Sunday, July 19, 2015

Nilai Kearifan Lokal Makan Tradisonal Oleh: Wahyu Iryana

Setiap Ramadhan orang-orang sibuk mempersiapkan menu makanan untuk berbuka dan bersantap sahur. Makanan adalah konsumsi primer manusia sebagai mahluk hidup. Makanan bukan hanya berfungsi untuk mempertahankan hidup, namun juga untuk mempertahankan identitas kebudayaan secara kolektif koligial. Makanan tradisional merupakan fenomena kebudayaan, karena memiliki arti simbolik yang berkaitan dengan fungsi sosial dan keagamaan.
Sejak dahulu makanan tradisional adalah sesuatu yang sakral, dalam tradisi kraton makanan tradisional biasa disajikan untuk sang sultan (raja), tamu negara atau dalam ritual keraton maupun menyambut hari besar keagamaan yang hingga kini masih dilaksanakan. Ada banyak naskah- naskah klasik yang terkait dengan makanan tradisional sebagai khasanah kearifan lokal. Seperti yang bisa dilihat dalam Serat Centhini yang merupakan naskah Jawa yang cukup banyak memberikan pengetahuan tentang makanan tradisional khususnya yang berkaitan dengan tradisi ritual masyarakat Jawa, bukan hanya Serat Centhini banyak juga pengetahuan tentang makanan tradisonal yang ditulis dalam naskah lain seperti Serat Goenadrija ditulis oleh M Lagoetama seorang petani dari Purwasari-Lawian Surakarta, naskah ini sekarang masih bisa dijumpai di Musium Sonobudoyo Jogjakarta, Primbon Lukmanakim Adamakna naskah aslinya milik Kanjeng Pangeran Harta Tjakraningrat yang berisi babon dari segala primbon, sedangkan Serat Jumenengan, Serat Wilujengan, Serat Kraman, Serat Mangkunegaran merupakan naskah koleksi Reksopustoko Istana Mangkunegaran, Surakarta dengan kode No.90 MN ditulis dengan ejaan lama (Ophysen) (Tresna Kumala 2011:161).
Dalam Serat Centhini tertulis tentang beberapa makanan tradisional yang masih dipergunakan dalam makanan sehari-hari, termasuk dalam ritual adat seperti Iwak Pitik (Daging Ayam), dimasak sesuai kebutuhan, dengan dibumbui kunyit biar tidak terasa hanyir, digoreng, direndang, dipepes atau dibakar, bisa juga dibuat opor, pengolahanya dingan dibersihkan jeroannya (dalemanya), dibubuti (dicabuti bulunya), kemudian dicuci. Khusus untuk sesaji atau ritual tertentu memakai iwak pitik wulu kuning (Serat Chentini II, 123:24).
Serat Centhini juga menginformasikan tentang makanan tradisonal seperti Sekul Pulen Pethak (Beras yang sudah jadi nasi berkualitas tinggi kemudian dibumbui minyak kelapa dan rempah-rempah diaduk hingga airnya habis, kemudian ditanak hingga masak), makanan jenis ini biasanya digunakan oleh kalangan istana/kraton (Serat Chentini II, V: 350:20).
Makanan Tradisional selanjutnya adalah sekul puyar kepyur ura angen yaitu beras dan santan kental dibumbui dengan daun pandan, kunyit, daun salam dan garam. Cara memasanknya beras ditanak sampai setangah matang. Santan, garam, air kunyit yang sudah dibakar, ditambah daun salam, dan pandan direbus sampai mendidih. Beras dicampur dengan santan dan bumbu-bumbu yang sudah diolah. Setalah masak nasi kemudian dikipas-kipas diletakan dinampan kemudian dihias di iris-iris telor dadar, sambel goreng ati, kering tempe, srundeng, ketimun, acar kuning dan bawang goreang. Jenis makanan ini digunakan untuk makanan sehari-hari oleh kalangan kraton dan bukan untuk sesaji. Namun di era modern dalam masyarakat umum biasanya dibuat nasi kuning dan tumpeng untuk ritual tertentu bahkan acara bersih desa.
Sekul Asahan bahan pokonya Beras ditanak sampai jadi nasi ditambah lauk pauk dan sayuran yang disajikan tidak pedas disajikan dengan nampan untuk keluarga keraton, namun masyarakat umum biasa menyajikan ketika sedang hajatan khitanan atau pernikahan disajikan dengan memakai takir kemudian dibagi-bagikan kepada masyarakat sebagi bentuk rasa syukur.
Sekul Tumpeng Megana berbahan pokok beras, sayuran, teri dan kelapa muda. Bumbunya bawang putih, kencur, cabe, tarasi dan garam. Cara membuatnya beras ditanak sampai matang, dikasih bumbu dan sayuran kemudian kelapa muda diparut, teri disangrai ditambah irisan petai nasi kemudian dikukus dicampur dengan bumbu-bumbunya. Cara penyajiannya Tampa yang sudah dilapisi daun pisang, nasi dihias dengan irisan telur dadar, sayuran dan lauk pauk, tempe bakar dan tahu bakar digunakan oleh kalangan keraton dan diperuntukan dalam sesaji ata acara ritual.
Sekul Ulam dan Sekul Wuduk dimasak memakai parudan klapa,tambah bawang merah goreng dan gula putih. Kini nasi uduk sudah menjadi makanan masyarakat yang dijual secara umum untuk sarapan dipagi hari. (Serat Chentini II, 157:6).
Dalam Serat Jumenengan, Serat Wilujengan, Serat Kraman, Serat Mangkunegaran berisi  tentang berbagai makanan sebagai simbol penghormatan kepada Nabi dan Raja. Contoh dalam isi Naskah dalam Serat Mangkunegaran (1-23), makanan untuk memnghormati kanjeng nabi Muhammad Saw bersama Istrinya Siti Khodijah. “Ngaturi dhahar kanjeng Nabi Muhammad Rasululloh sagarwa Siti Katijah, sekul wuduk ulam lembaran ayam pethak, sarem lemper lombok ijo, woh-wohan, roti mentega keju 1 piring, cangkir wedang bubuk powan 1 cangkir, kurma, powan tuwin madu.’
Kearifan Lokal
Makanan Tradisional sebagai pelengkap dalam ritual keagamaan sebagai bagian kearifan lokal (Local Wisdom) yang bersumber dari hasil karya cipta nenek moyang yang dituliskan dalam naskah-naskah nusantara. Dalam sudut pandang antropologi makanan bukan hanya sebagai produksi organisme dengan kualitas biokimia, kebudayaan sebagai kolektif ikut menentukan makanan dapat dimakan atau tidak sekaligus mengesahkan.
Kearifan lokal tentang makanan tradisional yang terkandung dalam naskah-naskah nusantara khususnya naskah-naskah Jawa tersebut merupakan warisan nenek moyang yang bernilai tinggi, karena dengan mewarisi tradisi tentang makanan, dapat memperkuat identitas dan jati diri bangsa Indonesia secara universal. Walaupun banyak penambahan variasi makanan dan pola penyajian itu masih dianggap hal yang wajar dan manusiawi.
Soemarwoto menjelaskan (1988:20) dalam masyarakat masa lalu sudah ada cerita lisan masyarakat tradisional tentang lingkungan hidup mereka tinggal, yang dipengaruhi nilai budayanya. Salah satu wujud citra tradisional itu adalah upacara tradisonal atau upacara ritual misalnya sedekah bumi, saparan, ruwah rasul, bersih desa, muludan. Sedangkan upacara yang biasa dilakukan oleh beberapa keraton seperti Jogjakarta, Surakarta, Solo ataupun Cirebon adalah Grebeg Mulud, Grebeg Syawal, Wilujengan Jumenengan Raja. Dalam ritual tersebut biasanya disajikan makanan khusus yang sudah dikasih doa-doa. Menurut Koentjoroningrat makanan tradisional masyarakat Nusantara khususnya di pulau Jawa merupakan bagian dari Folklore yang mempunyai fungsi pada masyarakat pendukungnya. Fungsi unsur-unsur kebudayaan sendiri adalah untuk memelihara keutuhan dan sistematik struktur sosial (Koentjoroningrat, 1984:68). Hal ini dipertegas oleh Bascom (1985, 3-20) yang mengatakan bahwa Folklore mempunya beberapa fungsi dalam masyarakat berbudaya pertama, sebagai sistem proyeksi yakni sebagai alat pencermin angan-angan secara kolektif. Kedua, sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan. Ketiga, sebagai media pengetahuan dan pendidikan. Keempat, secara umum dapat dijadikan untuk menjaga kelestarian budaya.

            Secara umum makanan tradisional dalam masyarakat nusantara memiliki beberapa fungsi diantaranya untuk menjalin ikatan sosial, kerukunan antarwarga, mempererat persaudaraan,  termasuk untuk penanamankan nilai-nilai spiritual, dengan  kata lain makanan tradisional memiliki fungsi sosial, fungsi keagamaan (religi), serta fungsi simbolik. Semoga saja kajian tentang khazanah makanan tradisonal bisa menjadi bagian alternatif ketika berbuka puasa.

Dipublikasikan di Tribun Jabar 9 Juli 2015

No comments:

Post a Comment