Anggapan negatif tentang manusia Indramayu adalah tugas
berat dan Jihad fi Sabillilah para kaum intelektual dan manusia Indramayu yang
tercerahkan oleh zamannya untuk bahu membahu membuka gerbang wacana baru yang
lebih elok sebagai
awal kebangkitan khasanah kearifan lokal dalam sejarah gelap Indramayu. Akar radikalisme dari masa ke masa tumbuh ketika sentimen
culture bergerak di pusaran structural conduciveness (struktural yang kondusif) versus structural strain (ketegangan
struktural).
Tanggal kelahiran atau hari
jadi bagi suatu daerah tampaknya dianggap sebagai sesuatu yang sangat
penting. Tanggal tersebut dianggap
sebagai momentum “proklamasi”, salah satu identitas dan jatidiri daerah, bahkan
menjadi simbol kebangkitan warganya. Sejak tahun 1977 Kabupaten Indramayu
memiliki hari jadi, dengan ditetapkannya tanggal 7 Oktober 1527, berdasarkan
Peraturan Daerah Nomor 02/1977 tanggal 24 Juni 1977.
Pembahasan wacana kita buka dengan Indramayu yang dulu
lebih akrab dengan Cimanuk sebagai salah satu ujung tombak pelabuhan besar di
Pulau Jawa. Disinilah mula peradaban Cimanuk lahir seperti apa yang diungkapkan
seorang pelancong bernama Tome Pires dalam catatan laporannya bertitle “Summa
Oriental of Tome Pires” Sebagai pengantar diskusi pembahasan kemudian akan berlanjut
pada masa Indramayu Awal, Masa Kerajaan Sunda, Penyebaran Agama Islam, Masa
Kerajaan Mataram, Masa Penjajahan, dan Reforma baru Indramayu Kekinian.
“Sebagian
orang mengatakan Kerajaan Sunda meliputi separuh Pulau Jawa. Orang lain
berpendapat mencakup sepertiga Pulau Jawa ditambah seperdelapannya lagi.
Katanya, keliling pulau Sunda tiga ratus legoa (league, bhs. Inggris,
artinya 3 mil, maka 6.1-6.6 km di darat dan 5.5 km di laut, jadi 16.5-17.5
legoa = 1 derajat garis lintang). Ujungnya adalah Cimanuk. Di sepanjang tepian sungai itu hulu ke hilir tumbuh
pohon-pohon. Pada tepi yang satu condong ke negeri seberang dengan
cabang-cabang sampai ke tanah. Pohon-pohon ini besar, tinggi serta bagus.
Bahasa Sunda memang berbeda dengan bahasa Jawa, walaupun bersama-sama di satu
pulau yang dipisahkan hanya oleh sungai Cimanuk. Pulau itu sangat sempit di
tempat-tempat tertentu, namun bersambung dan membentuk satu pulau saja.”
Tentang Cimanuk, Tome Pires menulis secara kusus. Menurutnya,
pelabuhan ini adalah pelabuhan keenam. Jung-jung (kapal) tidak dapat berlabuh
di sini, kecuali di lepas pantai, tetapi pendapat yang lain menyatakan bisa
berlabuh. Banyak orang Islam tinggal di ini. Kepala Pelabuhan dikirim dari raja
Sunda itu, seorang penyembah berhala (bukan Islam). Cimanuk memiliki
perdagangan yang baik. (Orang) Jawa pun berdagang dengannya. Cimanuk sebuah
kota yang besar dan bagus. Tome Pires,
pengelana Portugis tahun 1513-1515 menyebut Indramayu sebagai Chemano,
seperti tertuang dalam buku Summa Oriental. Sedangkan Joao de
Barros, juga dari Portugis menyebut Chiano atau Chenano, seperti
tertulis dalam buku “Da Asia, Decada IV” yang diedit Joao Baptista
Lavanha (1615). Potret tentang Cimanuk tampak lebih utuh
hingga pada detil-detil yang kecil sekalipun, seperti dalam dalam buku Tome Pires tersebut. Bahkan ia menyebut Cimanuk sebagai
batas Kerajaan Sunda. Laporannya cukup panjang, yang jika diringkas seperti
ini: “Laporan ini bermula dengan Kerajaan Sunda sampai di Blambangan (Bulambuam).
Kota besar Kerajaan Sunda (Cumda) disebut Dayo. (maksudnya dayeuh,
bahasa Sunda, artinya kota atau ibukota, yang dimaksud adalah Pakuan Pajajaran
di Batutulis Bogor). Disebut juga ada pelabuhan Bantam (Banten),
pelabuhan Pontang (Pomdam), bandar Cheguide (Cigede), Tamgaram
(Tangerang), Calapa (Kelapa), Chemano (Cimanuk). Sungai Cimanuk merupakan batas di
antara kedua kerajaan.”
Sedangkan
Joao de Barros dalam da Asia, Decada IV (1615) menuliskan Sungai
itu mereka sebut Chiamo atau Chenano (Cimanuk). Cimanuk memotong seluruh pulau
tersebut dari laut ke laut di ‘bagian ketiga seperti disebut, sehingga apabila
orang Jawa terjalin ke barat dengan Pulau Sunda. Sungai Cimanuk tersebut memisahkan
kedua negeri itu; dan ke sebelah timur Pulau Bali dan ke utara Pulau Madura dan
ke selatan terdapat laut yang belum diketahui. Lokasi pelabuan Cimanuk sekarang diperkirakan di sekitar Desa Pabean Ilir, Kelurahan Paoman (Kec.
Indramayu), Desa Pabean Udik, Pagirikan, dan Pasekan (Kec. Pasekan).
Jejak
sebagai kota pelabuhan secara historis memang tetap melekat pada nama-nama
desa/kelurahan yang merujuk pada aktivitas pelabuhan. Nama Pabean berasal dari
kegiatan ”pabean” atau pengambilan bea masuk bagi kapal-kapal di pelabuhan.
Pagirikan berasal dari kata ”girik” atau surat-surat untuk kapal. Pasekan
merujuk kosakata ”pasek”-nya barang-barang ketika bongkar-muat. Paoman berasal
dari kata Pa-omah-an atau perumahan para pegawai pelabuhan.
Pada abad ke-15 diketemukan
penggambaran tentang Indramayu berdasarkan berita yang ditulis orang Cina. Nama
yang dikenal adalah Cimanuk. Lidah orang Cina menyebut daerah tersebut sebagai
Tanjung Ciao-c’iang-wan, seperti berita yang ditulis dalam buku Shun-feng
siang-sung (Angin Baik sebagai Pendamping) sekitar tahun 1430. Tanjung Ciao-c’iang-wan, diartikan
sekarang sebagai tanjung di Indramayu. Buku Shun-feng
siang-sung menuliskan begini, “Dalam pelayaran ini dari Shun-t’a ke timur
sepanjang pantai utara Jawa, kapal-kapal menuju arah 97,5 derajat selama tiga
penjagaan untuk sampai ke gunung Cia-liu-pa (=Kalapa); lalu mereka menyusuri
pantai lewat Tanjung Ciao-c’iang-wan (Indramayu), dan menuju arah 187,5 derajat selama empat penjagaan
sampai tiba di Che-li-wen (Cirebon)…”. Pada bagian lain tertulis,
“Kapal-kapal dari Banten menuju arah timur sepanjang pantai utara Jawa, melalui
Cha-liu-pa (Kelapa), Tanjung Ciao-c’iang-wan (Indramayu) dan Che-li-wen (Cirebon)…”
Kompas (11/11/09)
memuat tulisan tentang pelabuhan Cimanuk yang ditulis Litbang Kompas.
Meski disajikan secara sekilas, tulisan itu setidaknya memiliki beberapa makna:
Mengingatkan betapa pentingnya peran pelabuhan Cimanuk sejak abad ke-16,
bagaimana terjadinya nama-nama desa di sekitarnya, dan akulturasi yang terjadi
antara pedagang Arab, India, dan Cina dengan masyarakat pribumi.
Pengelana Portugis, Tome Pires
(1513) mencatatnya sebagai pelabuhan kedua terbesar setelah Sunda Kelapa, di
antara empat pelabuhan lainnya yang dikuasai Kerajaan Sunda (abad ke-8 –
ke-17). Peta Pulau Jawa dalam buku Da Asia, Decada IV
(Barros, ed. Joao Baptista Lavanha: 1615) memaparkan sungai Cimanuk (Chiamo
atau Chenano) memisahkan wilayah Sunda dengan Jawa.
Pada masa itu, badan Sungai
Cimanuk cukup lebar sehingga dapat dilalui kapal dari lepas pantai hingga
menuju pusat kota di Desa Dermayu. Lokasi pelabuhan diperkirakan terletak di
Kecamatan Pasekan. Di wilayah ini terdapat tiga desa yang merujuk pada
kegiatan pelabuhan. Desa Pabean berasal dari kata bea yang berarti pajak atau
cukai. Desa Pagirikan berasal dari kata girik yang merujuk pada surat izin
keluar masuk daerah pelabuhan. Desa Pasekan berasal dari pasek yang berarti penyimpanan
barang bongkar muat kapal. Maraknya kegiatan pelabuhan meluas hingga Desa
Paoman, Kecamatan Indramayu. Paoman berasal dari kata omah yang merupakan
perumahan para pegawai Pabean. Memang jatuhnya Kerajaan Sunda pada tahun 1579,
pelabuhan dikuasai Cirebon, kemudian jatuh ke tangan Belanda pada abad ke-17. Fakta
sejarah juga menujukkan peran pelabuhan surut, saat Jalan Raya Pos dan jalur
kereta api membuat pengangkutan barang lebih banyak melalui jalan darat.
Pelabuhan makin terbengkalai ketika pecah Perang Dunia II (1938-1945) dan
perang revolusi kemerdekaan (1945-1950).
Pelabuhan itu lenyap sama
sekali, bahkan sungai Cimanuk yang membelah kota Indramayu juga ”dimatikan”
pada dekade 1980. Cimanuk dianggap penyebab banjir bagi kota Indramayu pada
musim hujan, Cimanuk juga dianggap pemisah wilayah kota dengan sebelah
baratnya, bahkan Cimanuk dianggap tak mendukung estetika kota. Solusinya saat
itu adalah aliran dibelokkan menuju laut lepas, menghindari kota Indramayu.
Refleksi
Dermayonan
Masih banyak kiranya culture
Dermayon yang harus kita ungkap, bukan hanya berkutit dan terjebak kepada Siapa
Wiralodra, Pangeran Darma Kusuma, Ki Jebung Angrum, Ki Gedeng Babadan, Kigedeng
Kali Cimanuk saja tetapi lintasan daya imaji nakal kita sesekali lesatkanlah
pada khasanah kearifan lokal Dermayon yang marketable di dunia luar. Sebut saja
Topeng Mimi Rasinah, Tari Randu Kentir, Sintren, Tarling, Wayang Kulit Langen
Budaya Anom Rusdi, dan pola pikir panjang masyarakat kita yang harus
diluruskan. Bukan hanya duit banyak dari Arab, dari Taiwan...tapi pendidikan
yang komprehensif untuk membangun Indramayu ke depan, menyiapkan diri menjadi
calon-calon pemimpin di negeri sendiri, mengelola limpahan sumberdaya alam di
Indramayu tanah yang berhektar-hektar, Laut yang luas, Pulau Biawak, Produksi
Minyak Balongan dan sebagainnya. Jangan sampai “kearifan lokal kita tidak
berumah di negeri sendiri.”
Konsep diri manusa Dermayon ke depan, sepenuhnya dikonstruksi oleh tindakan
kita hari ini. Melak Mangga
tangtu metik mangga.
Mustahil melak Mangga
metik bonteng. Di sinilah kearifan etnik ini menginjeksikan sebuah kesadaran
metafisis tentang keharusan apapun yang kita lakukan baik yang berhubungan
dengan tekad, ucap atau lengkah harus berjangkar pada kebaikan, menjauhi
perilaku kesatuan sigap gerak langkah polah antara pemimpin yang dipimpin, antara
ulama dan umaro.
Dermayon hari ini selalu ada tautan dengan masa
lalu. Tentu tidak mengandung makna masa lalu sebagai sesuatu yang harus
didewakan. Apalagi sampai memenjarakan daya nalar, menyandera langkah dan
gerak. Tapi rujukan maknanya adalah waktu silam (sejarah) sebagai sesuatu yang
memberikan ilham dalam menatap ke depan sekaligus menananamkan pelajaran agar
tidak melakukan kesalahan berulang, tidak jatuh dalam lubang yang sama untuk
kedua kalinya.
Ilham itu dalam beberapa peristiwa diungkapkan dalam
uga: semacam prediksi tentang situasi
anu bakal kasorang yang dirumuskan dari pengalaman mereka pada masa itu, dari
sensitivitas rasa sehingga bisa meneropong kejadian dan sekian keadaan pada
masa yang akan datang. Uga juga bisa dibaca dari pedoman dibalik teks yang
berisi “etika” seperti dalam naskah Wangsakerta, Amanat Galunggung, Cerita Parahiyangan, Siksakandang
Karesian, Babad, dan atau dongeng rakyat yang hidup dari mulut ke mulut. Juga yang membersitkan
di satu sisi harapan akan terulangnya masa gemilang, dan di sisi lain,
seharusnya memotivasi kerja-kerja kebudayaan yang kreatif dan inovatif untuk
mempercepat hadirnya uga itu sesuai dengan konteks zamannya. Hal ini sejatinya tidak ada
hubungannya dengan sikap pasif dan atau ekspresi dari ketidakberdayaan manusia
(Dermayon)
hari ini: sehingga mereka selalu melarikan diri dalam kejayaan masa silam. Sebagai
pembanding budaya manusia (Cimanuk) dan manusia (Sunda) saya meminjam bahasa
Kang Asep Salahudin yang mengatakan bahwa filsuf Sunda Haji Hasan Mustapa
yang dengan komprehensif mengelaborasi ihwal visi metafisika Sunda ini dalam
kinanti “Kulu-Kulu” (Seri Guguritan Haji Hasan Mustapa nomor 2). Tentu visinya
ini dijangkarkan di atas haluan religiositas spiritualisme Islam yang dipadukan
dengan kekayaan batin kosmologi dan alam kebatinan Sunda. Paduan integratif yang
kemudian menghasilkan sebuah formula tafsir metafisika yang menarik dan sangat
relevan untuk kita renungkan dalam konteks realitas Sunda (dan Nusantara) hari
ini. Di
tangan Haji Hasan Mustapa, persoalan metafisika tidak melulu ditarik dalam
frame yang serba gaib dan tidak berkaitan dengan sejarah pengalaman keseharian,
tapi justru metafisika yang dikonseptualisasikannya menjadi sangat “membumi”
tanpa harus kehilangan terang transendensinya. Mengingatkan saya pada sabda
Sang Nabi, “Mereka yang tidak bisa berdamai dengan bumi, tak mungkin dapat
meraih damai dari langit”. Bahwa
kebenaran metafisika otentisitasnya harus diacukan secara objektif dengan
perilaku keseharian. Kabar tentang eskatologi (akhirat), tentang kegaiban,
pesan moralnya tidak lain agar seluruh apa yang kita lakukan hari ini menjadi
bisa dipertanggungjawabkan. Bahwa apapun yang kita kerjakan semuanya berada dalam
tatapan terang Yang Maha Gaib, awal dan akhir, lahir dan batin. Huwwal awwalu wal akhiru wadhahiru wal
bathinu (Asep Salahudin, Galamedia
26 April 2012).
Akhirat dan dunia adalah “kala” yang bertalian.
Salah satunya dipertalikan oleh “keyakinan”. Oleh semacam iman yang selalu
menjadi “suluh”. Bukan iman tertutup yang melihat ke luar dengan tatapan
curiga, anggapan kafir dan bid’ah, tapi “iman” yang menghunjamkan “rasa” untuk
tidak pernah berhenti melakukan introspeksi. Hal ini setidaknya semacam
pepeling bukan hanya untuk manusia Cimanuk, yang airnya tetap bermuara pada
Citarum.
Dimuat di Koran Fajar Cirebon
Keren banget
ReplyDeleteTerima Kasih...
ReplyDelete