Setiap
Ramadhan orang-orang sibuk mempersiapkan menu makanan untuk berbuka dan
bersantap sahur. Makanan adalah konsumsi primer manusia sebagai mahluk hidup.
Makanan bukan hanya berfungsi untuk mempertahankan hidup, namun juga untuk
mempertahankan identitas kebudayaan secara kolektif koligial. Makanan
tradisional merupakan fenomena kebudayaan, karena memiliki arti simbolik yang
berkaitan dengan fungsi sosial dan keagamaan.
Sejak
dahulu makanan tradisional adalah sesuatu yang sakral, dalam tradisi kraton makanan
tradisional biasa disajikan untuk sang sultan (raja), tamu negara atau dalam
ritual keraton maupun menyambut hari besar keagamaan yang hingga kini masih
dilaksanakan. Ada banyak naskah- naskah klasik yang terkait dengan makanan
tradisional sebagai khasanah kearifan lokal. Seperti yang bisa dilihat dalam Serat Centhini yang merupakan naskah Jawa
yang cukup banyak memberikan pengetahuan tentang makanan tradisional khususnya
yang berkaitan dengan tradisi ritual masyarakat Jawa, bukan hanya Serat
Centhini banyak juga pengetahuan tentang makanan tradisonal yang ditulis dalam
naskah lain seperti Serat Goenadrija
ditulis oleh M Lagoetama seorang petani dari Purwasari-Lawian Surakarta, naskah
ini sekarang masih bisa dijumpai di Musium Sonobudoyo Jogjakarta, Primbon Lukmanakim Adamakna naskah
aslinya milik Kanjeng Pangeran Harta Tjakraningrat yang berisi babon dari
segala primbon, sedangkan Serat Jumenengan, Serat Wilujengan, Serat
Kraman, Serat Mangkunegaran merupakan naskah koleksi Reksopustoko Istana
Mangkunegaran, Surakarta dengan kode No.90 MN ditulis dengan ejaan lama (Ophysen) (Tresna Kumala 2011:161).
Dalam
Serat Centhini tertulis tentang beberapa makanan tradisional yang masih
dipergunakan dalam makanan sehari-hari, termasuk dalam ritual adat seperti Iwak Pitik (Daging Ayam), dimasak sesuai
kebutuhan, dengan dibumbui kunyit biar tidak terasa hanyir, digoreng, direndang, dipepes atau dibakar, bisa juga dibuat
opor, pengolahanya dingan dibersihkan jeroannya (dalemanya), dibubuti (dicabuti
bulunya), kemudian dicuci. Khusus untuk sesaji atau ritual tertentu memakai iwak pitik wulu kuning (Serat Chentini
II, 123:24).
Serat
Centhini juga menginformasikan tentang makanan tradisonal seperti Sekul Pulen Pethak (Beras yang sudah
jadi nasi berkualitas tinggi kemudian dibumbui minyak kelapa dan rempah-rempah
diaduk hingga airnya habis, kemudian ditanak hingga masak), makanan jenis ini
biasanya digunakan oleh kalangan istana/kraton (Serat Chentini II, V: 350:20).
Makanan
Tradisional selanjutnya adalah sekul puyar
kepyur ura angen yaitu beras dan santan kental dibumbui dengan daun pandan,
kunyit, daun salam dan garam. Cara memasanknya beras ditanak sampai setangah
matang. Santan, garam, air kunyit yang sudah dibakar, ditambah daun salam, dan
pandan direbus sampai mendidih. Beras dicampur dengan santan dan bumbu-bumbu
yang sudah diolah. Setalah masak nasi kemudian dikipas-kipas diletakan dinampan
kemudian dihias di iris-iris telor dadar, sambel goreng ati, kering tempe,
srundeng, ketimun, acar kuning dan bawang goreang. Jenis makanan ini digunakan
untuk makanan sehari-hari oleh kalangan kraton dan bukan untuk sesaji. Namun di
era modern dalam masyarakat umum biasanya dibuat nasi kuning dan tumpeng untuk
ritual tertentu bahkan acara bersih desa.
Sekul Asahan
bahan pokonya Beras ditanak sampai jadi nasi ditambah lauk pauk dan sayuran
yang disajikan tidak pedas disajikan dengan nampan untuk keluarga keraton,
namun masyarakat umum biasa menyajikan ketika sedang hajatan khitanan atau
pernikahan disajikan dengan memakai takir kemudian dibagi-bagikan kepada
masyarakat sebagi bentuk rasa syukur.
Sekul Tumpeng Megana
berbahan pokok beras, sayuran, teri dan kelapa muda. Bumbunya bawang putih,
kencur, cabe, tarasi dan garam. Cara membuatnya beras ditanak sampai matang,
dikasih bumbu dan sayuran kemudian kelapa muda diparut, teri disangrai ditambah
irisan petai nasi kemudian dikukus dicampur dengan bumbu-bumbunya. Cara
penyajiannya Tampa yang sudah dilapisi daun pisang, nasi dihias dengan irisan
telur dadar, sayuran dan lauk pauk, tempe bakar dan tahu bakar digunakan oleh
kalangan keraton dan diperuntukan dalam sesaji ata acara ritual.
Sekul Ulam
dan Sekul Wuduk dimasak memakai
parudan klapa,tambah bawang merah goreng dan gula putih. Kini nasi uduk sudah
menjadi makanan masyarakat yang dijual secara umum untuk sarapan dipagi hari. (Serat
Chentini II, 157:6).
Dalam
Serat Jumenengan, Serat Wilujengan, Serat
Kraman, Serat Mangkunegaran berisi tentang berbagai makanan sebagai simbol
penghormatan kepada Nabi dan Raja. Contoh dalam isi Naskah dalam Serat Mangkunegaran (1-23), makanan
untuk memnghormati kanjeng nabi Muhammad Saw bersama Istrinya Siti Khodijah. “Ngaturi dhahar kanjeng Nabi Muhammad Rasululloh
sagarwa Siti Katijah, sekul wuduk ulam lembaran ayam pethak, sarem lemper
lombok ijo, woh-wohan, roti mentega keju 1 piring, cangkir wedang bubuk powan 1
cangkir, kurma, powan tuwin madu.’”
Kearifan Lokal
Makanan
Tradisional sebagai pelengkap dalam ritual keagamaan sebagai bagian kearifan
lokal (Local Wisdom) yang bersumber
dari hasil karya cipta nenek moyang yang dituliskan dalam naskah-naskah
nusantara. Dalam sudut pandang antropologi makanan bukan hanya sebagai produksi
organisme dengan kualitas biokimia, kebudayaan sebagai kolektif ikut menentukan
makanan dapat dimakan atau tidak sekaligus mengesahkan.
Kearifan
lokal tentang makanan tradisional yang terkandung dalam naskah-naskah nusantara
khususnya naskah-naskah Jawa tersebut merupakan warisan nenek moyang yang
bernilai tinggi, karena dengan mewarisi tradisi tentang makanan, dapat
memperkuat identitas dan jati diri bangsa Indonesia secara universal. Walaupun banyak
penambahan variasi makanan dan pola penyajian itu masih dianggap hal yang wajar
dan manusiawi.
Soemarwoto
menjelaskan (1988:20) dalam masyarakat masa lalu sudah ada cerita lisan
masyarakat tradisional tentang lingkungan hidup mereka tinggal, yang
dipengaruhi nilai budayanya. Salah satu wujud citra tradisional itu adalah
upacara tradisonal atau upacara ritual misalnya sedekah bumi, saparan, ruwah
rasul, bersih desa, muludan. Sedangkan upacara yang biasa dilakukan oleh
beberapa keraton seperti Jogjakarta, Surakarta, Solo ataupun Cirebon adalah
Grebeg Mulud, Grebeg Syawal, Wilujengan Jumenengan Raja. Dalam ritual tersebut
biasanya disajikan makanan khusus yang sudah dikasih doa-doa. Menurut
Koentjoroningrat makanan tradisional masyarakat Nusantara khususnya di pulau
Jawa merupakan bagian dari Folklore
yang mempunyai fungsi pada masyarakat pendukungnya. Fungsi unsur-unsur
kebudayaan sendiri adalah untuk memelihara keutuhan dan sistematik struktur
sosial (Koentjoroningrat, 1984:68). Hal ini dipertegas oleh Bascom (1985, 3-20)
yang mengatakan bahwa Folklore mempunya beberapa fungsi dalam masyarakat
berbudaya pertama, sebagai sistem
proyeksi yakni sebagai alat pencermin angan-angan secara kolektif. Kedua, sebagai alat pengesahan
pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan. Ketiga, sebagai media pengetahuan dan pendidikan. Keempat, secara umum dapat dijadikan
untuk menjaga kelestarian budaya.
Secara umum makanan tradisional
dalam masyarakat nusantara memiliki beberapa fungsi diantaranya untuk menjalin
ikatan sosial, kerukunan antarwarga, mempererat persaudaraan, termasuk untuk penanamankan nilai-nilai
spiritual, dengan kata lain makanan
tradisional memiliki fungsi sosial, fungsi keagamaan (religi), serta fungsi simbolik. Semoga saja kajian tentang khazanah
makanan tradisonal bisa menjadi bagian alternatif ketika berbuka puasa.
Dipublikasikan di Tribun Jabar 9 Juli 2015
No comments:
Post a Comment