Saturday, July 18, 2015

Perlawanan Petani Indramayu Zaman Jepang

Menjelang peringatan HUT RI, rasanya tepat kalau kita memberikan apresiasi kepada peristiwa heroik di tingkat lokal. Bahwa perlawanan terhadap penjajah, tidak hanya dilakukan di pusat, melainkan juga di daerah. Salah satunya adalah peristiwa pemberontakan petani Indramayu yang berlangsung pada tahun 1944.
Tanggal 3 Maret 1942 tersiar kabar melaui radio, Jepang mendarat di Eretan Wetan. Sebenarnya pendaratan itu dilakukan pada tanggal 1 Maret 1942, akan tetapi karena komunikasi antara Eretan Wetan dengan kota Indramayu terputus, maka berita pendaratan baru sampai di Indramayu pada tanggal 3 Maret 1942. Berita pendaratan Jepang di perkuat dalam Djawa Baroe halaman 3 tahun 1942 atau tanggal 2 Maret Juitigatu 2602. Dengan cepat Jepang menaklukan pangkalan-pangkalan militer Belanda. Beberapa kali tentara Belanda mencoba merebutnya kembali namun tidak berhasi. Pada Tanggal 7 Maret 1942 pemerintah Belanda di wakili oleh Gubernur Jendral Carda Van Starkenborg dan Jendral Ter Poorten menandatangani penyerahan tanpa syarat kepada Jepang. Sejak Itu Wilayah Indramayu resmi menjadi wilayah kekuasaan Jepang. Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang, dan secara otomatis seluruh wilayah Indonesia yang masuk ke dalam wilayah Belanda mutlak menjadi kekuasaan Jepang.
Menurut Ahmad Mansyur (1996:57) Jepang berusaha keras untuk masuk ke wilayah Indonesia melalui Balikpapan dan Banjarmasin sebagai serangan terhadap sumber minyak Indonesia. Kemudian di ikuti dengan pendudukan Menado langsung ke Kendari, Ujung Pandang terus ke Bali, Di sisi Timur dan davao terus masuk ke Ambon dilanjutkan ke Timor Dili dan Kupang. Serangan Jepang dari udara dan laut pada daerah tersebut menjadikan pertahanan Belanda di darat dan laut tidak berdaya dan mengalami kelumpuhan total. Tentara ke enambelas di bawah pimpinan Mayor Jendral Maruyama Masao, mendarat di Banten.  Divisi ke tiga puluh delapan di bawah pimpinan Kolonel Shoji mendarat di Eretan Indramayu, Jawa Barat yang di ikuti oleh kelompok penyerangan ke lapangan udara Kalijati Subang, Jawa Barat.
Banyak sekali perlawanan yang dilakukan oleh rakyat dalam menentang kebijakan politik Jepang, di antaranya yaitu pemberontakan Cot Plieng Aceh, KH. Zaenal Mustofa Singaparna, pemberontakan Teuku Hamid, dan pemberontakan petani Indramayu pemberontakan PETA di Blitar, di Cileunca Bandung dan daerah-daerah lainnya. Meskipun semuanya gagal, namun pengaruhnya besar sekali terhadap semangat kemerdekaan Indonesia.

Perlawanan Petani Indramayu
Penjajahan Jepang di Indramayu yang memakan waktu tiga tahun lebih adalah rangkaian yang tidak terpisahkan dari peristiwa Pesantren Sukamanah yang di pimpin oleh KH.Zaenal Mustofa dan hal ini merupakan bagian dari pendudukan Jepang di Indonesia. Dengan niat memberikan catatan peristiwa sejarah penjajahan Jepang di Indramayu yang belum di tulis oleh banyak sejarawan, maka penulis mencoba menuturkan kembali apa yang terjadi. Agar masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Indramayu pada khususnya yang sekalipun kecil, di wilayah pantai utara sebagai penghasil minyak, ikan dan lumbung padi di sana terdapat para pejuang yang berani menegakan kebenaran untuk mempertahankan setiap jengkal tanah untuk ibu pertiwi. Dengan kata lain kesadaran nasional tidak hanya dimiliki oleh bangsa Indonesia yang tinggal di kota-kota besar saja, melainkan telah menjadi tanggung jawab bangsa Indonesia di desa-desa daerah pantai utara. Sebenarnya  dimata Jepang, Indramayu merupakan wilayah yang bernilai lebenstrum, living space, ruang kehidupan dalam pengertian geostrategi.
Menurut Aiko Kurisawa (1993:474) para pelaku sejarah perlawanan menentang penjajahan Jepang umumnya terdiri dari ulama desa seperti Kiai Sualaiman, Kiai Srengseng, H. Akhsan, Kiai Abdul Ghani (Kaplongan), Kiai Madrais (Cidempet), Kiai Muktar (Kertasmaya), Tasiah (Pranggong), Haji Dulkarim (Panyindangan Kidul), Sura (Sindang) dan Karsina ( Slijeg). Kendati pun mereka berasal dari desa terpencil, namun mereka mampu memiliki rasa kebangsaan nasional yang terandalkan. Kenyataan sejarah yang demikian itu, memberikan gambaran bahwa penindasan penjajahan telah dirasakan beratnya oleh segenap bangsa Indonesia, dan penduduk hingga ke pelosok desa. Kesamaan sejarah yang dialaminya inilah, menjadi bahan dasar bila terjadi gerakan perlawanan terhadap Jepang, memperoleh dukungan dari rakyat walaupun di desa ataupun di daerah-daerah lain baik dipegunungan ataupun daerah pantai.
Lahirnya peristiwa protes sosial petani Indramayu terhadap kewajiban serah padi pada masa penjajahan Jepang tahun 1944. Berawal dari amanat Syuuchokan yang diberlakukan pada tanggal 1 April 2603 sampai 31 Maret 2604 selama satu tahun, hal ini sesuai data yang tertera pada surat kabar Tjahaja, Rebo 12 Itigatu 2604, No.11 Tahoen ke III. Selain hasil bumi sebanyak 200 gram untuk makan seorang sehari dan 20 kg untuk bibit per hektar, semua hasil bumi harus diserahkan kepada Jepang. Hal ini telah menimbulkan inisiatif petani Indramayu untuk melakukan tindakan-tindakan preventif menolak adanya kewajiban serah padi, dan pada akhirnya mengakibatkan pemberontakan petani Indramayu, yang merembet pada terbunuhnya Camat Sindang. Keadaan Indramayu yang kacau mengakibatkan Indramayu tidak mengeluarkan orang untuk Romusha, Heiho, dan PETA yang berimbas pada pemecatan, pemindahan dan pergantian pangreh praja termasuk Bupati Indramayu R.T.A.A. Mohamad Soediono digantikan oleh Dr.M.Moerdjani tanggal 8 Agustus 1944 untuk memulihkan ketertiban di Indramayu.
Penjajahan Jepang di Indramayu bukanlah peristiwa lokal, karena bila di tinjau dari negara dan bangsa mana yang dilawannya, adalah bangsa asing Jepang, maka melalui pendaratan yang pertama kali di Eretan Wetan dengan melewati jalur laut, penjajahan yang dilakukan Jepang sudah melalui skanario yang dipersiapkan matang.
Gerakan Indramayu mungkin berbeda dengan gerakan yang dilakukan di Aceh ataupun Singaparna. Di Indramayu gerakan yang terjadi adalah murni dilakukan oleh para petani yang dipaksa menyerahkan padi kepada pihak Jepang. Gerakan protes petani Indramayu dalam kontek revivalisme dan sektarianisme yang digerakkan oleh ulama Indramayu, hal ini bisa dilihat dalam kontek hubungan kausalitas antara gerakan dengan nilai yang melandasinya. Gerakan ini tidak akan muncul tanpa adanya basis ideologi yang diperjuangkan secara bersama.
Menurut Sartono Kartodirdjo (1997:75) sejarah merupan hubungan kausalitas yang berangkat pada suatu gejolak sosial dalam masyarakat yang menimbulkan keresahan dan perubahan sosial. Dalam kasus protes sosial petani Indramayu yang dipicu oleh faktor nilai, ekonomi, politik, kultur sosial dalam bentuk struktural sosial di Indramayu. Penulis berpendapat bahwa kesemuanya itu menciptakan kondisi yang harus ada (Neccesery Condition) bagi terjadinya gejolak dan suatu yang pantas untuk menimbulkan ledakan peristiwa (Sufficient condition).Sekalipun hampir tak pernah ditulis dalam buku resmi sejarah, petani Indramayu sudah menorehkan tinta emas dalam sejarah perjuangan bangsa.
Dimuat Di Koran Bandung Ekspres
Atau Bisa Cari Bukunya Langsung

4 comments:

  1. buku ini bisa dapat dimana?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Penerbit kaki langit jakarta atau buku edisi revisinya judulnya momi kyosyutu bisa pesen lewat online penerbitan kaki langit penulis wahyu iryana

      Delete
  2. Kalau mau pesan buku ini di mana ya? atau di jual dimana

    ReplyDelete
  3. Cetakan lama yg itu A, yg baru momi kyosyutu bisa browsing online atau langsung ke penerbit jakarta kaki langit,. Atau hubungi penulisnya wahyu iryana via medsosnya.

    ReplyDelete