Saturday, July 18, 2015

Tantangan Modernitas Pesantren Oleh: Wahyu Iryana

Salah satu pengajaran khas di pesantren adalah transformasi keilmuan kitab kuning yang membahas ilmu alat. Dalam penjabaran yang lebih luas ilmu alat ini mencakup tata bahasa Arab tradisional, seperti nahwu (sintakstis), sharaf (infleksi), balaghah (retorika), di samping itu juga ada ilmu mantiq (logika) dan ilmu tajwid (ilmu untuk membaca Alquran dengan baik dan benar). Namun seiring perkembangan zaman dewasa ini dunia modern mengalami banyak sekali perubahan-perubahan yang besar, khususnya perkembagan teknologi informasi dan komunikasi. Melihat perkembangan dunia yang begitu cepat ini bagi banyak kalangan telah memunculkan respon  yang beragam. Tidak terkecuali bagi umat Islam dan tidak terkecuali  pondok pesantren di dalamnya.
Perubahan-perubahan yang terus muncul belakangan ini di dalamnya menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan manusia, aspek ekonomi hingga aspek nilai-nilai moral. Secara sederhana, era global ini dapat di ilustrasikan dengan persaingan sengit dalam bidang ilmu dan politik, kemajuan sains, dan teknologi, arus informasi yang cepat, dan perubahan sosial yang tinggi.
Dalam memahami gejala modernitas yang kian dinamis pesantren sebagaimana yang di istilahkan Gus Dur sebagai sebuah ‘sub-kultur’ memiliki dua tanggung jawab secara bersamaan, yaitu sebagai lembaga agama Islam dan sebagai bagian integral masyarakat yang bertanggung jawab terhadap perubahan dan rekayasa sosial (social engineering). Karena memiliki model pendidikan dan cara belajar santri, pesantren sudah selayaknya dan harus terus menjadi lembaga tafaqquh fiddin dalam arti luas. Pesantren sepeti dunia akademik, ia  memiliki ciri khas tersendiri, bertanggung jawab atas berbagai fenomena sosial yang berkembang serta menjadi solusi bagi berbagai dampak negative modernitas, tentunya hal tersebut  bagi kelangsungan hidup umat Islam khususnya dan seluruh manusia pada umumnya sebagai perwujudan nilai Islam  rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi semesta alam.
Untuk dapat menganalisa peran pesantren di era global, sebelumnya harus di pahami, sebagaimana sudah dibahas pada bagian sebelumnya,  bahwa pesantren memiliki akar sosio-historis yang sangat kuat sehingga membuatnya mampu menduduki posisi yang relatif sentral dalam dunia keilmuwan masyarakat, dan sekaligus bertahan di tengah berbagai gelombang perubahan.
Sebagaimana diketahui selama ini pesantren di kenal dengan lembaga pendidikan pengimbang terhadap sistem pendidikan sekuler yang ada. Secara historis, kalau kita menerima spekulasi bahwa lembaga pesantren telah ada sebelum Islam masuk ke Indonesia, maka sangat boleh jadi ia merupakan satu-satunya lembaga pendidikan dan keilmuan yang ada di luar istana. Dan jika ini benar, berarti pesantren pada saat itu merupakan lembaga”counter culture”  atau budaya tandingan  terhadap budaya keilmuan yang hanya dimonopoli kalangan istana dan elit Brahmana. Sehingga dengan demikian keberadaan pesantren sejak awalnya merupakan pusat pendidikan yang menjadi milik masyarakat secara umum dan sebagai penjaga nilai-nilai keadilan dalam melawan segala hegemoni dan penindasan penguasa.
Sebagaimana telah diketahui paparkan, pondok pesantren tradisional adalah lembaga pendidikan Islam yang selalu mengalami perkembangan bentuk sesuai dengan perubahan zaman. Terutama adanya dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang membawa trasformasi terhadap pondok pesantren. Dalam hal ini pondok pesantren bukan berarti telah hilang kekhasannya.
Kalau boleh kita menyitir  pendapat KH. Said Agil Siradj (2007), ada tiga hal yang harus terus dikuatkan dalam pesantren. Pertama, tamaddun yaitu memajukan pesantren. Kalau kita jujur, masih banyak pesantren yang dikelola secara sederhana. Manajemen dan administrasinya masih bersifat kekeluargaan dan semuanya ditangani oleh kyainya. Dalam hal ini, maka pesantren perlu berbenah diri.
Kedua, tsaqafah, yaitu bagaimana memberikan pencerahan kepada umat Islam agar kreatif-produktif dalam kehidupan agamanya, dengan tidak melupakan orisinalitas ajaran Islam. Salah satu contoh, para santri harus terus dididik untuk selalu tetap setia dengan tradisi kepesantrenannya. Akan tetapi, mereka juga harus akrab dengan komputer dan teknologi informasi sertan berbagai ilmu pengetahuan serta sains modern lainnya.
Ketiga, hadharah, yaitu membangun budaya. Dalam hal ini, bagaimana budaya kita dapat diwarnai oleh jiwa dan tradisi Islam. Di sini, pesantren diharap mampu mengembangkan dan mempengaruhi tradisi yang bersemangat Islam di tengah hembusan dan pengaruh dahsyat globalisasi yang berupaya menyeragamkan budaya melalui produk-produk teknologi (Abdurrahman Mas’ud, 2002).
         Pesantren dengan demikian diharapkan terus memiliki komitemen yang kuat  dalam memperjuangkan  dan mempertahankan  kebaikan dan kebenaran, di samping juga memiliki komitemen sosial yang tinggi. Kaidah yang mengakar kuat dalam kultur  pesantren adalah  al-Muhafadzatu ’ala al-qadim as-shalih  wal-akhdzu bil-jadid al-ashlah,  melestarkan nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik.
Demikian juga dengan pengaruh pesantren yang dikenal memiliki kemampuan hidup (survive) di tengah berbagai perubahan yang terjadi bahkan dalam keterbatasannya. Pesantren juga dipandang memiliki kemampuan kuat dalam memobilisasi sumber daya lokal baik berupa tenaga maupun dana. Kyai dipandang sebagai rujukan  dalam kehidupan masyarakatnya,  tidak saja sebagai pengayom, tapi juga sebagai  pemberi solusi atas problem kehidupan masyarakatnya bahkan di luar masalah-masalah keagamaan.
Pondok pesantren sebagai tempat memperdalam ilmu agama juga memacu diri dalam mencari sesuatu yang baru sesuai dengan pengetahuan dan teknologi. Serta menghadapi perkembangan zaman dengan tetap mempunyai kandungan iman dan taqwa kepada Allah SWT. Dengan demikian pondok pesantren menjadi pusat pendidikan agama dan pengetahuan masyarakat, sekaligus mewujudkan peran transformasi terhadap ide-ide dan wawasan baru bagi kesejahteraan rakyat dan masyarakat di sekitarnya dan dalam mengisi pembangunan.
Nilai-nilai yang dikembangkan dipesantren senantiasa digerakan dan diarahkan oleh nilai-nilai kehidupan yang bersumber pada ajaran Islam. Ajaran dasar tersebut berinteraksi dengan struktur kontektual atau realitas sosial yang ada dalam kehidupan sehari-hari.
Hasil perpaduan inilah yang membentuk pandangan hidup, dan pandangan hidup inilah yang menetapkan tujuan pendidikan pesantren yang ingin dicapai dan pemilihan metode yang akan dilaksanakan. Oleh karena itu, pandangan hidupnya selalu berubah dan berkembang sesuai dengan perubahan dan perkembangan realitas sosial yang dihadapi oleh sebuah pondok pesantren.
Pertanyaannya sekarang, bagaimanakah santri sebagai sub inti dari adanya pesantren mampu mengelaborasi dakwah dalam era global, dengan memberikan nilai positif marketable di dunia globalisasi? Tentunya santri harus mampu masuk dalam dunia media, santri hendaknya tidak gaptek terhadap teknologi yang berkembang. Media dakwah santri bisa melalui radio, televisi, media cetak, maupun dakwah via internet. Di sisi lain banyaknya kontes-kontes dai disadari atau tidak apabila tidak mampu melakukan akses menyeluruh terhadap perkembangan zaman, ia akan dijadikan boneka entertaiment belaka.

Penulis berharap, pesantren tidak lagi dicap sebagai sarang teroris dan semoga dari pesantrenlah akan muncul pangeran bersarung (santri) sebagai pemimpin nasional untuk mengentaskan problem-problem bangsa yang semakin menggurita. Wallahu a’lam.

Dimuat di Koran Republika

No comments:

Post a Comment