Si Cepot identik dengan rakyat jelata
yang hidup di tengah garis kemiskinan, sosok Cepot bisa mewakili masyarakat
kaum pinggiran yang hidup serba pas-pasan. Pas mau bayar kontrakan pas kantong
lagi kering, pas ditagih hutang pas istri minta cerai, pas mau bayar tagihan
listrik pas anak minta baju baru. Pokoknya Cepot adalah sosok nyentrik yang
dekat dengan keseharian kita.
Terinspirasi oleh tulisan kang Tjetje H.
Padmadinata dalam Menembus Sekat-Sekat Budaya (2011:104) tentang Ki Sunda dalam
Tinjauan Filosofis Kritis, penulis tergerak untuk mencoba mengurai
kembali tentang pandangan hidup sunda dalam kerangka yang lebih luas
mengupas kehidupan keseharian masyarakat kecil dalmbingkai budaya.
Cepot berupaya keras dengan memandang
esensi kelahirannya ke muka bumi. Mencoba mengurai makna, mencari identitas
yang hikiki untuk menemukan jatidiri yang sejati. Apa yang dipertanyakan Cepot
adalah suatu kewajaran sebagai bagian dari wacana hak asasi manusia didasarkan
pada hukum kodrat. Setiap individu manusia dimanapun dia dilahirkan adalah
mahluk yang sama oleh karenanya setiap manusia memiliki hak yang sama dalam
hidup. Logika yang dipakai manusia kebanyakan seperti halnya Cepot itulah yang
melandasi lahirnya Declaration of Human Right, Logika Cepot pula yang mendasari
klaim internasionalitas hak asasi manusia.
Sunda sebagai bagian tak terpisahkan dari ruang gerak Cepot tidaklah merujuk pada komunitas etnis, tetapi ia merupakan hasil hubungan etnis. Hubungan dari proses pengidentifikasian simbol-simbol. Masyarakat adat/etnis seperti Cepot perlu diberdayakan lewat kebebasan berorganisasi dalam mengeksplorasi narasi-narasi keberagaman yang selama ini ditekan oleh pemerintah Korawa. Kita ambil contoh, misalnya dengan menggali unsur-unsur kepemimpinan yang baik, mengangkat kembali perjuangan para pahlawan-pahlawan di tingkat lokal yang bertahun-tahun dikelabui oleh selubung kekuasaan yang menindas, ataupun sepak terjang perjuangan perempuan. Sejauh apa falsafah si Cepot mengembangkan hidup yang equal terhadap orang yang luar bisa digali lewat narasi-narasi yang selama ini selalu dinina-bobokan.
Si Cepot yang hidup di bawah garis
kemiskinan sering di anggap sebagai korban krisis politik, ekonomi, bahkan
sosial pasca Perang Bratayuda antara pihak Korawa Astina dan Amarta Pandawa.
Walaupun Pandawa junjunan Cepot keluar sebagai pemenangnya, tetap saja yang
namanya perang pasti rakyat kecil yang jadi korban.
Cepot sebagai masyarakat agraris yang
hidup menyatu dengan alam selalu berharap hidupnya akan berubah setelah era
reformasi, namun apa hendak dikata bagaikan punduk merindukan bulan. Harapan
Cepot yang menginginkan kesejahtraan hidup belum juga terwujud. Cepot selalu
mengingat wejangan ayahnya Semar Kudapawana tentang wawasan nusantara yang
memandang bahwa nusantara itu adalah satu kesatuan dalam hal politik, ekonomi,
sosial, budaya dan pertahanan dan keamanan. Apa yang di katakan Semar selalu di
garis bawahi Cepot bahwa hidup itu harus saling tolong menolong Silih Asah,
Silih Asih, Silih Asuh agar terwujud kerukunan antar sesama untuk mewujudkan
persatuan yang tak terpisahkan. Cepot teringat juga kata-kata junjunan gusti
Arjuna untuk saling bersilaturahmi, temu rasa dan jumpa wajah, saling tolong
menolong, saling menitipkan diri, budi, akal pada setiap manusia dimanapun dia
berada. (Guk-guk paamprok jonghok, patepay raray, patepung lawung). Utamana
jalma kudu rea batur, keur silih tulungan silih titipkeun nya diri, budi, akal
lantaran ti pada jalma.
Cepot
dan Semangat Keetnisan
Dalam budaya Jawa Barat sendiri, misalnya narasi-narasi counter hegemoni bisa diwakili dari tiga hal: budaya pantura dari pesisiran, budaya sunda, dan subvarian Sunda itu sendiri atau budaya yang berkembang dalam sektor-sektor petani seperti petani, buruh makelar atau nelayan dan lain-lain counter hegemonik dari budaya pinggiran memang harus diakui mereaksi feodalisme. Budaya High Culture perlu terbuka terhadap nilai-nilai counter hegemonik, karena hal ini penting bagi survivalitas etnis Sunda secara kolektif. Dengan dahi berkerut cepot berujar, kumaha bisa akur jeng budaya salembur mun urangna geh te ngabuka diri jeung budaya anu sa-entis atuh. Bagaimana bisa tahu budaya sendiri kalau kita tidak membuka dri dengan budaya yang se-etnis. Sunda harus melakukan dekonstruksi nilai-nilainya yang tidak kondusif terhadap demokrasi, tanpa menghilangkan nilai-nilai khasanah kearifan budaya lokal yang berdaya guna.
Dewasa kini, sejak Parikesit dinobatkan
menjadi Raja Amarta ditambah lagi dengan gejolak semangat otonomi daerah,
semangat keetnisan semakin menggebu-gebu di seluruh tanah air, kini kesadaran
kesundaan yang menjelma dalam diri Cepot secara perlahan dan berbisik, atau
malu-malu menyelinap pada sanubari Cepot. Setidaknya dalam keinginannya Cepot
mencoba mendaur ulang revitalisasi untuk menyundakan kembali Sunda. Karena akui
tidak diakui banyak sekali masyarakat yang satu kampung dengan Cepot yang
merasakan dan mengalami secara langsung kehidupan yang hakiki. Cepot lebih
memiliki tacit knowledge, daripada pemahamanan objektif yang diperoleh lewat
pengamatan dengan mengambil jarak dari objek kajian yang disebut dengan
explicit knowledge. Seperti apa yang dipaparkan oleh Prof. A. Chaedar Alwasilah
dalam Revitalisasi Jatidiri, Kamis 19 Juli 2001 yang silam dalam Konfrensi
Internasional Budaya Sunda (KIBS) Kesadaran etnis ecara terdidik dalam konteks
globalisasi justru merupakan kuantum kesadaran interetnis di bumi nusantara.
Dalam detik-detik sejarah balebet zaman
sekarang ini, Cepot lahir kembali dalam berbagai wajah Ki Sunda. Cepot yang
menuntut keadilan karena masih banyak orang yang mempertahankan tradisi high
culture sangat ingin diperhitungkan sebagai keluarga yang terpandang. Walaupun
Cepot telah mengetahui dari Ki Semar bahwa tradisi high culture seperti itu
dipakai untuk menutup-nutupi kecendrungan penguasa melakukan Koropsi, Kolusi
dan Nepotisme. Dengan sesama kelompok primordial. Mentalitas pengen kaya dan
berkuasa tanpa usaha sungguh-sungguh tanpa disadari akan menambah ketidakadilan
masyarakat kecil seperti Cepot.
Nilai demokrasi yang diusulkan Cepot
kepada junjunannya dari mulai Begawan Sakri, Pangeran Palasara, Begawan
Abiyasa, Pandu Dewanata, Pandawa Lima, Abimayu, dan yang terakir Raja Parikesit
menyebabkan para kalangan rakyat kelas proletar seperti Cepot selamanya tidak
bisa merasakan nikmatnya suasana hidup di istana. Padahal Cepot, Dawala, dan
saudara-saudaranya yang lain sudah siap untuk survival dan bersaing untuk
melakukan perubahan nilai tradisinya. Akibatnya kelompok dari low cuture
dipandang tidak mampu melestarikan tradisi dan kelompok etnis lain dipandang
mengancam komunitasnya. dalam hal ini Cepot berupaya keras untuk menghindari
konflik atau aksi massa untuk melawan junjunannya, Cepot lebih senang bertani
dan bercocok tanam, atupun mencari ikan di laut dari pada menjadi pejabat
negara yang menjadi buronan karena korupsi uang rakyat.
Cepot telah berupaya untuk menelisik dan
mencoba mengingatkan akan keluhan dirinya dan masyarakat lain yang senasib
dengannya untuk mengoreksi kemuraman dan kebuntuan sosial, budaya dan politik,
akibat asumsi keliru yang dilakukan para elite (junjunan) yang selalu mencoba
berbuat egois mengikuti kehendak nafsunya dan menampik kapasitasnya untuk
berbagi dan saling merasakan secara rasional.
Bagi Cepot dan masyarakat-masyarakat
yang dimiskinkan oleh zamannya, dapat memajukan kesejahtraan dari
anggota-anggotanya dengan cara menerima komitmen sosial, dan mempunyai
kehangatan hingga sanggup berkata; leber wawanen, kukuh kana jangji, silih
wawangi, medalkeun kamulyaan.
Dipubish Pikiran Rakyat
7 Agustus 2011
No comments:
Post a Comment