Menjelang peringatan HUT RI, rasanya
tepat kalau kita memberikan apresiasi kepada peristiwa heroik di tingkat lokal.
Bahwa perlawanan terhadap penjajah, tidak hanya dilakukan di pusat, melainkan
juga di daerah. Salah satunya adalah peristiwa pemberontakan petani Indramayu
yang berlangsung pada tahun 1944.
Tanggal 3 Maret 1942 tersiar kabar
melaui radio, Jepang mendarat di Eretan Wetan. Sebenarnya pendaratan itu
dilakukan pada tanggal 1 Maret 1942, akan tetapi karena komunikasi antara
Eretan Wetan dengan kota Indramayu terputus, maka berita pendaratan baru sampai
di Indramayu pada tanggal 3 Maret 1942. Berita pendaratan Jepang di perkuat
dalam Djawa Baroe halaman 3 tahun
1942 atau tanggal 2 Maret Juitigatu 2602. Dengan cepat Jepang menaklukan
pangkalan-pangkalan militer Belanda. Beberapa kali tentara Belanda mencoba
merebutnya kembali namun tidak berhasi. Pada Tanggal 7 Maret 1942 pemerintah
Belanda di wakili oleh Gubernur Jendral Carda Van Starkenborg dan Jendral Ter
Poorten menandatangani penyerahan tanpa syarat kepada Jepang. Sejak Itu Wilayah
Indramayu resmi menjadi wilayah kekuasaan Jepang. Belanda menyerah tanpa syarat
kepada Jepang, dan secara otomatis seluruh wilayah Indonesia yang masuk ke
dalam wilayah Belanda mutlak menjadi kekuasaan Jepang.
Menurut Ahmad Mansyur (1996:57) Jepang
berusaha keras untuk masuk ke wilayah Indonesia melalui Balikpapan dan Banjarmasin
sebagai serangan terhadap sumber minyak Indonesia. Kemudian di ikuti dengan
pendudukan Menado langsung ke Kendari, Ujung Pandang terus ke Bali, Di sisi
Timur dan davao terus masuk ke Ambon dilanjutkan ke Timor Dili dan Kupang.
Serangan Jepang dari udara dan laut pada daerah tersebut menjadikan pertahanan
Belanda di darat dan laut tidak berdaya dan mengalami kelumpuhan total. Tentara
ke enambelas di bawah pimpinan Mayor Jendral Maruyama Masao, mendarat di Banten. Divisi ke tiga puluh delapan di bawah
pimpinan Kolonel Shoji mendarat di Eretan Indramayu, Jawa Barat yang di ikuti
oleh kelompok penyerangan ke lapangan udara Kalijati Subang, Jawa Barat.
Banyak sekali perlawanan yang dilakukan
oleh rakyat dalam menentang kebijakan politik Jepang, di antaranya yaitu pemberontakan Cot Plieng Aceh, KH. Zaenal
Mustofa Singaparna, pemberontakan Teuku Hamid, dan pemberontakan petani
Indramayu pemberontakan PETA di Blitar, di Cileunca Bandung dan
daerah-daerah lainnya. Meskipun semuanya gagal, namun pengaruhnya besar sekali
terhadap semangat kemerdekaan Indonesia.
Perlawanan
Petani Indramayu
Penjajahan
Jepang di Indramayu yang memakan waktu tiga tahun lebih adalah rangkaian yang
tidak terpisahkan dari peristiwa Pesantren Sukamanah yang di pimpin oleh
KH.Zaenal Mustofa dan hal ini merupakan bagian dari pendudukan Jepang di Indonesia.
Dengan niat memberikan catatan peristiwa sejarah penjajahan Jepang di Indramayu
yang belum di tulis oleh banyak sejarawan, maka penulis mencoba menuturkan
kembali apa yang terjadi. Agar masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat
Indramayu pada khususnya yang sekalipun kecil, di wilayah pantai utara sebagai
penghasil minyak, ikan dan lumbung padi di sana terdapat para pejuang yang
berani menegakan kebenaran untuk mempertahankan setiap jengkal tanah untuk ibu
pertiwi. Dengan kata lain kesadaran nasional tidak hanya dimiliki oleh bangsa
Indonesia yang tinggal di kota-kota besar saja, melainkan telah menjadi
tanggung jawab bangsa Indonesia di desa-desa daerah pantai utara.
Sebenarnya dimata Jepang, Indramayu
merupakan wilayah yang bernilai lebenstrum,
living space, ruang kehidupan dalam pengertian geostrategi.
Menurut Aiko Kurisawa (1993:474) para
pelaku sejarah perlawanan menentang penjajahan Jepang umumnya terdiri dari ulama
desa seperti Kiai Sualaiman, Kiai Srengseng, H. Akhsan, Kiai Abdul Ghani
(Kaplongan), Kiai Madrais (Cidempet), Kiai Muktar (Kertasmaya), Tasiah (Pranggong),
Haji Dulkarim (Panyindangan Kidul), Sura (Sindang) dan Karsina ( Slijeg). Kendati
pun mereka berasal dari desa terpencil, namun mereka mampu memiliki rasa
kebangsaan nasional yang terandalkan. Kenyataan sejarah yang demikian itu,
memberikan gambaran bahwa penindasan penjajahan telah dirasakan beratnya oleh
segenap bangsa Indonesia, dan penduduk hingga ke pelosok desa. Kesamaan sejarah
yang dialaminya inilah, menjadi bahan dasar bila terjadi gerakan perlawanan
terhadap Jepang, memperoleh dukungan dari rakyat walaupun di desa ataupun di
daerah-daerah lain baik dipegunungan ataupun daerah pantai.
Lahirnya peristiwa protes sosial petani
Indramayu terhadap kewajiban serah padi pada masa penjajahan Jepang tahun 1944.
Berawal dari amanat Syuuchokan yang diberlakukan pada tanggal 1 April 2603
sampai 31 Maret 2604 selama satu tahun, hal ini sesuai data yang tertera pada
surat kabar Tjahaja, Rebo 12 Itigatu
2604, No.11 Tahoen ke III. Selain hasil bumi sebanyak 200 gram untuk makan
seorang sehari dan 20 kg untuk bibit per hektar, semua hasil bumi harus diserahkan
kepada Jepang. Hal ini telah menimbulkan inisiatif petani Indramayu untuk
melakukan tindakan-tindakan preventif menolak adanya kewajiban serah padi, dan
pada akhirnya mengakibatkan pemberontakan petani Indramayu, yang merembet pada terbunuhnya
Camat Sindang. Keadaan Indramayu yang kacau mengakibatkan Indramayu tidak
mengeluarkan orang untuk Romusha, Heiho,
dan PETA yang berimbas pada pemecatan, pemindahan dan pergantian pangreh praja
termasuk Bupati Indramayu R.T.A.A. Mohamad Soediono digantikan oleh
Dr.M.Moerdjani tanggal 8 Agustus 1944 untuk memulihkan ketertiban di Indramayu.
Penjajahan Jepang di Indramayu bukanlah
peristiwa lokal, karena bila di tinjau dari negara dan bangsa mana yang
dilawannya, adalah bangsa asing Jepang, maka melalui pendaratan yang pertama
kali di Eretan Wetan dengan melewati jalur laut, penjajahan yang dilakukan
Jepang sudah melalui skanario yang dipersiapkan matang.
Gerakan
Indramayu mungkin berbeda dengan gerakan yang dilakukan di Aceh ataupun
Singaparna. Di Indramayu gerakan yang terjadi adalah murni dilakukan oleh para
petani yang dipaksa menyerahkan padi kepada pihak Jepang. Gerakan protes
petani Indramayu dalam kontek revivalisme dan sektarianisme yang digerakkan
oleh ulama Indramayu, hal ini bisa dilihat dalam kontek hubungan kausalitas
antara gerakan dengan nilai yang melandasinya. Gerakan ini tidak akan muncul
tanpa adanya basis ideologi yang diperjuangkan secara bersama.
Menurut Sartono Kartodirdjo (1997:75)
sejarah merupan hubungan kausalitas yang berangkat pada suatu gejolak sosial
dalam masyarakat yang menimbulkan keresahan dan perubahan sosial. Dalam kasus
protes sosial petani Indramayu yang dipicu oleh faktor nilai, ekonomi, politik,
kultur sosial dalam bentuk struktural sosial di Indramayu. Penulis berpendapat bahwa
kesemuanya itu menciptakan kondisi yang harus ada (Neccesery Condition)
bagi terjadinya gejolak dan suatu yang pantas untuk menimbulkan ledakan
peristiwa (Sufficient condition). Sekalipun hampir tak pernah ditulis dalam buku resmi sejarah, petani Indramayu sudah menorehkan tinta emas dalam sejarah perjuangan bangsa.
Dimuat Di Koran Bandung Ekspres
Atau Bisa Cari Bukunya Langsung
Dimuat Di Koran Bandung Ekspres
Atau Bisa Cari Bukunya Langsung
buku ini bisa dapat dimana?
ReplyDeletePenerbit kaki langit jakarta atau buku edisi revisinya judulnya momi kyosyutu bisa pesen lewat online penerbitan kaki langit penulis wahyu iryana
DeleteKalau mau pesan buku ini di mana ya? atau di jual dimana
ReplyDeleteCetakan lama yg itu A, yg baru momi kyosyutu bisa browsing online atau langsung ke penerbit jakarta kaki langit,. Atau hubungi penulisnya wahyu iryana via medsosnya.
ReplyDelete