Kidung
adalah sejenis pupuh, guguritan yang memiliki makna mendalam biasanya
ditembangkan pada malam hari oleh pujangga, maha guru, atau pun seorang ibu
yang sedang memberi wejangan kepada anaknya. Kidung bumi segandu merupakan pepeling hidup masyarakat
Cirebon-Dermayon dengan memakai varian tafsir makna lahiriah, berisi tentang
falsafah hidup, dawuh Kanjeng Sunan
Gunung Jati. Konsep ajaran kidung bumi segandu bisa dipadukan dengan nadhoman maca patekah (macapat), membaca surat Al-fatihah sebagai purwa (awalan)
melantunkannya. Kidung bumi segandu kini
diadopsi oleh para seniman sebagai produk budaya. Kidung kemudian
diejawantahkan oleh para sinden dalam pertunjukan wayang, selametan kelahiran,
khitanan, dan pernikahan yang dilantunkan dengan gitar dan seruling.
Berikut
adalah contoh kidung bumi segandu pepekem Sunan Gunung Jati Bismillah/purwaning wiwit/liwang liwung
randu kurung/ gunung sembung/ gunung jati gunung amparan/ ingkang sejatining/
sejajare lawang sanga/kang jageni tamengana pasangan damar/ panggone lingging
saking kursi gading gilang kencana.(Bismillah sebagai pembuka, belantara
Gunung Sembung, Gunung Amparan Jati, yang sejati sejajar pintu sembilan simbol
para wali, sebagai cahaya penerang yang menduduki singgasana kursi gading
gilang kencana).
Sangue syahadat iman/tekane
syahadat sejati/kang jembarane liar/ byar suminar cahaya damar/ kang dadia
pepadang ing Caruban Nagari/ manunggaling kaula gusti/cukup aub ora nana papa.(Bekalnya
syahadat iman, datangnya syahadat sejati, yang menyebar sebagai cahaya penerang
di Caruban Nagari, bersatunya rakyat dan pemimpin, dicukupkan tidak kurang apa).
Ingsun titip tajug lan fakir
miskin/ sumangga angger pasangan damar/penerus/ lampah ira sing bijaksana/
niatana tumindak ati sing ikhlas/tekad kang nyata/dadia panutun ning pepada/
kairing doa pangestu/dadia sinatria ingkang mayungi nagari puseur bumi. (Saya
menitipkan tajug dan fakir miskin, silahkan generasi penerus meneruskan
perjuangan, perbuatanmu harus bijaksana/ niatkan tindakan dengan ikhlas/ tekad
yang nyata/jadia panutan dengan sesama/ teriring doa restu/ jadilah manusia
yang memayungi negara sebagai pusat bumi).
Duh gusti/ mugia pasangan damar/
angsal siraman banyu suci/ sucine banyu
saking ghaibe pangeran/ ugi dipun paringi barokah/ selamet lahir batin dunia
wal akherat amin ya robarl alamin.(Ya Allah semoga
pancaran cahaya menjadi penyiram air suci dari ghaibnya Tuhan, dan juga semoga
mendapat barokah, selamat lahir batin dunia sampai akherat amin ya robal
alamin).
Bumi
segandu sebagai babakan cerita lahirnya manusia Cirebon-Dermayon ke muka bumi, berbuat
kebijakan, menjelma membentuk peradaban. Menurut Kusnaka Adimiharja di daerah
utara Tatar Pasundan, orang-orang Sunda sebagai penghuni awal hutan, kemudian
menerima cara hidup baru. Mereka menetap dan meleburkan diri melakukan adaptasi
dan akulturasi budaya yang sekarang terwujud semacam subkultur dari kebudayaan
Sunda, kemudian mengkristal sebagai subkultur baru budaya Sunda-Jawa Pesisiran
(Budaya Cirebon-Dermayon). Hal ini kemudian bisa terlihat dengan dialek bahasa
yang berbeda. Namun, Kusnaka Adimiharja menambahkan perubahan yang mendasar
dalam aspek lingkungan alam ternyata tidak selalu merubah secara keseluruhan
pandangan dan nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan sebelumnya, di
kalangan orang-orang Sunda sendiri sekarang masih jelas tampak sikap yang
mencerminkan karakteristik kebudayaan ladang (Kusnaka Adimiharja, 1989:
228-229).
Risalah
Budaya
Jauh
sebelum datangnya orang-orang Belanda pembukaan hutan di daerah utara tanah
Pasundan diperkirakan sudah dilakukan pada abad XVII yang dilakukan oleh
orang-orang Jawa, hal ini bisa diperkuat dengan penuturan F. De Haan (1910),
yang mengatakan betapa besar perubahan lingkungan di Tatar Pasundan sepanjang
abad XVII sampai abad XIX berdasar dokumen-dokumen Gubernur Jendral van Inhof bagian utara Tatar
Pasundan yaitu di Muara Bantaran Jati (Nagari Caruban) dan Cimanuk (Indramayu)
sudah mulai pembabakan hutan secara intensif abad XVII, atas gagasan para tetua
dari Mataram untuk membuka jalur logistik menyerang VOC Batavia. Tome Pires
dalam The Summa Oriental menambahkan bahwa masyarakat di utara Tatar Pasundan
wilayah Cimanuk dan Bantaran Jati pada 1513 sudah beragama Islam. Palabuhan
Pasundan lainnya seperti Banten, Pontang, Chequide (Cikande), Tamgaram
(Tanggerang), dan Sunda Kelapa sudah banyak disinggahi pedagang dari Malaka,
Palembang, Fansyur, Tanjungpura, dan daerah-daerah lainnya.
Itulah sebabnya menusia Cirebon-Dermayon memiliki karekter budaya
tersendiri, kerap tuturkan
kearifan tinutur kultur bumi segandu bahwa sangu
urip dudu emas dudu pari, tetapi guna
kaya purun ingkang den antepi nuhoni trah utama. (Bekal hidup bukan pada gemerlap harta emas mutu manikam,
tetapi pada kekayaan akal, kalbu dan orioentasi istiqamah menjadi manusia utama). Apa itu menusia utama? Sunan Gunung Jati menyebutnya menusia yang bisa dititipi tajug lan fakir miskin. Dalam ruang kosmis
yang lebih mendalam terhubung dengan Tuhan dan menyayangi sesama manusia.
Tandi
Skober sendiri melihat bahwa hal ini bisa nampak dalam the eloquency of silence, kefasihan dalam
kebisuan dinding sejarah peteng Cirebon-Dermayon. Sesuatu yang gelap heneng hening eling yang membuat manusia tertunduk
dalam diam. Sirdata
Gautama pun demikian ketika diam, maka pencerahan akan didapat, dalam diam suara risau akan mengalir hingga jauh. Walau
pun dalam diam,
diam-diam kita menyadari bahwa republik ini selalu saja ada rezim kekuasaan yang dibangun berdasar
kartel-kartel politik yang menjijikan yang di dalamnya ada banyak kekuasaan
oligarki bersifat holistic.
Manunggaling kawula gusti khas Cirebon-Dermayon yang memposisikan kawula dan gusti sebagai kesatuan
substansional multi entik, suara kawula adalah suara gusti
telah mengilhami teolog abad pertengahan, Alcuin (735-804 lewat frasa
bahwa Vox Populi Vox Dei (Suara
Rakyat adalah Suara Tuhan). Pada saat yang sama para teolog Korea mengembangkan
konsep “minjung” (rakyat) sebagai
pilar utama demokratisasi. “All political
theology, should be no more and no less than folk political theology, political
theology of the people.” (C.Song, 1982). Artinya: Semua teologi politik
seharusnya menjadi teologi politik rakyat dan teologi politik tentang rakyat.
Pada temu-temu tertentu, manusia
Cirebon-Dermayon kerap menjelma
sebagai terub nagari (pelindung
negara). Hal ini bisa terdekonstruksi
melalui pengusiran Portugis dari Sunda Kelapa yang di ganti menjadi Jayakarta (Fathan Mubina) oleh Fathillah Khan.
Kini
kidung bumi segandu sayup-sayup terdengar kembali dalam pekat malam berbintang,
mengingatkanku akan do’a emak setalah shalat malam “Mugia sira besuk uripe mulia cung, derajate sing duwur, keceluk lan
manfaat, kanggo wong sejagat buana.” (Semoga
kelak hidupmu mulia nak, punya derajat yang tinggi, menjadi orang terkenal dan bermanfaat
bagi manusia sedunia).
Hampir semua
manusia mempertanyakan untuk apa meraka hidup? Meskipun Al-Qur’an sudah
mengingatkan bahwa hidup kita semata-mata untuk ibadah dan mencari ridha Gusti
Allah. Kidung bumi segandu mencoba membuka makna tersirat, selubung sejarah peteng yang masih menyelimuti kultur
budaya Cirebon-Dermayon. Seakan memberi renungan, bahwa dalam ruang awang-uwung ketika peradaban terjerat oyod mingmang maka yang tersisa adalah
realitas ketuhanan
yang berkeadilan sosial.
Dmuat di Koran Kabar Cirebon
Blogwalking ........ Bawa Happy Aja
ReplyDeletengaco aku orang asli indramayu bukan sunda tapi jawa .
ReplyDeleteini karangan org bodoh ga ada kaitannya dengan sunda jing .
Lo pikir jawa asli dari tanah cirebon y njingg, jawa itu pendatang, gw orang cirebon tapi sehari-hari ngomongnya sunda,
Delete