Saturday, July 18, 2015

Melacak Akar Budaya Manusia Cimanuk Oleh:Wahyu Iryana

Anggapan negatif tentang manusia Indramayu adalah tugas berat dan Jihad fi Sabillilah  para kaum intelektual dan manusia Indramayu yang tercerahkan oleh zamannya untuk bahu membahu membuka gerbang wacana baru yang lebih elok sebagai awal kebangkitan khasanah kearifan lokal dalam sejarah gelap Indramayu. Akar radikalisme dari masa ke masa tumbuh ketika sentimen culture bergerak di pusaran structural conduciveness (struktural yang kondusif) versus structural strain (ketegangan struktural).
Tanggal kelahiran atau hari jadi bagi suatu daerah tampaknya dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting.  Tanggal tersebut dianggap sebagai momentum “proklamasi”, salah satu identitas dan jatidiri daerah, bahkan menjadi simbol kebangkitan warganya. Sejak tahun 1977 Kabupaten Indramayu memiliki hari jadi, dengan ditetapkannya tanggal 7 Oktober 1527, berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 02/1977 tanggal 24 Juni 1977.
Pembahasan wacana kita buka dengan Indramayu yang dulu lebih akrab dengan Cimanuk sebagai salah satu ujung tombak pelabuhan besar di Pulau Jawa. Disinilah mula peradaban Cimanuk lahir seperti apa yang diungkapkan seorang pelancong bernama Tome Pires dalam catatan laporannya bertitle “Summa Oriental of Tome Pires” Sebagai pengantar diskusi pembahasan kemudian akan berlanjut pada masa Indramayu Awal, Masa Kerajaan Sunda, Penyebaran Agama Islam, Masa Kerajaan Mataram, Masa Penjajahan, dan Reforma baru Indramayu Kekinian.
“Sebagian orang mengatakan Kerajaan Sunda meliputi separuh Pulau Jawa. Orang lain berpendapat mencakup sepertiga Pulau Jawa ditambah seperdelapannya lagi. Katanya, keliling pulau Sunda tiga ratus legoa (league, bhs. Inggris, artinya 3 mil, maka 6.1-6.6 km di darat dan 5.5 km di laut, jadi 16.5-17.5 legoa = 1 derajat garis lintang). Ujungnya adalah Cimanuk. Di sepanjang tepian sungai itu hulu ke hilir tumbuh pohon-pohon. Pada tepi yang satu condong ke negeri seberang dengan cabang-cabang sampai ke tanah. Pohon-pohon ini besar, tinggi serta bagus. Bahasa Sunda memang berbeda dengan bahasa Jawa, walaupun bersama-sama di satu pulau yang dipisahkan hanya oleh sungai Cimanuk. Pulau itu sangat sempit di tempat-tempat tertentu, namun bersambung dan membentuk satu pulau saja.”
Tentang Cimanuk, Tome Pires menulis secara kusus. Menurutnya, pelabuhan ini adalah pelabuhan keenam. Jung-jung (kapal) tidak dapat berlabuh di sini, kecuali di lepas pantai, tetapi pendapat yang lain menyatakan bisa berlabuh. Banyak orang Islam tinggal di ini. Kepala Pelabuhan dikirim dari raja Sunda itu, seorang penyembah berhala (bukan Islam).  Cimanuk memiliki perdagangan yang baik. (Orang) Jawa pun berdagang dengannya. Cimanuk sebuah kota yang besar dan bagus. Tome Pires, pengelana Portugis tahun 1513-1515 menyebut Indramayu sebagai  Chemano, seperti tertuang dalam buku Summa Oriental. Sedangkan Joao de Barros, juga dari Portugis menyebut Chiano atau Chenano, seperti tertulis dalam buku “Da Asia, Decada IV” yang diedit Joao Baptista Lavanha (1615). Potret tentang Cimanuk tampak lebih utuh hingga pada detil-detil yang kecil sekalipun, seperti dalam dalam buku Tome Pires tersebut. Bahkan ia menyebut Cimanuk sebagai batas Kerajaan Sunda. Laporannya cukup panjang, yang jika diringkas seperti ini: “Laporan ini bermula dengan Kerajaan Sunda sampai di Blambangan (Bulambuam). Kota besar Kerajaan Sunda (Cumda) disebut Dayo. (maksudnya dayeuh, bahasa Sunda, artinya kota atau ibukota, yang dimaksud adalah Pakuan Pajajaran di Batutulis Bogor). Disebut juga ada pelabuhan Bantam (Banten), pelabuhan Pontang (Pomdam), bandar Cheguide (Cigede), Tamgaram (Tangerang), Calapa (Kelapa), Chemano (Cimanuk). Sungai Cimanuk merupakan batas di antara kedua kerajaan.”
Sedangkan Joao de Barros dalam da Asia, Decada IV (1615) menuliskan Sungai itu mereka sebut Chiamo atau Chenano (Cimanuk). Cimanuk memotong seluruh pulau tersebut dari laut ke laut di ‘bagian ketiga seperti disebut, sehingga apabila orang Jawa terjalin ke barat dengan Pulau Sunda. Sungai Cimanuk tersebut memisahkan kedua negeri itu; dan ke sebelah timur Pulau Bali dan ke utara Pulau Madura dan ke selatan terdapat laut yang belum diketahui. Lokasi pelabuan Cimanuk sekarang diperkirakan di sekitar Desa Pabean Ilir, Kelurahan Paoman (Kec. Indramayu), Desa Pabean Udik, Pagirikan, dan Pasekan (Kec. Pasekan).
Jejak sebagai kota pelabuhan secara historis memang tetap melekat pada nama-nama desa/kelurahan yang merujuk pada aktivitas pelabuhan. Nama Pabean berasal dari kegiatan ”pabean” atau pengambilan bea masuk bagi kapal-kapal di pelabuhan. Pagirikan berasal dari kata ”girik” atau surat-surat untuk kapal. Pasekan merujuk kosakata ”pasek”-nya barang-barang ketika bongkar-muat. Paoman berasal dari kata Pa-omah-an atau perumahan para pegawai pelabuhan.
Pada abad ke-15 diketemukan penggambaran tentang Indramayu berdasarkan berita yang ditulis orang Cina. Nama yang dikenal adalah Cimanuk. Lidah orang Cina menyebut daerah tersebut sebagai Tanjung Ciao-c’iang-wan, seperti berita yang ditulis dalam buku Shun-feng siang-sung (Angin Baik sebagai Pendamping) sekitar tahun 1430. Tanjung Ciao-c’iang-wan, diartikan sekarang sebagai tanjung di Indramayu. Buku Shun-feng siang-sung menuliskan begini, “Dalam pelayaran ini dari Shun-t’a ke timur sepanjang pantai utara Jawa, kapal-kapal menuju arah 97,5 derajat selama tiga penjagaan untuk sampai ke gunung Cia-liu-pa (=Kalapa); lalu mereka menyusuri pantai lewat Tanjung Ciao-c’iang-wan (Indramayu), dan menuju arah 187,5 derajat selama empat penjagaan sampai tiba di Che-li-wen (Cirebon)…”.  Pada bagian lain tertulis, “Kapal-kapal dari Banten menuju arah timur sepanjang pantai utara Jawa, melalui Cha-liu-pa (Kelapa), Tanjung Ciao-c’iang-wan (Indramayu) dan Che-li-wen (Cirebon)…”
Kompas (11/11/09) memuat tulisan tentang pelabuhan Cimanuk yang ditulis Litbang Kompas. Meski disajikan secara sekilas, tulisan itu setidaknya memiliki beberapa makna: Mengingatkan betapa pentingnya peran pelabuhan Cimanuk sejak abad ke-16, bagaimana terjadinya nama-nama desa di sekitarnya, dan akulturasi yang terjadi antara pedagang Arab, India, dan Cina dengan masyarakat pribumi.
Pengelana Portugis, Tome Pires (1513) mencatatnya sebagai pelabuhan kedua terbesar setelah Sunda Kelapa, di antara empat pelabuhan lainnya yang dikuasai Kerajaan Sunda (abad ke-8 – ke-17). Peta Pulau Jawa dalam buku Da Asia, Decada IV (Barros, ed. Joao Baptista Lavanha: 1615)  memaparkan sungai Cimanuk (Chiamo atau Chenano) memisahkan wilayah Sunda dengan Jawa.
Pada masa itu, badan Sungai Cimanuk cukup lebar sehingga dapat dilalui kapal dari lepas pantai hingga menuju pusat kota di Desa Dermayu. Lokasi pelabuhan diperkirakan terletak di Kecamatan Pasekan. Di wilayah ini terdapat tiga desa yang merujuk pada kegiatan pelabuhan. Desa Pabean berasal dari kata bea yang berarti pajak atau cukai. Desa Pagirikan berasal dari kata girik yang merujuk pada surat izin keluar masuk daerah pelabuhan. Desa Pasekan berasal dari pasek yang berarti penyimpanan barang bongkar muat kapal. Maraknya kegiatan pelabuhan meluas hingga Desa Paoman, Kecamatan Indramayu. Paoman berasal dari kata omah yang merupakan perumahan para pegawai Pabean. Memang jatuhnya Kerajaan Sunda pada tahun 1579, pelabuhan dikuasai Cirebon, kemudian jatuh ke tangan Belanda pada abad ke-17. Fakta sejarah juga menujukkan peran pelabuhan surut, saat Jalan Raya Pos dan jalur kereta api membuat pengangkutan barang lebih banyak melalui jalan darat. Pelabuhan makin terbengkalai ketika pecah Perang Dunia II (1938-1945) dan perang revolusi kemerdekaan (1945-1950).
Pelabuhan itu lenyap sama sekali, bahkan sungai Cimanuk yang membelah kota Indramayu juga ”dimatikan” pada dekade 1980. Cimanuk dianggap penyebab banjir bagi kota Indramayu pada musim hujan, Cimanuk juga dianggap pemisah wilayah kota dengan sebelah baratnya, bahkan Cimanuk dianggap tak mendukung estetika kota. Solusinya saat itu adalah aliran dibelokkan menuju laut lepas, menghindari kota Indramayu.

Refleksi Dermayonan
Masih banyak kiranya culture Dermayon yang harus kita ungkap, bukan hanya berkutit dan terjebak kepada Siapa Wiralodra, Pangeran Darma Kusuma, Ki Jebung Angrum, Ki Gedeng Babadan, Kigedeng Kali Cimanuk saja tetapi lintasan daya imaji nakal kita sesekali lesatkanlah pada khasanah kearifan lokal Dermayon yang marketable di dunia luar. Sebut saja Topeng Mimi Rasinah, Tari Randu Kentir, Sintren, Tarling, Wayang Kulit Langen Budaya Anom Rusdi, dan pola pikir panjang masyarakat kita yang harus diluruskan. Bukan hanya duit banyak dari Arab, dari Taiwan...tapi pendidikan yang komprehensif untuk membangun Indramayu ke depan, menyiapkan diri menjadi calon-calon pemimpin di negeri sendiri, mengelola limpahan sumberdaya alam di Indramayu tanah yang berhektar-hektar, Laut yang luas, Pulau Biawak, Produksi Minyak Balongan dan sebagainnya. Jangan sampai “kearifan lokal kita tidak berumah di negeri sendiri.”
Konsep diri manusa Dermayon ke depan, sepenuhnya dikonstruksi oleh tindakan kita hari ini. Melak Mangga tangtu metik mangga. Mustahil melak Mangga metik bonteng. Di sinilah kearifan etnik ini menginjeksikan sebuah kesadaran metafisis tentang keharusan apapun yang kita lakukan baik yang berhubungan dengan tekad, ucap atau lengkah harus berjangkar pada kebaikan, menjauhi perilaku kesatuan sigap gerak langkah polah antara pemimpin yang dipimpin, antara ulama dan umaro.
Dermayon hari ini selalu ada tautan dengan masa lalu. Tentu tidak mengandung makna masa lalu sebagai sesuatu yang harus didewakan. Apalagi sampai memenjarakan daya nalar, menyandera langkah dan gerak. Tapi rujukan maknanya adalah waktu silam (sejarah) sebagai sesuatu yang memberikan ilham dalam menatap ke depan sekaligus menananamkan pelajaran agar tidak melakukan kesalahan berulang, tidak jatuh dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya.
Ilham itu dalam beberapa peristiwa diungkapkan dalam uga: semacam prediksi tentang situasi anu bakal kasorang yang dirumuskan dari pengalaman mereka pada masa itu, dari sensitivitas rasa sehingga bisa meneropong kejadian dan sekian keadaan pada masa yang akan datang. Uga juga bisa dibaca dari pedoman dibalik teks yang berisi “etika” seperti dalam naskah Wangsakerta, Amanat Galunggung, Cerita Parahiyangan, Siksakandang Karesian, Babad, dan atau dongeng rakyat yang hidup dari mulut ke mulut. Juga yang membersitkan di satu sisi harapan akan terulangnya masa gemilang, dan di sisi lain, seharusnya memotivasi kerja-kerja kebudayaan yang kreatif dan inovatif untuk mempercepat hadirnya uga itu sesuai dengan konteks zamannya. Hal ini sejatinya tidak ada hubungannya dengan sikap pasif dan atau ekspresi dari ketidakberdayaan manusia (Dermayon) hari ini: sehingga mereka selalu melarikan diri dalam kejayaan masa silam. Sebagai pembanding budaya manusia (Cimanuk) dan manusia (Sunda) saya meminjam bahasa Kang Asep Salahudin yang mengatakan bahwa filsuf Sunda Haji Hasan Mustapa yang dengan komprehensif mengelaborasi ihwal visi metafisika Sunda ini dalam kinanti “Kulu-Kulu” (Seri Guguritan Haji Hasan Mustapa nomor 2). Tentu visinya ini dijangkarkan di atas haluan religiositas spiritualisme Islam yang dipadukan dengan kekayaan batin kosmologi dan alam kebatinan Sunda. Paduan integratif yang kemudian menghasilkan sebuah formula tafsir metafisika yang menarik dan sangat relevan untuk kita renungkan dalam konteks realitas Sunda (dan Nusantara) hari ini. Di tangan Haji Hasan Mustapa, persoalan metafisika tidak melulu ditarik dalam frame yang serba gaib dan tidak berkaitan dengan sejarah pengalaman keseharian, tapi justru metafisika yang dikonseptualisasikannya menjadi sangat “membumi” tanpa harus kehilangan terang transendensinya. Mengingatkan saya pada sabda Sang Nabi, “Mereka yang tidak bisa berdamai dengan bumi, tak mungkin dapat meraih damai dari langit”. Bahwa kebenaran metafisika otentisitasnya harus diacukan secara objektif dengan perilaku keseharian. Kabar tentang eskatologi (akhirat), tentang kegaiban, pesan moralnya tidak lain agar seluruh apa yang kita lakukan hari ini menjadi bisa dipertanggungjawabkan. Bahwa apapun yang kita kerjakan semuanya berada dalam tatapan terang Yang Maha Gaib, awal dan akhir, lahir dan batin. Huwwal awwalu wal akhiru wadhahiru wal bathinu (Asep Salahudin, Galamedia 26 April 2012).
Akhirat dan dunia adalah “kala” yang bertalian. Salah satunya dipertalikan oleh “keyakinan”. Oleh semacam iman yang selalu menjadi “suluh”. Bukan iman tertutup yang melihat ke luar dengan tatapan curiga, anggapan kafir dan bid’ah, tapi “iman” yang menghunjamkan “rasa” untuk tidak pernah berhenti melakukan introspeksi. Hal ini setidaknya semacam pepeling bukan hanya untuk manusia Cimanuk, yang airnya tetap bermuara pada Citarum.

Dimuat di Koran Fajar Cirebon

2 comments: