Salah satu pengajaran
khas di pesantren adalah transformasi keilmuan kitab kuning yang membahas ilmu
alat. Dalam penjabaran yang lebih luas ilmu alat ini mencakup tata bahasa Arab
tradisional, seperti nahwu (sintakstis), sharaf (infleksi), balaghah (retorika), di samping itu juga ada ilmu mantiq (logika) dan ilmu tajwid (ilmu untuk membaca Alquran dengan baik dan benar). Namun seiring perkembangan zaman dewasa ini dunia modern mengalami
banyak sekali perubahan-perubahan yang besar, khususnya perkembagan teknologi
informasi dan komunikasi. Melihat perkembangan dunia yang begitu cepat ini bagi
banyak kalangan telah memunculkan respon
yang beragam. Tidak terkecuali bagi umat Islam dan tidak terkecuali pondok pesantren di dalamnya.
Perubahan-perubahan yang terus muncul belakangan ini di dalamnya
menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan manusia, aspek ekonomi hingga aspek
nilai-nilai moral. Secara sederhana, era global ini dapat di ilustrasikan
dengan persaingan sengit dalam bidang ilmu dan politik, kemajuan sains, dan
teknologi, arus informasi yang cepat, dan perubahan sosial yang tinggi.
Dalam memahami gejala modernitas yang kian dinamis
pesantren sebagaimana yang di istilahkan Gus Dur sebagai sebuah ‘sub-kultur’
memiliki dua tanggung jawab secara bersamaan, yaitu sebagai lembaga agama Islam
dan sebagai bagian integral masyarakat yang bertanggung jawab terhadap
perubahan dan rekayasa sosial (social
engineering). Karena memiliki model pendidikan dan cara belajar santri,
pesantren sudah selayaknya dan harus terus menjadi lembaga tafaqquh fiddin dalam arti luas. Pesantren sepeti dunia akademik,
ia memiliki ciri khas tersendiri,
bertanggung jawab atas berbagai fenomena sosial yang berkembang serta menjadi
solusi bagi berbagai dampak negative modernitas, tentunya hal tersebut bagi kelangsungan hidup umat Islam khususnya
dan seluruh manusia pada umumnya sebagai perwujudan nilai Islam rahmatan
lil ‘alamin, rahmat bagi semesta alam.
Untuk dapat menganalisa peran pesantren di era global, sebelumnya harus
di pahami, sebagaimana sudah dibahas pada bagian sebelumnya, bahwa pesantren memiliki akar sosio-historis
yang sangat kuat sehingga membuatnya mampu menduduki posisi yang relatif
sentral dalam dunia keilmuwan masyarakat, dan sekaligus bertahan di tengah
berbagai gelombang perubahan.
Sebagaimana diketahui selama ini pesantren di kenal dengan lembaga
pendidikan pengimbang terhadap sistem pendidikan sekuler yang ada. Secara
historis, kalau kita menerima spekulasi bahwa lembaga pesantren telah ada
sebelum Islam masuk ke Indonesia, maka sangat boleh jadi ia merupakan
satu-satunya lembaga pendidikan dan keilmuan yang ada di luar istana. Dan jika
ini benar, berarti pesantren pada saat itu merupakan lembaga”counter culture” atau budaya tandingan terhadap budaya keilmuan yang hanya
dimonopoli kalangan istana dan elit Brahmana. Sehingga dengan demikian
keberadaan pesantren sejak awalnya merupakan pusat pendidikan yang menjadi milik
masyarakat secara umum dan sebagai penjaga nilai-nilai keadilan dalam melawan
segala hegemoni dan penindasan penguasa.
Sebagaimana telah diketahui paparkan, pondok
pesantren tradisional adalah lembaga pendidikan Islam yang selalu mengalami
perkembangan bentuk sesuai dengan perubahan zaman. Terutama adanya dampak
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang membawa trasformasi terhadap
pondok pesantren. Dalam hal ini pondok pesantren bukan berarti telah hilang
kekhasannya.
Kalau
boleh kita menyitir pendapat KH. Said
Agil Siradj (2007), ada tiga hal yang harus terus dikuatkan dalam pesantren. Pertama,
tamaddun yaitu memajukan pesantren. Kalau kita jujur, masih banyak
pesantren yang dikelola secara sederhana. Manajemen dan administrasinya masih
bersifat kekeluargaan dan semuanya ditangani oleh kyainya. Dalam hal ini, maka
pesantren perlu berbenah diri.
Kedua, tsaqafah, yaitu
bagaimana memberikan pencerahan kepada umat Islam agar kreatif-produktif dalam
kehidupan agamanya, dengan tidak melupakan orisinalitas ajaran Islam. Salah
satu contoh, para santri harus terus dididik untuk selalu tetap setia dengan
tradisi kepesantrenannya. Akan tetapi, mereka juga harus akrab dengan komputer
dan teknologi informasi sertan berbagai ilmu pengetahuan serta sains modern
lainnya.
Ketiga, hadharah, yaitu
membangun budaya. Dalam hal ini, bagaimana budaya kita dapat diwarnai oleh jiwa
dan tradisi Islam. Di sini, pesantren diharap mampu mengembangkan dan
mempengaruhi tradisi yang bersemangat Islam di tengah hembusan dan pengaruh
dahsyat globalisasi yang berupaya menyeragamkan budaya melalui produk-produk
teknologi (Abdurrahman Mas’ud, 2002).
Pesantren dengan demikian diharapkan
terus memiliki komitemen yang kuat dalam
memperjuangkan dan mempertahankan kebaikan dan kebenaran, di samping juga
memiliki komitemen sosial yang tinggi. Kaidah yang mengakar kuat dalam
kultur pesantren adalah al-Muhafadzatu ’ala al-qadim as-shalih wal-akhdzu bil-jadid al-ashlah, melestarkan nilai-nilai lama yang baik dan
mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik.
Demikian
juga dengan pengaruh pesantren yang dikenal memiliki kemampuan hidup (survive) di tengah berbagai perubahan
yang terjadi bahkan dalam keterbatasannya. Pesantren juga dipandang memiliki kemampuan kuat dalam memobilisasi sumber
daya lokal baik berupa tenaga maupun dana. Kyai dipandang sebagai rujukan dalam kehidupan masyarakatnya, tidak saja sebagai pengayom, tapi juga
sebagai pemberi solusi atas problem
kehidupan masyarakatnya bahkan di luar masalah-masalah keagamaan.
Pondok pesantren sebagai tempat
memperdalam ilmu agama juga memacu diri dalam mencari sesuatu yang baru sesuai
dengan pengetahuan dan teknologi. Serta menghadapi perkembangan zaman dengan tetap
mempunyai kandungan iman dan taqwa kepada Allah SWT. Dengan demikian pondok
pesantren menjadi pusat pendidikan agama dan pengetahuan masyarakat, sekaligus
mewujudkan peran transformasi terhadap ide-ide dan wawasan baru bagi
kesejahteraan rakyat dan masyarakat di sekitarnya dan dalam mengisi
pembangunan.
Nilai-nilai yang dikembangkan
dipesantren senantiasa digerakan dan diarahkan oleh nilai-nilai kehidupan yang
bersumber pada ajaran Islam. Ajaran dasar tersebut berinteraksi dengan struktur
kontektual atau realitas sosial yang ada dalam kehidupan sehari-hari.
Hasil perpaduan inilah yang
membentuk pandangan hidup, dan pandangan hidup inilah yang menetapkan tujuan
pendidikan pesantren yang ingin dicapai dan pemilihan metode yang akan
dilaksanakan. Oleh karena itu, pandangan hidupnya selalu berubah dan berkembang
sesuai dengan perubahan dan perkembangan realitas sosial yang dihadapi oleh
sebuah pondok pesantren.
Pertanyaannya
sekarang, bagaimanakah santri sebagai sub inti dari adanya
pesantren
mampu mengelaborasi dakwah dalam era global, dengan memberikan
nilai positif marketable di dunia globalisasi? Tentunya
santri harus mampu masuk dalam dunia media, santri hendaknya tidak gaptek
terhadap teknologi yang berkembang. Media dakwah santri bisa melalui radio, televisi,
media cetak, maupun dakwah via internet. Di sisi lain banyaknya
kontes-kontes dai disadari atau tidak apabila tidak mampu melakukan akses
menyeluruh terhadap perkembangan zaman, ia akan dijadikan boneka entertaiment
belaka.
Penulis
berharap, pesantren tidak lagi dicap sebagai sarang teroris dan semoga dari
pesantrenlah akan muncul pangeran bersarung (santri) sebagai pemimpin nasional
untuk mengentaskan problem-problem bangsa yang semakin
menggurita.
Wallahu a’lam.
Dimuat di Koran Republika
No comments:
Post a Comment