian
simbol-simbol. Masyarakat etnis seperti Baridin perlu diberdayakan lewat
kebebasan berorganisasi dalam mengeksplorasi narasi-narasi keberagaman yang
selama ini sesak
bernafas. Sejauh apa falsafah Baridin mengembangkan hidup yang
equal terhadap dunia luar bisa digali lewat narasi-narasi yang di ditilemkeun oleh wakil-wakil Baridin
(rakyat) diparlemen.
Baridin yang hidup di bawah garis kemiskinan sering dianggap sebagai manusia
peralihan jiwa jaman (Zeitgest), yang
masih memaknai ruang batin dengan nuansa religi yang sangat luas. Keinginan
manusia Cirebon-Dermayon pada umumnya adalah merindukan hidup layak, cukup
sandang, papan, lan garwa. Semangat keetnisan Baridin dalam budaya Jawa Barat sendiri, berkembang dalam sektor-sektor petani. Counter hegemonik dari budaya pesisir pantura memang harus diakui sebagai bagian yang tidak
dipisahkan dari integral semangat primordial. Budaya High Culture perlu
terbuka terhadap nilai-nilai counter hegemonik, karena hal ini penting bagi
survivalitas
sub etnis secara kolektif. Budaya Pantura
yang menjamur bisa dianggap sebagai wahana kearifan lokal, harus diberikan dekonstruksi nilai-nilainya yang pas sesuai kadar dosisnya.
Baridin mencoba mendaur ulang revitalisasi untuk meyakinkan diri
bahwa semua manusia di hadapatan Tuhan adalah sama. Karena akui tidak diakui banyak sekali masyarakat yang satu kampung
dengan Baridin merasakan dan mengalami secara langsung hidup yang
serba kekurangan sebagai masyarakat kecil. Baridin lebih memiliki tacit
knowledge, daripada pemahamanan objektif yang diperoleh lewat pengamatan
dengan mengambil jarak dari objek kajian yang disebut dengan explicit knowledge. Baridin kemudian lahir
kembali dalam dimensi ruang dan waktu yang berbeda, menggelorakan semangat
kesatuan dalam corak budaya yang khas sebagai warisan para wali dalam guratan
makna“ingsun titip tajug lan fakir
miskin”.
Baridin
telah berupaya untuk menelisik dan mencoba mengingatkan akan keluhan dirinya
dan masyarakat lain yang senasib dengannya untuk mengoreksi kemuraman dan
kebuntuan sosial, budaya dan politik, akibat asumsi keliru para elite. Bagi Baridin dan masyarakat-masyarakat yang
dimiskinkan oleh zamannya, dapat memajukan kesejahtraan dari anggota-anggotanya
dengan cara menerima komitmen sosial, dan mempunyai kehangatan pencerahan
hingga sanggup berkata becik ketitik ala
ketara mamayu hayuning bawana, jer
besuki mawa bea.
Sumber: Tribun Jabar, Sabtu 11 Mei 2013
No comments:
Post a Comment